Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Pelanggaran Jam Kerja.

“Bang Sat!” Teriakan menggelegar itu seketika mengguncang seluruh ruangan di kos mereka. “Tanggung jawab lo, Bang!” lanjutnya, tanpa memelankan suara sedikit pun. Gurat emosi terpancar jelas di atas wajah gadis itu.

Tak butuh waktu lama, sosok pemuda pemilik tubuh cukup berisi dari ruang sebelah, memasuki kamarnya dengan durja yang masih menampilkan ekspresi mengantuk. Langkah gontainya semakin memperjelas dugaan, bahwa dia baru saja bangun dari tidur lelapnya. “Teriak-teriak mulu, kayak penjual cabe pasar,” cibirnya, “ada apa gerangan sih, adikku sayang? Untung warga kos yang lain lagi pada pergi. Kalau ndak, bisa keganggu tau.”

“Sayang-sayang pala lo peyang!” Bang Sat terperangah kecil, mendengar balasan Setan. “Lo tuh sadar gak sih, Bang, kalau lo bego?”

“Maksud kamu apa, toh?” Bang Sat masih tak mengerti.

“Kita kenapa gak sahur hari ini, Bang Sat? Kita harusnya puasa, Bang!” Setan berseru kesal. Dengan tubuh yang masih duduk di atas kasur empuknya, ia memukul-mukulkan selimut yang menyelimuti badannya dengan penuh amarah. “Dibilangin jangan begadang main game! Giliran udah gini, gue kan yang kena imbasnya!”

Bang Sat yang masih berdiri tegak di depan pintu, hanya mampu menggaruk kepalanya kaku. Menyadari kesalahannya. Sebelum memasuki bulan Ramadan, kedua kakak-beradik itu sudah sepakat untuk membagi kerjaan dalam menyiapkan makanan—Bang Sat jatah sahur, sedang Setan jatah berbuka. Namun, kesepakatan itu malah dirusak oleh Bang Sat tanpa sengaja.

“Yo, aku sing salah. Ojo nesu, toh, Tan.” Bang Sat dengan ragu, mendekat ke arah Setan, berusaha membujuk gadis itu untuk tak merajuk padanya.

“Pokoknya, nanti pas jam buka puasa, lo yang nyiapin makanannya!” Setan melayangkan tatapan tajamnya, seraya mengacungkan telunjuk ke arah Bang Sat. “Ora urus, pokok'e," putusnya, tak mau diganggu gugat.

Bang Sat menghela napasnya panjang. “Yo wis, manut,” sambungnya pasrah.

***

“Oy, Bang. Kita beneran jadi mudik, nih?” Bang Sat yang mendengarnya, memutar bola mata kesal. Pasalnya, pertanyaan itu lolos dari mulut Setan sudah lebih dari lima kali, banyaknya. “Please, deh, Bang. Gue emang kangen kampung. Tapi kayaknya mudik di masa pandemi gini bener-bener keputusan yang salah! Korona!”

Bang Sat menoyor kepala sang adik. “Dibilangin korona ndak ada. Kamu tuh mbok percaya sama abangmu ini!” kekehnya, tak mau menerima protesan Setan. “Mending sekarang kamu pesen tiket kereta buat kita berangkat ke kampung.”

Setan tak lagi membalas. Dari beberapa hari yang lalu, dia sudah berusaha membujuk Bang Sat. Namun, tetap tak berbuah hasil. Lelah, lama-lama. Maka dari itu, akhirnya Setan memilih menurut saja. “Dasar Bang Sat, dibilangin kok ngeyel.” Ia memanyunkan bibir, tak henti merutuk sebal.

Sepasang manik hitam Setan menatap layar ponselnya, dengan jemari yang sibuk menari-nari di atasnya. “Duh, mana lapar lagi.” Akibat dari keteledoran sang Abang pagi tadi, perut gadis itu sekarang sudah berbunyi kencang.

“Nah, akhirnya dapat juga!” Setan berseru senang. Ia mengklik tiket yang dirasa paling cocok untuk perjalanan mereka berempat; dirinya, Bang Sat, Taeyang, juga Lucy.

Merasa sudah selesai melakukan hal yang diperintahkan padanya, Setan lantas melangkahkan kaki ke luar rumah. Namun, sebelum itu, dia menyempatkan diri untuk menyerahkan gawainya pada Bang Sat—bermaksud untuk meminta agar sang Abang mengecek kembali pembelian tiket yang tadi dilakukannya. “Nih, Bang, lo cek dulu, ya,” katanya, “gue mau ke warung depan sana bentaran. Beli degan.”

Gadis itu kemudian melambai sekilas, lantas kembali melanjutkan langkahnya menuju ke luar rumah. Sang mentari sudah tampak condong ke arah barat—tanda bahwa sebentar lagi waktu berbuka puasa akan segera tiba.

Setan tiba di warung yang menjual air kelapa muda, lima menit kemudiannya. “Sore, Bang. Air kelapa mudanya dua, ya.” Di akhir kalimat, Setan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. Kemudian, karena merasa bahwa sang penjual butuh waktu untuk menyiapkan pesanannya, Setan memilih untuk duduk di salah satu bangku kayu di dekat sana. Menunggu.

Netra Setan menatap lekat pada sosok lelaki yang sibuk menaruh atensi pada dua batok kelapa muda di hadapannya. Bulir-bulir keringat yang mulai mengering—dan pastinya meninggalkan rasa lengket di sana, sudah menyiratkan bahwa sosok tersebut bekerja begitu keras seharian ini.

“Bang, gue perhatiin lo ganteng juga, ya.” Tidak random, bukan Setan pastinya. Bagaimana bisa, dengan entengnya dia menceletuk seperti itu, pada sosok lelaki yang istrinya sudah ada dua? “Mau jadiin gue istri ketiga, gak, Bang?” Nah, kan, makin menjadi anaknya.

Lelaki di hadapannya tersenyum malu, seraya menggulung kaus bagian lengannya, hingga ke pundak; menampakkan lengan yang tampak menghitam karena biasa tersengat matahari. “Emang Neng-nya mau?” Perlahan ia mendekat ke arah Setan, sambil mengulurkan plastik berisi degan.

Setan tersenyum. “Ya maulah, Bang,” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Namun, belum sempat sang lelaki membalas ucapannya, Setan seketika itu juga menggerakkan sepasang kakinya secepat mungkin. “Tapi boong!” Setan berteriak, diikuti tawa puasnya yang menggelegar.

Di sisi lain, sang penjual kelapa muda hanya mampu mengelus dada. “Sabar ….” Ujaran yang tercetus dari bibir lelaki itu tampak sangat menyedihkan, ditambah dengan raut kecewa yang terpancar dari wajahnya. “Nggak jadi dah, dapet istri lagi.” Kecewa.

*****

“Tantia, si gadis cantik jelita pulang!” Setan berseru senang, kala kakinya sudah menapaki bagian dalam rumah. “Bentar lagi buka puasa, bentar lagi buka puasa,” senandungnya.

Setan melangkah ke arah dapur, karena beberapa menit lagi sudah mendekati waktu berbuka. Hanya ada Bang Sat seorang, di meja makan. Sebab, para penghuni kos-kosan ini sedang berlibur bersama sejak kemarin sore, dan rencananya baru akan pulang besok. Jika ditanya mengapa Setan dan Bang Sat tidak ikut? Tentu saja jawabannya: 'Mengajak duo manusia abnormal itu? Kapan-kapan aja.'

“Ngapa lo, Bang? Gue cantik ya, sampe diliatin segitunya?” Alis Setan bertaut bingung, mendapati Bang Sat tengah menatapnya tajam dengan wajah memerah seakan menahan sesuatu.

Di tengah kebingungannya, tiba-tiba saja azan berkumandang. Keduanya berdoa sejenak, kemudian dilanjut dengan minum dan makan—mengakhiri rasa lapar dan haus yang ditahan sejak pagi tadi. “Alhamdulillah,” ucap Setan.

Mengira jika kegiatannya sudah selesai, Setan kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ingin kembali ke kamar.

Namun, mendadak langkahnya terhenti, karena sebuah pitingan yang Bang Sat lakukan di lehernya. Lelaki itu sudah menahan amarahnya sejak tadi, sebab takut pahalanya berkurang akibat emosi. Namun, karena sekarang sudah berbuka, maka dia bebas melakukan apa pun. Ya, 'kan? “Mau ke mana kamu, Setan? Kurang ajar! Cah gendeng!” Bang Sat berteriak penuh dendam. Lengannya yang berisi tak berniat sama sekali melepaskan Setan yang tampaknya mulai kesakitan.

“Ba-Bang, sakit!”

Tiga menit berlalu, barulah Bang Sat mau melepas Setan, meski sempat memberikan toyoran kencang di kepala si adik. Napasnya masih memburu, dan semua orang yang melihatnya akan tahu jelas, bahwa pemuda itu sedang menunjukkan kekesalannya.

“Lo apa-apaan, sih? Gue sesek napas gegara lo, tau, gak!” Setan bersungut, sembari mengentakkan kakinya kesal. “Abang gak waras, lo! Mau bunuh gue apa gimana?” Gadis itu tak tahu lagi harus bagaimana bersikap saat ini. Di satu sisi, pasti ada alasan mengapa Bang Sat main tangan padanya seperti ini, tetapi di sisi lain, Setan merasa dirinya tak melakukan kesalahan.

Bang Sat tak bicara apapun, hanya merogoh saku celananya dengan sebelah tangan dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Ponsel milik Setan, dengan layar yang masih menampilkan riwayat pembelian tiket kereta tadi sore.

“Noh, cari apa kesalahan kamu!” Bang Sat berujar ketus.

Setan meraih ponselnya. Ia masih mengernyit bingung. Namun, sesaat kemudian kedua pupil matanya seketika melebar. “L—loh ….” Dia menyadari sesuatu yang salah.

“Kenapa kamu pesan tiket yang tujuannya ke situ, Setan!” Bang Sat berseru sebal, sambil menghela napas berat. Kedua tangannya mengacak rambut dengan kesal.

Setan menggigit bibirnya gugup. “Perasaan tadi gue nge-klik tiket yang tujuannya Jakarta–Klaten, deh. Kok bisa jadi Jakarta–Kutoarjo, ya?” gumamnya sendiri, bingung. “Ah, gara-gara lo sih, Bang, gue jadi salah pesen, kan!” Bukannya meminta maaf, Setan malah balik menyalahkan Bang Sat.

“Lah, kok?” sahut Bang Sat tak terima.

“Gara-gara tadi pagi gak sahur, gue jadi nggak fokus, tau!”

Bang Sat memukul kepala Setan. “Gak nyambung, Setan!”

“Ish, terus gimana dong?” Setan berdecak frustrasi.

“Batalin,” titah Bang Sat.

Mendengar itu, Setan langsung menolaknya mentah-mentah. “Gak!” tukasnya cepat, “gila, kali! Kita kena denda dua puluh lima persen, kalau mau re-fund tiket, tau! Rugi! Mana gue pesennya empat tiket, lagi.”

“Yo terus iki piye, Setan? Wis, ra po-po,” kekeh Bang Sat, “batalin tiketnya. Kita beli tiket baru. Lagi pula, kamu juga ngapain beli tiket buat hari Selasa? Pamali!” Belum selesai masalah re-fund tiket, Bang Sat sudah membawa masalah baru yang berkaitan tentang mitos-mitos kepercayaannya.

Setan menggeleng kuat. “Gak! Mau gimana pun, tiket ini gak bakal gue tarik! Gak pa-pa, tiket kita cuman sampe Kutoarjo. Ntar bisa pesen tiket baru lagi, dari Kutoarjo ke Klaten,” putus Setan, “lebih mending kita transit dan sampai Klaten lebih telat, daripada harus batalin tiket dan bayar denda!”

Bang Sat melotot tak terima. “Lha terus, tentang hari Selasanya, gimana? Pamali, Setan! Gak elok tau, bepergian di hari itu!”

Setan mengangkat kedua bahunya acuh. “Bodo amat! Gue gak peduli tentang mitos-mitos gak jelas itu! Bye.” Setan melangkah pergi meninggalkan Bang Sat yang masih misuh-misuh, karena sang adik yang begitu keras kepala. Namun, pemuda itu akhirnya hanya diam, karena merasa tak guna juga, jika dia tetap menyuruh Setan melakukan ucapannya.

Angel wes, angel ….”

to be continued ....
best regards, itsmeqia mssana7 DRestiPertiwi xxtnaruwlsy RanEsta13 onederfulonly Ren-san22 wishasaaa yuniizhy_ Kokokruunch

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro