Lev • 8 • Gadis Indihome
Dee menarik Tiwi sampai di dekat tukang estetik—es teh plastik. Mereka berhenti di dekat bangku kayu sederhana. Bacaan surat pendek terdengar dari arah musala di kejauhan. Sudah tidak makan, dia juga tidak salat tarawih.
Cewek berprasmina merah itu langsung menarik tangannya. “Aku enggak suka, ya, sama orang kayak kamu. Dateng-dateng bikin perkara aja,” tukasnya sambil mengusap pergelangan tangan yang nyeri.
Cewek berpakaian kaos dan celana longgar di depannya berkata, “Kamu sadar enggak kalau tadi kamu nyaris dalam bahaya?”
Menyadari tampang serius Dee, Tiwi mulai berpikir lamat-lamat. Dalam bahaya gimana?
Lalu matanya membulat. J-jangan-jangan dia pikir aku sama Nandana ke hutan bambu yang sepi itu buat ....
Cewek itu berseru panik dengan wajah yang mengerut malu. “Iih! Ini enggak yang kayak kamu pikirin! Aku sama Nandana tuh enggak ngelakuin yang aneh-aneh, kok, di hutan!”
Dee sedikit memiringkan kepalanya dengan heran. “Hah?”
“Aku sama Dan emang deket kayak cicak dan tembok, tapi kami tau kok batasan masing-masing,” kata Tiwi sambil memegang sisi wajahnya yang panas.
“Tolong, deh, maksudku tuh bukan itu,” timpal Dee yang menelepak dahinya sendiri. Dia melirik bangku di samping. “Duduk dulu. Aku sendiri bingung mau jelasin kayak gimana.”
“Ya udah, bentar, aku mesen teh sisri dulu.” Tiwi melirik si bapak penjual yang sudah menunggu sejak tadi. “Pak, sisri apelnya dua.”
“Kamu beliin buat aku? Kenapa?” Padahal tadi dia marah ke aku. Kok mendadak baik begini? pikir Dee.
“Kamu enggak suka teh sisri?”
“Ya ... suka, sih.”
“Bukan berarti aku udah enggak marah, ya. Aku beliin kamu es biar kamu minta maaf sama Dan nanti,” ancam Tiwi.
Dee mengerut dahi. Dia nyuruh aku minta maaf sama cowok itu?
“Loh, jualan kue juga, Pak?”
“Iya, Neng. Ini sisa jualan takjil tadi sore,” balas si bapak.
“Pas banget, Pak. Saya masih laper, nih. Saya beli risolesnya dua, sama pastelnya dua.”
Tiwi kembali duduk di sebelah Dee. “Aku Tiwi,” katanya masih dengan ekspresi jengkel. “Princess yang turun dari kerajaan untuk mencari buaya—eh, bukan—mencari pujaan hati.”
Cewek bersurai sepundak agak jengkel dengan kepedean Tiwi. “Aku Dee.”
“Dee, aku mau nanya. Tadi kenapa kamu gangguin aku sama Dan pacaran?”
Lah, kok jadi aku yang diinterogasi? batin Dee.
“Kalian ... pacaran?” ulang Dee.
Tiwi terdiam. “Emang kurang keliatan, ya?”
“Sebentar, kamu beneran bisa liat cowok itu?”
Cewek berpasmina merah itu mengangguk. “Enggak mungkin aku enggak ngeliat cowok seganteng itu.”
Dee terdiam. Dia bisa ngeliat arwah juga? Aku baru liat dia di sini. Apa dia pendatang? Ah, mungkin cowok itu sendiri yang memilih untuk menampakkan dirinya ke Tiwi, biar bisa ngejebak dia masuk ke hutan bambu.
“Aaah! Kamu juga suka sana Dan, ya? Makanya gangguin aku sama Dan pacaran!” tuduh Tiwi.
“Sembarangan. Mana mungkin aku pacaran sama dia. Ngeliatnya aja aku enggak suka,” timpal Dee.
Tiwi menganga. “Cowok seganteng Dan pun enggak bikin kamu luluh? Emang level kegantengan cowok yang kamu suka tuh berapa, sih? Selevel Mario Neduh? Apa Miwon yang idol Korea itu?”
“Bukan ganteng yang jadi masalah! Cowok itu tuh ...." Dee tak melanjutkan ucapannya. Karena dia tahu apa yang akan terjadi kalau dia bilang dia bisa melihat arwah.
Aku bakal dijauhin lagi. Terus, dia akan ejek aku, ngatain aku gila, bilang aku cuma bohong dan ujung-ujungnya, aku sendirian lagi.
Tiwi menangkap ekspresi muram Dee. “Dee? Kenapa?”
Dee tersenyuk tipis. “Enggak apa-apa. Aku udah ngeliat dia dari aku kecil dan bagiku dia itu cowok yang jail, kurang kerjaan, dan seram.”
Si bapak penjual estetik menghampiri Tiwi dengan es dan makanan takjil di tangan. “Ini, Neng. Semuanya jadi tujuh ribu.”
Tiwi mengeluarkan uang pas. “Makasih, ya, Pak.”
Tiwi menyodorkan satu es, satu risoles dan pastel ke Dee. “Makasih. Nanti uangnya aku ganti.”
“Enggak usah. Ngapain segala diganti,” kata Tiwi yang melahap risoles. “Mmm, enak nih kalau ada saos.”
Ada jeda sejenak selama mereka menghabiskan makanan dan minuman itu. “Aku enggak ngerti kenapa kamu bilang Dan serem,” kata Tiwi.
Dee mengingat lagi, suatu hari di saat dia kecil, dia melihat Nandana membuat banyak warga takut. Dia menjahili setiap orang yang masuk atau melintas di area hutan bambu. Alhasil, tidak ada lagi yang mau ke sana atau ke danau indah yang bersembunyi di baliknya.
Lalu, ada hari di mana dia menjahili satu keluarga yang tinggal di rumah panggung sampai salah satu penghuninya gila karena ketakutan dan pindah.
Tentu saja setelah mengetahui semua itu, Dee menganggap Nandana seram.
“Kalau dia udah di sini dari kamu kecil, berarti umurnya berapa, dong? Jangan bilang kalau dia udah om-om,” gumam Tiwi serius.
“Entah. Aku enggak mau ngobrol sama dia.”
Aku sendiri yakin sih dia udah lama ada di sini, batin Dee.
“Kalau kata aku, kamu yang serem, Dee.”
Dee menautkan alis. “K-kenapa?”
“Kamu dorong Nandana sampe kelempar gitu. Ih, takut deh jadinya,” lirih Tiwi sambil bergeser agar duduk berjauhan dengan Dee.
Dee meringis kesal. Aduuuh, gimana ya jelasinnya. Kalau dia salah paham begini, aku juga yang ribet.
“Kamu enggak bakal ngelempar aku, kan, ya?” lanjut Tiwi.
“Enggaklah!”
Tiwi mengusap dada sambil bernapas lega. “Pokoknya, kamu mesti minta maaf sama Dan.”
“Enggak mau.”
“Minta maaf! Kamu kan salah paham terus udah dorong dia sampe jatoh juga.”
Dee menyerah. “Iya, deh. Iya. Aku bakal minta maaf, tapi kamu janji jangan deketin dia lagi.”
Tiwi bangkit, mengibaskan remahan risoles di gamisnya. “Aduuh, kalau itu sih enggak bisa janji.”
“Ini buat kebaikan kamu sendiri,” tekan Dee.
“Kebaikan buat aku, aku sendirilah yang mutusin. Aku bukannya songong, tapi aku sadar kalau kehidupan yang aku jalanin sekarang itu berjalan atas kehendak aku sendiri, bukan kehendak orang. Jadi, apa pun itu, aku yang ambil keputusan sendiri.” Tiwi mengingat lagi ucapan ibu dan bapaknya yang memaksa untuk bertunangan dengan Fadil ketika berkata demikian.
Tiwi menarik senyum lebar. “Jadi, aku enggak bisa jauhin Nandana.”
Dee semakin resah. “Dia tuh bahaya.”
Anehnya, senyum Tiwi makin lebar. “Iya, sih, aku setuju. Senyumnya, suaranya, apalagi kalau lagi ngupil, duuuuh, bahaya banget buat iman.”
“Tiwi, aku beneran loh ini bilanginnya!”
Tiwi terkekeh. “Aku juga beneran loh suka sama dia.”
“Jangan!” ancam Dee.
“Biarin,” kata Tiwi sambil menjulurkan lidah, meledek Dee. “Ya udah, aku pulang dulu, ya!”
“Aku anterin.” Bisa gawat kalau di jalan pulang, Tiwi dihadang lagi sama cowok itu, pikir Dee.
***
200421
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro