19. Janji Sayur Sahur.
Mobil hitam pekat yang membawa beberapa anak rantau itu mulai keluar dari area jalan raya dan memasuki jalanan kecil. Terlihat pergerakan mobil tersebut lumayan pelan dengan terus bergoyang tidak karuan akibat jalanan yang sedikit berbatu.
Setan dan Bang Sat tak henti-hentinya menyapu pandang pada setiap tempat di sisi kanan-kiri mobil. Tepat saat berbelok di pertigaan jalan, sebuah gapura besar bertulisakan 'Dusun Gondang' terpampang menyambut mereka. Senyuman Setan merekah, ia akhirnya bisa memijakkan kaki di salah satu dusun di Desa Sidowayah yang merupakan tempat kelahirannya.
Berbeda dengan Lucy dan Taeyang, kedua insan luar negeri itu malah terlelap. Entah karena terlalu kenyang habis menyantap banyak hidangan di Ketjeh Resto, atau karena memang pukul sembilan adalah waktunya mereka tidur.
Sebuah gapura berukuran lumayan besar mereka lintasi, membuat perhatian Bang Sat tersita karena tulisan yang bertengger di atasnya. 'Umbul Siblarak'. Seketika bayangan sewaktu kecil terlintas di benak pemuda itu. Menolak lupa kalau dulu dirinya sering bermain di tempat wisata air yang penuh pesona alam asri tersebut.
Menangkap raut sang abang yang sedang mengenang masa kecilnya di sana, Setan langsung bertanya, "Bu, Umbul Siblarak ora ditutup?" Suara Setan sontak membuat Bang Sat menoleh dan sedikit berdecak.
Dedemit yang sedang berusaha menahan kantuk seketika terkesiap, lalu menggeleng. "Ora, Nduk."
"Nopo, toh? Bukannya lagi PSBB mesthine tempat rame koyo ngono ora dibuka," oceh Setan melirik Bang Sat sekilas.
"Ibu juga ora ngerti, Nduk."
Bang Sat menatap tak suka pada adik yang menjengkelkan itu. Bisa-bisanya Setan membuyarkan aksi bernostalgianya. Dia pasti iri, karena dulu Setan selalu dilarang bermain keluar dan malah sering menghabiskan waktu di rumah membantu Dedemit.
"Iri bilang, Bos!" seru Bang Sat seraya melipat kedua tangan.
"Wes toh, aja rame. Mengko temanmu kebangun," ucap Iblis dengan masih fokus pada jalanan.
"Harry! So sorry, Baby." Tiba-tiba suara si gadis bule mengalihkan perhatian mereka. "Sorry banget, because I gak ngebolehin you ke sini. I pasti akan ajak you ke Indonesia, kok, but nanti. I tahu you pengen sekali ikut mudik together with my friend, but now belum waktunya, Babe. I promise, nanti kita mudik bareng."
Ocehan Lucy membuat Bang Sat dan Setan mengernyitkan dahi. Gadis itu mengigau dengan lebay, apalagi di akhir ucapannya Lucy sampai memajukan bibir dengan maksud mencium sang kekasih dari alam mimpi. Setan hampir saja muntah menyaksikannya.
"Punya temen gini amat, dah."
Beda lagi dengan Bang Sat, dia memang ilfeel melihat Lucy seperti itu. Namun, entah kenapa benaknya seketika jadi teringat dengan Seranissa. Ya, Nissa, gadis berhijab pujaan hatinya. Hati kecil Bang Sat seketika merintih merasa bersalah karena tidak memberi tahu Nissa tentang kepulangannya ke kampung halaman. Apalagi, satu minggu lalu dirinya sempat menyapa Nissa saat gadis itu tengah membeli sayuran di depan indekosnya. Waktu itu Bang Sat berjanji akan memborong sayuran untuk dimasak saat sahur. Gurauan semata tersebut nyatanya terus berputar di kepala Bang Sat.
"Aku tunggu janjimu."
Nissa, si gadis anggun yang tidak sombong itu nyatanya membalas modusan ala Bang Sat yang receh. Ucapannya tersebut berhasil membuat Bang Sat terus berpikir. Janji tetaplah janji.
Ya walaupun Nissa masih berstatus bukan siapa-siapanya Bang Sat, tetapi sesekali mereka pernah berbincang dan pastinya Bang Sat yakin dari situ Nissa menganggapnya teman. Sesama teman saling memberi kabar itu wajar, bukan? Terlebih beberapa hari sebelum Bang Sat mudik, dirinya berhasil mendapatkan nomor ponsel Nissa. Kesempatan emas sudah di depan mata.
Tangan Bang Sat segera merogoh ponsel dari dalam tas. Mencoba memasukan sederet nomor yang tersimpan di balik dompet yang beberapa jam lalu hampir saja hilang.
Cittt!
Decitan mobil akibat Iblis yang tiba-tiba mengerem mendadak, membuat segelintir kertas yang bertuliskan deretan nomor itu terjatuh, pun dengan dompetnya.
"Ish, Bapak! Nopo ngerem dadakan, toh?" tanya Bang Sat sedikit kesal.
Taeyang, Lucy, Setan, dan Dedemit pun tak beda terkejutnya. Mereka meringis memegangi kepala dan dua orang turis di belakang akhirnya membuka mata.
"Nuwun sewu. Tadi Bapak ngantuk dan hampir saja rumah kita kelewatan," jawab Iblis disertai cengiran.
"Kita wes sampe, Pak?"
"Nggeh, Tan. Ayo, semuanya turun."
Uapan dua manusia yang baru saja bergulat di alam mimpi itu terdengar. Lucy meregangkan tubuh dan tak sengaja mengenai Taeyang yang duduk di sampingnya.
"Lucy!" Taeyang menggeram.
"Sorry, sorry."
Setan memutar bola mata sebal. "Udah, jangan ribut. Gak lagi bangun gak lagi tidur, kalian tetep aja ngeselin."
Taeyang dan Lucy hanya mengembuskan napas panjang mendengar dumelan Setan. Sementara Bang Sat sibuk mencari dompet dan kertas kecil di bawah kursi, untung saja kedua benda tersebut cepat ditemukan.
Kepala Lucy bergilir mengamati sekitar dari dalam mobil. Rumah yang baru pertama kali ia lihat membuat mata Lucy berbinar. "Rumahmu keren ya, Tan."
"Ya iyalah keren! Masih tradisional dan original khas Jawa Tengah," sergah Bang Sat menaik turunkan kedua alisnya.
Mereka segera turun dan mengambil barang-barang dari bagasi mobil. Sebuah rumah Joglo yang merupakan rumah adat Jawa Tengah kini berdiri kokoh di depan mereka. Beberapa tanaman hijau melengkapi area teras, membuat rumah tersebut semakin terkesan nyaman dan damai.
Setan menarik napas seraya memejamkan mata, lalu mengembuskannya perlahan dengan senyuman mengembang. "Rumah, i'm coming!" serunya berlari kecil. "Bang Sat, bawain barang-barang gue, ya!" Di sela larinya Setan masih sempat-sempatnya memerintah sang kakak.
"Ogah!"
Sebelum langkah Setan sampai di teras rumah, seketika sosok gadis seumurannya muncul dari balik pintu. Ia berjalan beberapa langkah dan menghentikan langkah kecilnya tepat di Pendapa, bagian depan rumah yang digunakan untuk menyambut tamu.
Gadis dengan rambut lurus nan panjang yang terikat serta tersampir ke depan tepat di sisi kirinya itu berucap, "Selamat datang, Tantia."
Kedua bola mata Tantia membola, dia merentangkan tangan sembari melanjutkan berlari. "Mawaaar!" Pelukan keduanya langsung tercipta, membuat lima orang yang masih di dekat mobil dengan sibuk membawa barang-barang hanya menggelengkan kepala.
Berbeda dengan Taeyang, mata sipitnya sama sekali tak berkedip melihat bidadari yang katanya lebih cantik daripada Mawar Blackpink.
Semuanya kini mulai memasuki rumah. Langkah mereka berakhir di Omah Njero yang merupakan area berkumpul bagi keluarga atau kerabat terdekat. Setan langsung mengempaskan tubuh di sofa, disusul Lucy dan Taeyang, pemuda korea itu masih tetap saja tak mengalihkan pandangan dari gadis yang sekarang sedang bercengkerama melepas rindu bersama Setan. Mawar memang diperintah Dedemit untuk menunggu rumahnya di saat mereka menjemput Setan dan Bang Sat.
Suguhan beberapa gelas teh hangat mulai dihidangkan oleh Dedemit di atas meja. "Monggo, diminum dulu. Kalian pasti cape." Tanpa basa-basi, Lucy segera menyerbu minuman manis tersebut.
"Eh, Cy. Nanti lo tidur bareng gue. Kebetulan Mawar juga mau nginep di sini," dalih Setan semringah.
Lucy mengangguk semangat. "Okay, will be fun!"
Ketiga gadis itu langsung melipir ke Senthong alias kamar tidur. Sementara Bang Sat malah bangkit setelah menyeruput teh hangat buatan sang ibu. Ia berjalan keluar tepat ke teras samping. Tangannya kembali merogoh ponsel dan mengambil kertas kecil itu lagi dari dalam dompet.
Bunyi tombol angka saat memasukkan nomor ponsel Nissa terdengar nyaring. Kemudian ia menambahkan kontak tersebut dengan nama 'Gebetanku'.
Ia harus menelepon Nissa sekarang juga, setidaknya dengan begitu rasa bersalah pria tersebut bisa berkurang. Namun, gerakan jemari Bang Sat terhenti. Jam di ponselnya sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Apakah Nissa sudah tidur? Bang Sat menggeleng, bodo amat dengan sang gebetan yang sudah tidur atau belum, dia tetap harus mencoba menghubunginya.
Bunyi menunggu jawaban panggilan dari nomor yang dituju terdengar cukup lama. Bang Sat berpikir mungkin memang Nissa sudah bobo cantik. Akan tetapi, saat Bang Sat hendak menekan tombol telepon merah, tiba-tiba panggilannya tersambung. Dada pemuda itu menjadi berdetak lebih cepat. Dia bingung harus memulai pembicaraan seperti apa.
"Assalamualaikum. Halo? Ini siapa, ya?"
Suara merdu dari seberang telepon membuat Bang Sat langsung tersenyum lebar. "Waalaikumsalam. Halo, Nis. I-ini aku, Satria."
"Oh, Satria."
"Iya, hehe." Kekehan Bang Sat tercipta sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia terus berpikir ucapan apa lagi yang harus dilontarkan. "Aku ganggu gak?"
"Nggak, kebetulan aku baru selesai belajar."
Duh, Nissa memang gadis yang sempurna. Udah baik hati, tidak sombong, anggun, sholehah, rajin belajar pula. Mahasiswi seperti Nissa pasti banyak yang ngincar. "Oh gitu, ya."
"Iya. Um, omong-omong ada apa ya telepon malem-malem?"
"I-itu ... anu."
"Anu apa?" Tawa kecil menyapa rungu Bang Sat dari seberang telepon.
"Aku mau minta maaf."
"Maaf?"
"Iya, Nis. Kamu masih ingat kan seminggu lalu aku pernah janji mau beliin kamu sayuran buat dimasak pas sahur."
"Oh itu, iya aku ingat. Terus?"
"Maafin aku, ya. Aku gak bisa tepatin janjiku. Soalnya aku malah mudik dan mungkin bakal sampe lebaran di sini."
"Kamu mudik? Ke mana?"
Bang Sat tersipu mendengar keterkejutan Nissa, dia mengira gadis itu pasti tengah memedulikannya.
"Ke Klaten, Jawa Tengah. Ini baru sampe."
"Syukurlah kamu sama Tantia sudah sampe tujuan dengan selamat. Dan untuk masalah janjimu, janji tetaplah janji, Satria. Itu hutang malah, apalagi ini di bulan Ramadan. Tapi gak apa-apa, lagipula aku gak maksa hehe. Masih banyak waktu juga, jadi masih bisa kapan-kapan."
Cengiran Bang Sat tunjukan walaupun tak bakal terlihat oleh Nissa. "Makasih, Nis. Maaf juga kalo aku ada salah. Intinya mohon maaf lahir batin, Nissa."
Tawa Nissa kembali hadir. "Lebarannya, 'kan belum, Sat. Udah maaf-maafan aja."
"Minta maaf buat orang spesial mah harus didahulukan."
"Eh?"
"Bercanda hehe."
"Iya, itu bagus. Karena perihal memberi dan meminta maaf gak harus selalu dilakuin saat lebaran aja."
"Nah itu."
"Ya sudah, Sat. Aku tutup dulu, ya, teleponnya. Udah malem, waktunya tidur."
"Oke, selamat malam, Nis."
Panggilan keduanya berakhir. Bang Sat langsung memeluk ponselnya dengan erat. Baru kali ini hatinya sungguh berdebar dan berbunga-bunga menghadapai sang gebetan, padahal hanya melalui telepon saja. Cinta memang seindah itu, ya.
to be continue ....
best regards, itsmeqia mssana7 DRestiPertiwi xxtnaruwlsy RanEsta13 onederfulonly Ren-san22 wishasaaa yuniizhy_ Kokokruunch
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro