Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

"Jadi sekeras itu dia menolakmu tadi?" tanyaku setelah aku mencoba meyakini apa yang terjadi baru saja di dalam.

"Kau pikir aku becanda? Aku menghubungimu sejak tadi. Berharap kau akan segera datang. Aku tidak bisa menghadapi ini sendirian. Sekarang kau tahu sendiri bagaimana dia? Maafpun tidak berarti sedikitpun."

Aku menghela napas. Entah berapa kali Ashley meminta maaf pada pria itu. Entah berapa kali dia mencoba bicara dengannya. Dan itu tidak menghasilkan apa-apa selain teriakan, marah dan pengusiran darinya.

Aku tidak menyalahkan apa yang pria itu lakukan. Aku tahu ini sulit untuk siapapun terima. Jika aku ada di posisinya bukan hal yang tidak mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Aku paham. Kami hanya butuh celah untuk bisa bicara dengannya. Kuharap itu tidak akan lama.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanyaku menoleh kepadanya.

"Entah. Dia tidak ingin memperpanjang kasus ini hingga mengenai hukum. Tapi dia juga tidak mau berdamai begitu saja."

Aku melihat gadis itu terpekur. Hanya satu yang diinginkan pria itu. Keadaannya yang dulu. Sebelum Ashley mengirimnya ke rumah sakit dengan keadaan mengenaskan itu.

"Kalau waktu bisa diputar, siapapun pasti menginginkan kesalahanku itu dihapus. Tidak akan terjadi hal menyakitkan. Juga mengenaskan. Dia menginginkan itu. Tapi aku bisa apa?"

"Aku akan mencoba untuk bicara lagi dengannya. Kupikir ini bukan hal buruk. Mungkin besok dia bisa bicara dengan kepala dingin."

"Aku pikir itu akan percuma. Kecuali kau bisa mengembalikan keadaannya. Entah berasal dari jaman apa dia. Dia begitu keras."

Dia meraup wajahnya kemudian mengembuskan napas. Aku melihat dia sudah mulai putus asa.

"Kita belum mencobanya lagi, Ash. Jangan berputus asa."

"Lalu apa yang akan kau lakukan jika pada akhirnya dia tetap bersikeras pada keputusannya? Aku tahu ini salahku. Aku bisa menerima ketika dia membawa ini pada jalur hukum. Atau berdamai dengan beberapa ketentuan. Tapi dia tidak menginginkan semuanya. Tapi dia juga tidak mau membebaskannya begitu saja. Kau pikir?"

Aku terdiam. Gadis itu berada di puncak titik stresnya. Setelah kupikir, apa yang dia katakan ada benarnya. Lalu apa yang akan kulakukan dia pada akhirnya dia tetap bersikeras pada keputusannya? Aku tidak memikirkan ini sama sekali. Mengambil kemungkinan yang terburuk agar semuanya tetap baik-baik saja.

"Okay. Tapi, apapun itu, biar aku mencobanya sekali lagi. Seharusnya masalah ini cepat selesai. Atau kekasihmu akan segera tahu."

"Dan rencana pernikahan kami akan mengalami masalah," sambungnya lesu.

Aku menoleh kepadanya, mengulurkan lenganku untuk merengkuh bahunya, memberinya semangat. Apapun itu, aku tidak menginginkan ini terjadi padanya. Perjalanan hidupnya sudah penuh drama. Dan kuharap ini yang terakhir sekaligus tanpa masalah yang cukup berat.

***

Aku berusaha merileks-kan diri ketika sepasang mata abu-abu itu menatapku lurus lengkap dengan wajah enggannya. Pagi ini aku mencoba menyapanya dengan satu nampan sarapan miliknya di tanganku. Sekaligus aku masih ingin mencoba untuk bicara dengannya, menyelesaikan masalah Ashley dengan baik. Sebenarnya ini bukan tanggungjawabku. Tapi aku hanya mencoba membantu sahabatku itu. Dia sudah di puncak putus asanya. Ah, memang dia gampang sekali menyerah. Atau aku yang terlalu keras kepala?

"Hai, selamat pagi," sapaku sambil meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidurnya.

"Kau lagi," gumamnya malas.

"Ya. Kuharap kau tidak keberatan."

"Kau masih muda. Kupikir kau tidak lupa dengan apa yang kukatakan kemarin. Jadi, kau paham kan apa yang harus kau lakukan sekarang!"

Uhm! Aku mengangkat jempol untuknya di benakku. Dia memiliki sifat keras kepala, tetap pada pendiriannya. Dan dia tidak melupakan apa yang sudah dia katakan. Dia memiliki ingatan yang kuat.

"Kenapa?"

"Apanya?" Dia memberikan mimik wajah waspadanya.

"Kau," aku berdehem, "Ya, kenapa kau tidak ingin untuk membahas ini bagaimana baiknya."

Aku memberanikan diri untuk duduk di kursi kecil. Menatap dirinya yang sebenarnya ini sungguh menakutkan.

Dia memicingkan matanya, lalu tertawa sinis.

"Bukan bagaimana baiknya. Tepatnya bagaimana yang baik untuk temanmu! Kalau maaf bisa mengembalikan keadaanku, sejak awal aku pasti sudah memaafkan. Kalau hukum bisa mengembalikan keadaanku, juga pasti sudah kulakukan. Nyatanya penjara hanya membutuhkan waktu beberapa tahun. Tapi apa aku akan bisa berjalan lagi? Temanmu mungkin bisa bebas, tapi ini akan kutanggung sendiri. Dan untuk selamanya! Apa kau pikir ini adil?"

Aku tercenung. Ya, dia benar. Apa ini adil untuknya? Seseorang yang tidak bersalah dan harus menanggung penderitaan itu untuk selamanya. Menyandang gelar cacat adalah hal yang menyakitkan. Belum lagi nanti akan ada tatapan mengasihani dari orang-orang. Ada rasa malu yang akan datang lewat tatapan mengasihani itu.

"Tapi dengan memaafkan, kau bisa menemukan kedamaian. Kau begini apa akan hidup tenang? Rasa marah yang meluap-luap akan membuatmu hilang kendali."

"Omong kosong soal kedamaian! Apa pedulimu? Aku hanya menginginkan apa yang sudah temanmu renggut dariku. Apa itu salah?" Tatapannya kini menusuk. Sedang aku menelan ludah dengan susah payah.

"Lalu apa? Apa kau bisa memberitahu kami, bagaimana cara agar kami bisa mengembalikan keadaanmu?"

Oh, aku merasa kini mulai kehilangan kesabaran. Pantas saja Ashley sudah menyerah dan berputus asa. Sedang pria ini masih saja berbelit-belit. Apa yang diinginkannya? Aku mengembuskan nafas singkat.

"Apa itu menjadi urusanku? Aku korban di sini, Nona!"

"Maka dari itu, aku menginginkan kita untuk bicara. Apa yang kau inginkan dan mari kita bicarakan bagaimana baiknya," ucapku mulai geram.

"Aku sudah bilang dari awal! Aku hanya menuntut temanmu untuk mengembalikan keadaanku. Tidak lebih."

Astaga! Aku mengepalkan tanganku dalam diam. Dia membuatku kesal juga gemas dengan pernyataannya. Sesuatu hal yang mustahil. Berasal dari mana pria ini sebenarnya?

"Fine. Jika kau menginginkan ini. Tidak ada penawaran lain. Temanku sudah banyak masalah dan aku tidak ingin kau menambahnya lagi. Kau sudah cukup membuatnya stres.

Jadi, aku yang akan menggantikan kakimu. Kuharap kau tidak terlalu merepotkanku. Terima atau tidak. Ini satu-satunya penawaran dariku."

Aku melihat dia terkejut dengan ucapanku. Sebenarnya aku juga demikian. Keputusan bodoh yang baru saja kuambil. Entah masalah apa yang akan kudapatkan nanti. Sebenarnya ini di luar kendali juga susunan rencana yang kubuat.

"Kau?"

Aku mengangguk ragu. Dia menatapku menelisik. Tapi dengan cepat aku menguatkan wajahku agar dia tidak melihat keraguan di dalam diriku. Dia mengembuskan napas.

"Ini masih pagi. Kau membuat keputusan yang hanya akan membuatmu jatuh. Ini pula bukan masalahmu. Aku hanya menuntut temanmu!" ucapnya dingin.

"Aku tahu. Ini masih pagi dan tentu saja bukan tanggungjawabku. Tapi ini serius, aku hanya memikirkan temanku. Dia akan segera menikah dan aku tidak ingin rencana pernikahannya berantakan karena masalah ini."

Dia tertawa mengejek. "Kau bukan malaikat! Jangan berlaku seperti malaikat!"

"Tidak ada penawaran lain!" ucapku bersikukuh.

"Kau akan menyesal!" Dia kembali menatapku, serius.

"Kenapa harus?" tanyaku menantang.

"Kau tidak mengenalku!"

"Dan kau tidak memperkenalkan diri!"

Dia mendengus tak senang. Dan aku masih bersikukuh. Aku dengan sifat keras kepala yang tak terbendung, sudah pasti tidak akan menyerah begitu saja.

"Kau tidak perlu tahu."

Oh?! Aku melebarkan mataku. Sedang dia membuang tatapannya ke luar jendela.

"Jadi?" Aku menelengkan kepalaku, "Apa keputusanmu? Terima atau kau anggap masalah ini selesai begitu saja? Tapi orang sepertimu pasti tidak akan begitu saja mengakhiri sebuah masalah!"

"Kau tahu apa resikomu kalau aku menerima tawaran ini?" Dia menoleh, menatapku serius.

"Ya. Tapi itu tidak masalah. Yang terpenting kau tidak menambah stres temanku." Aku menjawab dengan begitu berani. Sekalipun di dalam pikiranku sedang berputar mencari tahu resiko apa yang harus kutanggung nanti.

"Kau, akan menjadi kakiku setiap waktu, setiap harinya dan itu selamanya. Kau tahu ini akan kutanggung seumur hidupku? Apa kau sudah meyakini ini? Kuharap kau akan berpikir ulang untuk menanggung masalah yang bukan milikmu! Kau terlalu berani, Nona!"

Aku terdiam. Dia memukul kesadaranku secara tiba-tiba lewat sebaris kalimatnya. Setiap waktu, setiap harinya dan selamanya. Entah berapa lama kami hanya saling menatap.

"Kau bisa menarik kembali tawaranmu."

"Oh, tidak. Kupikir ini akan adil. Kau dengan keadaanmu terlalu mahal untuk dibayar." Aku menelan ludah. Sedikit meragu. Tapi aku berusaha keras untuk menyembunyikan ini.

"Hidup denganku tidak mudah. Kutekankan dari awal. Kau kakiku. Kapanpun kau harus siap jika aku ingin melakukan sesuatu. Tapi kau bukan pembantuku. Aku tidak akan menggajimu. Lagipula keadaanku tidak memungkinkan untuk bekerja keras demi menggajimu. Kau juga bukan kekasihku. Jadi jangan harap kau akan mendapatkan kelembutan dariku! Aku seperti ini. Kau pikirkan baik-baik."

"Tapi aku ingin membuat kesepakatan. Aku bekerja dan kau tahu, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku."

"Aku menerima tawaran ini bukan dengan kesepakatan."

Aku menarik napas. Dia memang bukan orang yang mudah meng-iyakan sesuatu.

"Baiklah. Aku akan mencari jalan keluar jika nanti aku harus meninggalkanmu karena pekerjaan. Jadi kuanggap masalah ini selesai dengan aku sebagai pengganti kakimu."

"Kau bisa pergi sekarang!"

"Okay." Aku beranjak, bergegas meninggalkan kamar itu. Entah dengan perasaan apa.

"Miguelgra Lynch!" serunya saat aku akan mencapai pintu.

"Eh?"

Seketika aku berhenti dari langkah dan menoleh untuk memastikan. Tapi yang kudapati, pria itu seolah sibuk dengan sarapannya, seperti tidak pernah mengatakan apa-apa.

"Kau bilang apa barusan?" tanyaku memastikan.

Dia mengangkat wajah, mengernyit. Lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada yang bicara apapun," sahutnya tidak peduli.

Tapi aku mendengar dengan jelas. Miguelgra Lynch.

***

Tbc
30 juni 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance