17. Klaten Dan Ibu Dedemit.
Semburat merah di langit biru gelap melukiskan kehangatan. Mungkin saja sang surya yang meninggalkan jejak hangatnya sebelum tenggelam di ufuk barat, atau mungkin kehangatan yang terpancar dari insan-insan yang rindu akan kepulanganlah, yang melukiskan kegembiraan dalam hati mereka dalam bentuk merah hangat.
“Nduk, kok, kamu kurusan gini?” Ibu dari Bang Sat dan Setan terlihat menautkan kedua alisnya dengan khawatir. Sayu matanya yang penuh kasih sayang terus menilik putrinya.
Setan tertawa kecil selama ibunya terus mengoceh tentang pipinya yang menirus dan menonjolnya tulang di pergelangan tangan. Meski agak canggung awalnya karena ia terlihat seperti anak mamih yang begitu dimanjakan oleh ibunya. Namun, perasaan itu dengan cepat tergusur oleh rasa rindu. Kira-kira sudah berapa lama ia tak mendengar ocehan nyaring ibunya?
“Salah Bang Sat, Bu! Jatah makan Setan diambilnya.” Untung saja Setan punya kambing hitam yang bisa disalahkan kapan saja.
Si kambing hitam hanya bisa melongo saja, memamerkan wajah borosnya yang kebetulan mirip kambing. “Heh, asline weteng kowe kayak karung!”
Sontak Setan melancarkan jurus maut kedua, cubitan tangan Setan. Namun, kali ini berkat jimat batu akik Bang Sat, kulit pemuda bermuka boros itu tiba-tiba kebal bak kulit badak. Entah apakah jimatnya yang berhasil atau Setan mencubit kulit kapalannya.
“Wis, ojo gelut. Masih puasa ini, Satria, Tantia,” tegur ibu keduanya.
Mata sayu yang sudah dipenuhi garis halus di sisinya, menangkap dua sosok yang asing, tapi cukup familier di benaknya.
Wajah oriental khas asia timur berpadu dengan wajah tampan serta tubuh tinggi si pria. Di sebelahnya, ada wajah cantik khas barat yang identik dengan rona merah, cocok dengan karakter semangat gadis itu.
“Duh, kayak ndak asing liat Mbak Bule sama Oppa Korea ini,” celetuk ibu dari kedua kakak beradik itu, “coba, Ibu mau kenalan sama kalian.”
Lucy dan Taeyang langsung berseri-seri, menunjukkan senyum lebarnya yang bak anak baik-baik dan berahlak di depan wanita tua ini. Memang betul, kedua pemuda-pemudi yang berbeda kewarganegaraan itu sudah tak sabar berkenalan dengan ibu Bang Sat dan Setan.
“Saya Taeyang, Bu. Kim Taeyang, yang arti namanya matahari!” Taeyang menangkup wajahnya dengan kedua tangan, seakan menyamakan wajahnya dengan matahari.
Antuasiasme Taeyang dibalas baik oleh ibu kakak beradik itu. Dengan wajah mengkilap bak diamplas hingga mulus, siapapun setuju bahwa wajah tampan Taeyang bercahaya seperti matahari.
“Wah, Satria keren ya, bisa kenal sama oppa-oppa Korea secakep kamu. Ibu sampai kira kamu idol, loh.”
“Beda sama Bang Sat yang buruk rupa,” bisik Setan yang tentunya saat itu juga, jari kakinya dibuat nyeri oleh injakan sepatu Bang Sat.
“Kalau Mbak siapa, nih? Kelihatan segar banget wajahnya.” Kini giliran Lucy yang ditanyai oleh ibu Bang Sat dan Setan.
“Lucy Fern, usually dipanggil Lucy. Nice to meet you, Tantia’s and Bang Satria’s mother.” Rona merah di pipi Lucy semakin kentara. Terlihat jelas dari senyum lebar dan kakinya yang terus berjingkrak-jingkrak pelan di tempatnya, bahwa Lucy senang sekali saat ini.
“Aduh, nice to meet you too … Ibu lihat kamu waktu di video call. Duh, temennya Tantia kalem, ya.”
Setan ingin gumoh saat itu juga, tunggu saja hingga ibunya melihat Lucy berhadapan dengan hal yang gadis itu belum pernah lihat sebelumnya. Pasti gendang telinga ibunya seakan mau pecah ketika dihadapkan dengan seribu pertanyaan Lucy.
“Ibu udah kenalan sama kalian berdua, tapi belum kenalin diri. Jeneng Ibu yaiku Dedeh Mitia, dipanggil Ibu juga gak apa, kok.”
Rasa sejuk serta sambutan akan kepulangan seakan terpeta di senyum wanita yang menjabat sebagai ibu rumah tangga saat ini. Senyumnya sungguh meneduhkan, orang-orang mungkin tak akan percaya jika Bu Dedeh Mitia kerap kali dipanggil dengan nama Dedemit.
Ya ... meskipun ia dipanggil Dedemit karena singkatan namanya. Panggilannya tak sesuai dengan aura penuh keibuan yang dipancarkannya.
“Yuk, ke mobil. Bapak udah nungguin,” ajak Bu Dedeh Mitia yang kini bisa kita panggil saja dengan nama Dedemit.
Keempat muda-mudi itu mengambil tas serta koper masing-masing, mereka berjalan mengikuti langkah Dedemit.
Keluar dari masjid, mereka dihadirkan dengan berbagai penjaja dagangan yang memenuhi daerah sekitar stasiun. Hidung Bang Sat yang peka akan makanan, berkedut ketika bau gorengan tercium. Sekali lagi Bang Sat mengendus udara tuk memastikan dan perkiraannya tak salah!
Sepanjang matanya memandang daerah stasiun, penjaja gorengan menghiasi jalanan dengan nyala kompornya dan bunyi letupan minyak ketika adonan dimasukkan. Tak hanya itu, takjil pun ikut berdiri bersisian dengan gorengan. Tentu karena bulan ini adalah bulan Ramadan, takjil adalah jenis makanan nomor satu yang diburu.
Bunyi terompet dari tukang mainan menarik perhatian pemuda-pemudi tersebut. Mata mereka berbinar ketika menatap barisan mainan anak kecil yang terpajang. Kilasan masa kecil mereka seakan terputar ulang ketika melihatnya.
Selain penjaja makanan dan tukang mainan, keberadaan tukang baju yang menjajakan jualannya di truk pick-up sukses menarik perhatian kaum pemburu baju lebaran, siapa lagi kalau bukan Lucy. Binar mata di gadis barat itu semakin terang ketika telah menentukan target buruan baju lebaran baru.
Berbanding terbalik dengan Lucy yang kini berjingkrak-jingkrak senang seakan ada kupu-kupu berterbangan di perutnya, raut wajah Setan mengeruh lantaran merasakan hawa tak enak. Entah kenapa, tapi rasanya ada yang meresahkan, batin gadis itu sembari memasang wajah masam ketika menatap barisan acak para penjual dari berbagai kelompok.
Benar saja, firasatnya tak salah ketika mengatakan ada sesuatu yang meresahkan. Di mana ada pasar, di situlah mode belanja Lucy aktif. Sebenarnya kekepoan Lucy akan budaya Indonesia adalah hal yang bagus. Namun, ada alangkah baiknya jika gadis itu memperhatikan waktu dan tempat serta uang jika perlu, sebelum ngacir mendatangi akang jualan.
“Woi, Lucy!”
Teriakan Setan tak dihiraukan oleh Lucy sama sekali, rupanya gadis bule itu sudah kesetanan oleh setan yang lebih kuat dari Setan.
“Wes, si Lucy mau ke mana, Tan?” tanya Bang Sat keheranan ketika gadis bule itu melesat sangat cepat, bahkan lebih cepat daripada superhero the flash.
Tanpa perlu dijawab oleh Setan, Bang Sat langsung tahu ketika sosok gadis bule itu terlihat menimbrungi lautan emak-emak yang berburu baju lebaran. Memang ada-ada saja kelakuan Lucy Fern ini!
“Loh, padahal kudu cepet-cepet ke Polanharjo buat buka puasa,” celetuk Dedemit. Wanita tua itu menggelengkan kepala, keheranan melihat Lucy yang kesetanan, mencoba menyambar baju lebaran.
“Susul gih, Tan,” paksa Bang Sat.
Setan membulatkan matanya, seenaknya saja Bang Sat menyuruh-nyuruh dirinya. “Kenapa gak kowe aja!”
“Banyak emak-emaknya, Tan. Aku wedi.” Bang Sat beralasan. Meski begitu, alasannya tak sepenuhnya bohong. Ia memang paling takut diamuk lautan emak-emak.
“Fighting, Tan!”
Dukungan semangat dari Taeyang tak berpengaruh pada Setan sama sekali, gadis itu terus menggerutu sembari berjalan menuju Lucy. Apalagi ketika Bang Sat meneriakinya, “Gak lupa ‘kan, mobil bapak yang mana?!” Gadis itu langsung mengumpati abangnya dalam hati.
Benar-benar kesabarannya harus diuji habis oleh kedua orang itu. Untung saja kelakuan Taeyang masih di batas waras. Kalau otak oppa Korea itu sama-sama kekurangan sel seperti Lucy dan Bang Sat, maka sudah dipastikan hanya Setan sendiri yang dianggap sebaga manusia normal di antara rombongan mereka.
“Duh, lagi ngapain sih, si Lucy pake acara beli baju lebaran lagi?” dengkus Setan kesal, “lagian buat apa jajan di sini? Kan masih ada waktu lain buat belanja lagi.”
Namun, Setan harus menelan ludahnya sendiri lantaran telapak kakinya berbelok dengan sendiri menuju tukang petasan.
“Bang, regane piro?”
Baru saja mencak-mencak mengenai kelakuan Lucy, ia malah berbelok untuk membeli petasan. Ada sekilas rasa malu di hati Setan. Namun, Setan tentu punya alasannya sendiri mengapa ia tiba-tiba menjilat ludahnya sendiri.
Selain untuk menempati janjinya pada Lucy, berkat suasana Tegal yang berhasil membuatnya bernostalgia tentang masa kecilnya, Setan berniat mengulang masa itu di kesempatan mudik kali ini. Tak ada yang tahu 'kan kapan lagi ia bisa pulang lagi ke kampung halamannya?
Setelah membeli cukup banyak petasan untuk dirinya, Lucy, dan anak-anak di kampung. Setan lanjut menolakkan langkahnya tuk menyeret gadis bule yang masih bergelut di tengah lautan emak-emak. Benar-benar gadis bule itu sudah kesetanan dengan baju lebaran, seharusnya ia dinamai Lucifer, bukan Lucy Fern.
“Lucy!”
Gadis yang kini sedang berlomba-lomba di tengah lautan emak-emak, tak mempedulikan panggilan temannya sama sekali. Pendengarannya hanya mendengar suara emak-emak yang bising menanyakan harga dan menandai baju pilihan mereka, sedangkan matanya hanya tertuju pada satu baju lebaran pilihannya.
“Excuse me! Baju itu punya saya!”
“Hello! Can you minggir sedikit?”
“Mister, how much is this?”
Setelah berbagai perdebatan dan tawar menawar, Lucy akhirya berhasil memenangkan baju lebaran pilihannya. Kali ini ia tak mau ditipu ketika ditawarkan harga mahal, inilah hasil dari pelajaran tawar-menawar yang diajarkan Setan padanya setelah kejadian di pasar.
Baru saja dipikirkan, sebuah tangan menarik paksa Lucy keluar dari kerumunan. Lucy pikir ia mau diculik seperti di sinteron jika saja ia tak langsung melihat wajah Setan.
Setan segera menarik Lucu, keduanya memecah kerumunan yang kembali menyatu lagi setelah mereka keluar. Tanpa memberikan Lucy kesempatan untuk kabur, Setan langsung melingkarkan tangannya di leher Lucy, membuat gadis itu berjalan terseret-seret.
“Ouch, iya, iya. I won’t run away again,” ucap Lucy memberikan kepastian, “hehe, sorry.”
“Cocotmu sorry! Pakai hehe hihi lagi,” dengkus Setan kesal.
Lucy lagi-lagi memamerkan cengir bersalah di depan Setan, ia berharap gadis itu mau melepaskannya, tapi Setan malah mengencangkan kekangan tangan di lehernya.
Lucy merengut karena ia merasa tak nyaman berjalan terseret-seret begini sembari di kekang. Namun, di sisi lain Lucy juga mengakui kalau ia salah karena tiba-tiba kabur begitu saja. Ia sengaja mengerucutkan bibirnya agar Setan peka bahwa betapa tak nyaman posisi berjalannya saat ini.
Kerucut di bibirnya perlahan-lahan menghilang ketika Setan menunjukkan bungkusan kardus pipih berwarna merah dan bungkusan kresek hitam yang berisikan barang-barang dengan bentuk unik. Setelah memperhatikan cukup lama, akhirnya Lucy yakin kalau itu semua adalah petasan!
"Tan, ini petasan, kan?" tebak Lucy.
"Yes," jawab Setan singkat.
“Tantia, you ….”
Mata Lucy berkaca-kaca. Ia selalu tahu kalau Setan menyimpan hati uang balik di wajah galaknya. Hanya saja, Lucy tak pernah bisa menebam kapan saja Setan menunjukkan sisi lembutnya.
“Thank you so much, Tan! You’re the best!”
Setan terkaget-kaget ketika Lucy membalasnya dengan pelukan. Kini keduanya sama-sama sulit berjalan. "Heh, makanya jangan suka kabur-kaburan! Come on, kita harus cepet-cepet ke mobil, ibu sama bapakku udah nungguin buat ke Polanharjo.”
to be continue ....
best regards, itsmeqia mssana7 DRestiPertiwi xxtnaruwlsy RanEsta13 onederfulonly Ren-san22 wishasaaa yuniizhy_ Kokokruunch
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro