23. Susah Sinyal.
Oke, agaknya Mawar mulai kepikiran sesuatu. Ini sebenarnya tidak tiba-tiba sih, tetapi ya mengusik juga, sampai membuat gadis itu tidak bisa tidur. Tatapan dari pelupuk monolid Taeyang yang nyaris tanpa kedip tatkala melihat dirinya untuk pertama kali jelas membuat hati Mawar ber-badum-badum sampai ingin ber-fanchant rasanya.
Iya, Mawar memang cantik sih, saking cantiknya sang ayah sampai bingung menjawab semua niatan para lelaki yang ingin berkunjung untuk melamar.
Untunglah sang ayah tidak berpikiran kolot dan berwawasan luas sehingga mendukung Mawar untuk sekolah tinggi, tidak memaksanya menikah muda seperti kebanyakan gadis di desanya yang berumur kurang dari 20 tahun sudah sibuk menggendong anak.
Mata bulat dengan bulu mata lentik, dibingkai wajah oval menggemaskan tak lupa hidung bangir bak perosotan yang berpadu apik dengan bibir semerah cheri benar-benar memanjakan mata siapa pun yang melihat. Sampai-sampai setiap orang bertanya, apa benar Mawar anak Pak Basuki yang mirip Tukul Arwana itu? Terkadang mulut warga kampung memang setajam jemari netizen sih. Maklum saja, mungkin mereka lupa kalau almarhum ibunya Mawar seorang bule asal Italia yang terdampar di Pulonharjo. Dulu bahkan warga kampung menuduh Basuki melakukan pelet jaran goyang pada ibu Mawar. Padahal sebenarnya Madelaine--ibu Mawar--sangat tergila-gila dengan wajah unik Basuki.
Taeyang pernah berkata, kalau Mawar hidup di Korea, dia pasti sudah menjadi rebutan agensi untuk menjadi idol. Memangnya, pria berkebangsaan Korea itu paling pintar memancing semu hinggap di kedua pipi Mawar. Bahkan Taeyang sudah pintar menggombal yang kemungkinan besar diajarin Bang Sat. Gombalan garing dan sudah basi dia lontarkan di suatu sore menjelang berbuka yang anehnya berdampak pada desir hangat dalam relungnya.
"Neng, bapak kamu satpol pp, ya?"
Mawar yang saat itu sedang mode guyon menjawab, "kok tahu?"
"Karena kamu telah merazia hatiku."
Setan yang saat itu berada di sebelah Mawar bahkan tergelak begitu hebohnya. Gadis jomlo itu jelas mengejek gombalan mengerikan Taeyang.
"Sumpah ya, Oppa. Rasanya darah tinggi gue naik ini dengerin gombalan basi lo, diajarin Bang Sat pasti nih."
Kedua insan itu hanya tersenyum malu-malu sebelum akhirnya melayangkan delikan maut pada Setan yang saat itu benar-benar bertindak sebagai setan. Bukankah pepatah mengatakan, kalau ada perempuan dan laki-laki berduaan, maka orang ketiganya itu setan? Mengganggu saja.
Alarm yang diset pada pukul 03.00 pada ponselnya sudah menyala. Mawar bahkan belum memejamkan matanya barang sedetik pun. Sosok imajiner Taeyang masih saja sibuk berlarian dalam lobusnya.
"Aduh kenapa sih keingetan mulu," monolog Mawar lirih. Maafkan otak travelling-nya yang bahkan sampai ke acara pernikahan ala Korea. Gadis itu sebenarnya tidak berniat membayangkan sampai ke sana, lagi pula agama Taeyang pasti berbeda dan mungkin belum disunat juga.
"Astagfirullah!" Mawar sampai menggetok kepalanya sendiri. Ini travelling-nya sudah sangat kejauhan. Gadis itu terus-menerus menggeleng sebelum akhirnya memilih beranjak menuju dapur guna menghangatkan nasi dan lauk pauk untuk sahur.
Dalam perjalanannya menuju dapur terlihat sang ayah sedang salat. Kalau perkara ibadah, Basuki memang saleh sekali. Pria paruh baya itu bahkan sering mengingatkan Mawar agar memperbanyak ibadah akhir bulan Ramadan dengan harapan mendapatkan berkah Lailatul Qadar--malam seribu bulan.
Bulan Ramadan memang dijadikan umat Islam untuk berlomba-lomba memperbanyak pahala. Mawar ingat, bukan hanya Basuki yang taat akan perintah agama. Bahkan almarhumah sang ibu juga kerap memperingati Mawar dan membekali ilmu agama. Meski ibunya adalah mualaf, Mawar tak habis pikir jika pengetahuan agamanya melebihi yang mawar tahu. Dahulu juga saat masih kecil, sang ibulah yang mengajarinya tentang bulan Ramadan, malam Lailatul Qadar, dan sebagainya.
Pun kini, saat wanita itu sudah kembali ke sisi Tuhan, Mawar hanya bisa mengenang setiap detail kenangan yang tersisa. Kadang-kadang saat bulan Ramadan mulai menyapa, Mawar merasa sangat rindu. Meski rindu itu datang setiap hari, tetapi saat bulan Ramadan lebih-lebih.
“Aku kangen ibu.”
*
****
“Oh, Harry! I’m sorry, Baby ....” Kalimat Lucy terputus saat sambungan telepon juga ikut terputus. Panggilan video dengan Harry berakhir begitu saja. “Aaa, Tantia! You said there is a lot of signal. But, why? Sinyalnya datang dan pergi.” omel Lucy.
“Ya, gimana. Yang penting ada sinyal, kan. Sabar aja, Cy.”
Setan yang tengah menyapu lantai di teras depan hanya berujar santai. Pun segera menahan tawa saat Lucy misuh-misuh dia atas batang pohon mangga yang tumbuh di depan rumah. Ide gila Setan, menyuruh Lucy naik pohon demi mencari sinyal. Padahal, mau naik atau tidak pun, sinyalnya tetap sama.
Parahnya, gadis bule itu percaya-percaya saja. Beberapa menit lalu bahkan ia asyik bertengger di batang pohon yang tak terlalu tinggi. Berbekal tangga panjang dari pohon bambu, Lucy rela menaiki pohon mangga hanya agar bisa menyapa sang kekasih di Amerika sana. Raut wajah Lucy berubah keruh saat panggilan video terputus karena koneksi buruk.
“Look, Tantia. Ini nggak bisa!” Lucy memamerkan ponsel dengan jengkel dari atas sana.
“Ya, gue harus gimana? Turun aja gih! Rasane kowe betah aja di situ, Cy. It’s look like mmm ... a monkey?”
“Setan memang kamu, Tan.” Lucy hendak turun, tetapi melihat tanah di bawahnya, tiba-tiba jantung Lucy berdetak lebih cepat karena takut. “Tantia, aku nggak bisa turun!” jerit Lucy.
“Lah, kok? Bisa-bisanya dia, bisa naik, tapi nggak bisa turun?”
“Help me, please! Tantiaaa!” teriak Lucy di atas sana.
“Aduh, tinggal turun aja, Cy. Tadi naik bisa!” Setan menggaruk kepala yang tak gatal, lantas turun dari terasa untuk membantu Lucy. “Nih, gue pegangin tangganya. Lo sekarang turun, gih.”
Lucy mengangguk patuh, pelan-pelan dia mulai menurunkan kaki kanan guna meraih anak tangga pertama. Namun, gadis itu kembali menjerit karena melihat kondisi di bawah sana. Tiba-tiba saja pikirannya melayang ke sana kemari, bagaimana kalau sampai terjatuh, lalu kepalanya bocor, ah tidak ... kemungkinan terburuk, bagaimana kalau Lucy tidak bisa bernapas lagi alias meninggal dunia.
“Ya Allah, Lucy! Ayo, buruan! Lagian ini nggak tinggi-tinggi amat, kok.” Setan menggerutu sebal di atas sana.
“Huaaa! Aku nggak bisa, Tantia.”
Untung saja Dedemit dan Iblis sedang tidak di rumah, bisa-bisa Setan kena marah. Dia harus segera menghentikan Lucy sebelum ada warga yang datang melihat keributan itu.
“Hush, Cy! Gue bantuin, tapi jangan nangis, deh. Cengeng amat, heran!”
“Rame tenan, toh! Ganggu aja si Setan.”
Beruntung sekali, Bang Sat keluar dari rumah selepas menunaikan salat Zuhur. Pemuda itu berlari kecil seraya membenarkan sarung agar tidak melorot. Tatapan tajam langsung tepat sasaran ke arah kedua bola mata adiknya. Setan yang merasa bersalah hanya bisa menyengir lebar.
“Ada apa, sih, Satria?”
Taeyang juga ikut bergabung seraya mengucek mata. Rupanya tidur siang Taeyang jadi terganggu karena suara ribut-ribut di luar, padahal tadi sedang indah-indahnya bermimpi syuting musik video romantis bersama Mawar.
“Iki, Oppa. Lucy nggak bisa turun, padahal tadi bisa naik,” adu Setan pada Taeyang dan memilih mengabaikan Bang Sat.
“Lagian kenapa naik, sih, Cy?” tanya Bang Sat.
Lucy melirik tajam ke arah Setan. “Tanya aja your sister, tuh!”
Benar saja, Bang Sat langsung menggeram murka pada adiknya. Benar-benar cocok nama Setan yang melekat pada diri Setiani Tantia itu. Seolah sadar akan tatapan kedua kakak beradik yang beradu dalam kekesalan, Taeyang lantas menengahi. Terlalu malas jika ada perdebatan panjang, sebab Taeyang ingin melanjutkan lagi mimpi indahnya bersama Mawar.
“Ayo, Cy! Sini aku bantuin, turun aja. Nggak apa-apa, kok. Kami pegangi,” kata Taeyang seraya melirik Setan dan Bang Sat secara bergiliran.
Seolah paham jika Taeyang meminta untuk bergabung, membantu memegangi tangga agar Lucy berani turun, kakak beradik itu segera ikut membantu.
“Oppa, itu tangganya gerak-gerak. Aku takut,” ungkap Lucy.
“Wes, Cy. Tinggal turun! Ini udah dipegangi tiga orang. Nggak akan gerak-gerak,” imbuh Bang Sat. Kali ini Setan mengangguk setuju.
Lucy pun memberanikan diri untuk berpijak. Pelan-pelan, satu demi satu, tetapi sayang di langkah menuju anak tangga terakhir, Setan justru melepas pegangan karena kedua tangan yang terasa gatal. Akhirnya tangga pun bergerak-gerak, membuat tubuh Lucy limbung. Taeyang, Setan, dan Bang Sat auto panik.
“Aaaa!” teriak Lucy saat kakinya terpeleset. Lucy merasakan tubuhnya melayang sedikit di udara, sampai akhirnya mendarat mulus ... eh, bukan di tanah? pikirnya. Lucy yang memejamkan mata, lantas membukanya dengan cepat. “Oppa!” teriak Lucy.
Dia barus saja mendarat mulus dalam gendongan bridal style Taeyang. “Huaaa Oppa! Thank you so much! Kalau nggak ada Oppa, aku pasti sudah sekarat.”
“Innalillahi wainna ilaihirojiun,” ucap Bang Sat dan Setan dengan kompak.
“Ada apa ini?”
Sontak saja suara lembut itu membuat mereka berempat kompak menoleh. Di belakang sana, Mawar berdiri menatap satu-persatu dari mereka. Lantas membelalak kaget saat melihat Lucy digendong Taeyang. Pemuda Korea itu lebih-lebih, matanya melebar sempurna dan refleks menjatuhkan Lucy ke tanah. Tubuh gadis itu berdebum, menciptakan suara pekikan kesakitan.
“OPPA! JAHAT BANGET!”
“R-Rose, eh, Mawar! Nggak seperti ....”
Mawar hanya melengos, lantas menjejalkan beberapa lembar uang ke tangan Setan. “Aku ke sini mau kembalikan uang yang kupinjam dari ibumu, Tan.” Setelah berkata demikian, Mawar langsung balik badan untuk pulang.
Punggung Mawar sudah mengecil karena jarak, sementara Taeyang hanya menunduk lesu. Mau mengejar, tetapi siapa dia?
Satria menepuk pundak Taeyang. “Wes to, Yang. Ora pantes kamu melow begini.”
“Uljimayo, Oppa,” kata Lucy di bawah sana sambil mengusap bokong yang terasa berdenyut-denyut.
“Uljimayo matamu, Cy! Mawar itu gebetanku, lho. Kalau sampai mikir yang nggak-nggak gimana? Ih, kamu sih! Pakai segala jatuh ke aku!” gerutu Taeyang.
Bang Sat menghela napas saat melihat raut kesal Taeyang, tetapi berhasil membuat Lucy menunduk karena merasa bersalah. Sementara Tantia, hanya menatap beberapa lembar uang bergambar presiden pertama Indonesia di genggamannya. Hm, lumayan buat THR. Simpan dulu, ah. Kalau ibu nggak ingat, kan, bisa ....
“Tantia!” Teriakan itu berhasil membuyarkan niat tidak baik dari Setan. Rupanya Lucy yang mengulurkan tangan, agar Setan membantunya berdiri. “Tanggung jawab!”
Mau tak mau, Setan membantu Lucy berdiri. Setan menoleh pada Taeyang yang masih menatap ke mana tadi Mawar pergi. Seketika Setan bergidik ngeri sekaligus prihatin.
“Sadar, Oppa! Oppa Katedral, dia Istiqlal.” Setan tak lupa menepuk-nepuk pundak Taeyang.
Pun Taeyang tak bisa mengelak karena itu benar. Tembok pemisah antara dirinya dan Mawar sangat tinggi dan kokoh. Duh, Taeyang makin galau dibuatnya.
to be continue ....
best regards, itsmeqia mssana7 DRestiPertiwi xxtnaruwlsy RanEsta13 onederfulonly Ren-san22 wishasaaa yuniizhy_ Kokokruunch
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro