Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

"Mama! Papa!" Ultrawoman kecil itu tengah memegang sebuah boneka Anjing Husky.

"Sia-chan."

"Sini, nak!"

Ultrawoman kecil itu berlari ke arah kedua oran tuanya. Namun semakin ia berlari, entah mengapa orang tuanya semakin menjauh.

"Mama! Papa!" Ultrawoman kecil itu berlari secepat yang iya bisa, namun orang tuanya terlihat semakin menjauhinya.

"Mama! Papa! Jangan tinggalin Sia-" 

Dalam sekejap mata, sebuah pedang menebas colour time kedua orang tuanya. Seketika bayangan hitam pekat muncul sambil tersenyum jahat. Sambil memegang pedangnya, bayangan hitam itu berjalan mendekati ultrawoman kecil itu.

"Halo gadis manis, jangan takut. Aku tidak menggigitmu." Tiba-tiba pedang tersebut mengarah tepat pada sang ultrawoman kecil itu yang tiba-tiba terjatuh ketakutan hingga air matanya mengalir.

"Aku akan memberitahu namaku. Jadi, ingatlah namaku, gadis kecil. Ingat selalu. Namaku ..."

Kemudian pedang tersebut diarahkan ke atas, dan dengan cepat hendak menebasnya.


***


"... sia ... Alessia ... Mbak Alessia!" Suara tersebut membangunkan Alessia dari mimpi buruknya. Matanya membelalak, keringat dingin mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya terengah-engah, dan air matanya mengalir dengan deras. Ia melihat Astran dan Tia. Kemudian Tia mendekat dan memberikan Alessia segelas air putih yang kemudian diterima Alessia dan diminumnya sampai habis.

"Huff ... terima kasih ... dek ..." ucapnya sambil menundukkan kepalanya dengan air matanya yang masih mengalir.

"Mau minum teh, mbak?" Alessia menggelengkan kepalanya, menolak tawaran Astran.

"Udahlah, tak bikinin ya? Biar mbak tenang." Pada akhirnya Alessia menyetujuinya, sehingga Astran keluar dari kamar Alessia dan berjalan ke dapur.

Setelah Astran pergi, Tia bertanya, "Mimpi itu lagi, mbak?" Dan Alessia menggangguk. Mendengar itu, Tia langsung memeluk Alessia untuk menenangkannya. Namun Alessia semakin menangis.

Tak lama Astran datang membawa tehnya dan memberikannya kepada Alessia. Alessia menerima teh tersebut dan meminumnya perlahan

"Gimana, mbak? Udah tenang?" Alessia mengangguk perlahan.

"Malam ini aku tidur sama mbak, ya?" Alessia langsung menggelengkan kepalanya, menolak tawaran Tia.

"Mbak ... mau sendirian dulu ..." Tia dan Astran tidak bisa menolaknya. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk kembali ke kamar mereka masing-masing.

"Kalau ada apa-apa, kabari kita ya, mbak." Alessia menggangguk.

Setelah keduanya sudah pergi, Alessia perlahan menghabiskan tehnya. Setelah sudah selesai, ia berjalan ke balkon, hendak mencari udara segar. Kemudian terlintas dalam benaknya untuk mencari angin segar di atap. Sehingga Alessia terbang ke atas dan duduk di atap asrama. Cahaya plasma Spark yang yang terang menciptakan keindahan bagi Tanah Cahaya.

Seketika pikirannya kembali pada mimpi yang barusan ia alami, atau lebih tepatnya, kenangan masa lalu yang tiba-tiba saja menghantuinya. Terakhir ia memimpikan itu ...entahlah, sudah cukup lama rasanya. Namun, entah mengapa, saat ini, mimpi itu kembali lagi padanya. Apakah ini pertanda, atau hanya kemunculan yang tiba-tiba saja? Alessia tidak tahu.

Tak lama, Alessia dikejutkan oleh suara seorang ultra  "Oi." Yang membuat Alessia langsung mengalihkan pandangannya ke sumber suara tersebut. "Ya astaga nagaa! E-eh? M-Mas Zero?"

"Yo." Kemudian Zero duduk di sebelah Alessia dengan menjaga jarak. "Ngapain di sini?"

"Em ... gapapa, mas. Pengen nyari angin segar aja. Lagi suntuk aja pikirannya." Zero mengangguk dan mengalihkan pandangannya.

Alessia sekilas melirik Zero kemudian bertanya. "Masnya ... ngapain di sini?"

"Gapapa. Pengen sendiri aja."

Alessia langsung berdiri. "Um ... kalau gitu saya-"

"Gak usah pergi. Sini aja gapapa."

"Tapi ..."

"Gak ada tapi, tapi. Udah di sini aja. Dan gak usah kaku-kaku amat."

Alessia awalnya terlihat ragu-ragu. Namun, setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia kembali duduk. Kedua terdiam sambil memandang pemandangan yang ada di depan mereka. Tanpa Alessia sadari, Zero sekilas melirik.

"Jangan ngelamun." Suara Zero membuat Alessia sedikit tersentak dan membuatnya melihat ke arah Zero. "E-Eh? Saya-ah-"

"Cih, dibilang gak usah kaku. Santai aja napa sih?"

Alessia menundukkan kepalanya. "M-Maaf mas ..."

Zero berdecak, kemudian menghela nafas. "Mikirin apa sih? Beban hidup? Halah, mending dijalani aja, daripada dipikirin. Yang ada dahinya tambah mengkerut. Tuh, liat, dahinya udah mengkerut." Setelah itu Zero menyentil dahi Alessia.

"Aduh! Kok disentil sih, mas?" Alessia mengusap dahinya sambil merengut.

"Salah sendiri melamun. Daripada ngelamun, mending tatap wajah tampanku ini," goda Zero sambil sedikit bergaya yang terlihat menyebalkan di mata Alessia.

"Dih, dih, dih ... muka nyebelin gitu dibilang tampan? Masih tampanan bapakku."

Jleb!

Rasanya seperti ada dua slugger imaginer yang menancap dirinya. Tapi Zero tidak mau kalah.

"N-Ndak mungkin! Pasti gua yang lebih ganteng, tampan, pintar, terkenal!"

"Dih ... ada yang gak terima niee~"

"Ya jelas gak terima lah! Gua udah terverifikasi ganteng, tampan, pintar, apalagi terkenal. Semua ultra, bahkan di seluruh galaxy ini tahu siapa gua," ucapnya dengan nada tidak mau kalah. Sedangkan Alessia tersenyum miring.

"Tapi di dimensi lain gak ada yang tahu tuh?"

"G-gak mungkin!"

Seketika Alessia terkekeh pelan karena merasa obrolan mereka terasa aneh, namun lucu. Sedangkan wajah Zero sedikit menggerutu. "Malah ketawa pula nih bocah," gumamnya.

Namun setelah itu Zero tersenyum kecil sambil membatin, "Tapi gapapa. Selama kamu bisa tersenyum dan gak lagi mikirin hal yang membuatmu sedih, itu dah buat aku senang."

Namun wajahnya berubah menjadi sedikit sedih dan khawatir tanpa Alessia tahu. "Karena aku tahu ... kamu tadi habis mimpi kejadian itu."

Setelah itu Zero dan Alessia perlahan mulai berbincang. Selama berbincang dengan Alessia, Zero merasakan sebuah nostalgia. Namun perasaan ini hanya dia yang merasakan, karena dia tahu ... pasti Alessia sudah lupa dengannya. Namun Zero bisa memakluminya, sebab saat itu mereka masih sangat kecil ketika bertemu dan pertemuan mereka singkat. Dan pertemua terakhir mereka merupakan waktu di hari kejadian tersebut.

Tangan Zero tanpa sadar menyentuh kepala Alessia dan mengelusnya dengan lembut. Awalnya Alessia bingung, namun ia tidak menghindarinya, malah ia menyukainya. Ada rasa hangat yang menjalar di tubuhnya dan itu juga membuatnya tenang. Seakan Zero tahu apa yang ia butuhkan.

"Makasih, mas," gumamnya dengan suara kecil. Walau begitu, Zero masih bisa mendengarnya dan ia hanya tersenyum sambil melihat pemandangan di depan mereka.


***


Sejak saat itu, Alessia perlahan mulai membuka diri ke para penghuni asrama. Mulai ngajak ngobrol, baik di asrama maupun di kampus, mengerjakan tugas bersama, bahkan pergi bersama. Melihat itu membuat Tia, Astran, Frey, dan Runa merasa lega.

"Akhirnya Alessia mau ngobrol sama yang lain."

"Ya walaupun dijalaninya perlahan-lahan dulu ya."

"Paling gak, ada progres."

Sedangkan Tia hanya tersenyum senang melihat perkembangan sang kakak sepupunya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro