Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lev • 6 • Hutan Bambu

Seminggu setelah kejadian di rumah panggung, kini Tiwi sudah tidak pernah lagi bermain dengan Fatimah. Ini dikarenakan Fatimah yang selalu menghindar saat Tiwi mengunjunginya. Mungkin ia masih belum terima perjodohan antara Fadil, orang yang dia sukai, dengan Tiwi sahabatnya sendiri.

Bukan hanya Fatimah saja yang menghilang, tetapi Fadil pun juga ikut menghilang. Biasanya ia selalu mengunjungi rumah Tiwi untuk sekadar singgah dan berbincang. Namun, belakangan ini sudah tidak pernah lagi. Fadil sedang disibukkan dengan perlombaan marawis yang diadakan di kampung.

Tiwi masih betah berdiam diri di kamar. Biasanya, menjelang berbuka Tiwi selalu menghabiskan waktu bersama Fatimah. Seketika, perkataan Fatimah itu kembali terngiang di kepala, ia merasa serba salah, antara orang tua atau sahabat.

Kenapa harus ada perjodohan ini? Kenapa harus Fadil anak Pak RW? Dan kenapa bukan Nandana saja? Tiwi menggelengkan kepala, ia merasa sangat lelah dengan kehidupannya sekarang. Mungkin sebaiknya sejak awal ia tidak menuruti ibunya untuk pulang kampung.

Suara ketukan pintu membuat Tiwi sedikit kaget dan langsung beranjak untuk membuka pintu. Saat pintu dibuka, terlihat Sari yang sedang mengenakan daster berdiri di ambang pintu. Di tangannya ada sendok bulat dengan tangkai panjang yang biasa digunakan untuk mengaduk kolak, lalu mengarahkan sendok itu pada mulut Tiwi.

"Cepet minum airnya." Sari semakin mendekatkan sendok itu ke mulut Tiwi.

Kenapa harus sendok? Kayak nggak ada gelas aja, batin Tiwi. Tiwi pasrah, ia membaca doa buka puasa dan meminum air yang ada di sendok tersebut.

Dahinya berkerut. "Air apa ini, Bu? Rasanya aneh."

"Air taji."

"Hah? Ngapain kasih aku air taji?"

"Biar kamu sadar! Dikasih laki-laki baik, mapan, tapi malah nolak."

Tiwi menghela napas. "Ke sana terus omongannya, Bu."

"Udah, sekarang kita ke dapur. Bapakmu sudah nunggu. Setelah itu siap-siap buat salat Magrib," ujar Sari sambil berjalan, Tiwi mengikuti di belakang.

Di persimpangan ruang makan dengan ruang tamu, Sari hampir terjungkal karena tidak sengaja tersandung sapu. Hal itu tak lepas dari pandangan Tiwi, ia menahan untuk tidak tertawa, untung saja Sari bisa menyeimbangkan tubuhnya.

Soni yang melihat itu pun tidak bisa menahan tawanya. "Makanya jalan hati-hati, Bu."

"Loh, salah Bapak ini taruh sapu sembarangan!" ucap Sari setelah duduk di samping Soni.

"Enak aja, yang habis nyapu, kan Ibu."

"Tapi, tadi Bapak ...."

"Udah, udah. Kalau kalian debat terus, kita kapan makannya?" ucap Tiwi yang sudah duduk berhadapan dengan orang tuanya. Ia lapar, tidak butuh mendengar perseteruan Sari dan Soni. Perutnya sejak tadi sudah dangdutan. Garisbawahi! Bukan lagi keroncongan, tapi dangdutan!

Kini ruang makan itu pun sunyi, tidak ada percakapan atau suara yang keluar dari mereka bertiga, hingga ketiganya selesai makan.

"Tiwi ke kamar dulu, Pak, Bu," pamit Tiwi, lalu berjalan meninggalkan Soni dan Sari.

Di kamar, Tiwi menunaikan salat Magrib. Setelah itu ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Niat awalnya hanya untuk mengistirahatkan pikiran sejenak, tetapi lama kelamaan ia terbawa ke dalam dunia mimpi.

Setelah beberapa lama, ketukan pintu terdengar. Ketukan yang semakin lama semakin keras, tetapi tidak mampu membangunkan Tiwi yang masih terlelap.

"Tiwi, kamu nggak tarawih, Sayang?" Suara Sari terdengar dari balik pintu.

Karena tidak ada jawaban, Sari kembali mengetuk. "Tiwi, buka pintunya."

Masih tidak ada jawaban, padahal ketukan pintu dari Sari sudah semakin liar. Suara yang keluar dari mulut Sari pun sudah lebih keras dari sebelumnya.

"TIWI!" Namun, ternyata itu tetap tidak mempan untuk membangunkan Tiwi.

"Udahlah, Bu. Mungkin Tiwi kecapekan," ujar Soni sambil merapikan kain sarung yang dipakainya. "Dengerin kamu yang teriak kayak gini, berasa tinggal di hutan tau nggak," lanjutnya yang langsung mendapatkan hadiah pukulan di lengan oleh Sari.

Soni dan Sari pun pergi menuju masjid untuk melaksanakan salat tarawih dan meninggalkan Tiwi sendirian di rumah. Kepergian Soni dan Sari tak lepas dari tatapan sepasang mata yang berada di samping mereka.

"Pak, kok aneh, ya rasanya," ujar Sari sambil memegang tengkuknya.

"Aneh gimana?"

"Ini kayak rasa ada hawa dingin gitu loh, Pak. Terus kayak ada yang ngawasin kita." Sari merasa tidak nyaman. Ia masih mencari siapa yang terus mengawasi mereka.

"Perasaanmu saja, Bu. Ayo cepat jalannya, nanti terlambat." Soni menarik lengan Sari.

***

Tiwi tersentak saat seekor nyamuk menggigit pipinya. Ia terbangun dan melihat jam yang terpajang di dinding kamar. Ternyata ini masih jam dua pagi, entah dapat hidayah dari mana, Tiwi langsung turun dari kasur dan mengambil air wudu untuk melaksanakan salat Tahajud.

Saat ingin ke kamar mandi, ia tidak sengaja melihat ke arah jendela yang tidak tertutup gorden. Di sana terlihat wajah yang dipenuhi darah. Rambutnya acak-acakan dan matanya menatap nyalang ke arah Tiwi.

"Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah! Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar!" ucap Tiwi sambil menutup mata.

Jika tidak ingat ini masih dini hari, Tiwi pasti sudah teriak. Detik berikutnya, gadis itu membuka mata, tetapi sosok tadi sudah tidak ada lagi di jendela.

Meski takut, hal itu tidak mematahkan semangat Tiwi untuk melaksanakan salat Tahajud. Setelah cukup tenang, ia kembali melangkah ke kamar mandi dan enggan untuk melihat ke sekitar, terlebih jendela.

Setelah mengambil air wudu secepat kilat, Tiwi pun segera melaksanakan salat Tahajud. Dalam doanya, ia berharap semoga tidak berjodoh dengan Fadil. Ia tidak mau persahabatan dengan Fatimah rusak, terlebih ia pun tidak menyukai Fadil.

"Ya Allah, kalau udah nggak jodoh sama Fadil, nanti aku dijodohin sama Nandana ya, Ya Allah. Itu loh ... yang kemaren ngupil di empang, Ya Allah. Aamiin." Tiwi mengakhiri doa dengan mengusap telapak tangan ke wajah cantiknya.

Karena merasa sangat mengantuk, dan matanya ternyata tidak bisa diajak berkompromi, Tiwi kembali melanjutkan tidurnya. Hingga pagi hari pun menjelang. Pantulan sinar matahari yang masuk melalui jendela, menyilaukan mata Tiwi.

"Ya ampun, udah siang," ucap Tiwi tersentak, ia langsung berlari mencari keberadaan Ibunya. "Ya Allah, kelewatan sahur!"

Tiwi menemukan sang Ibu sedang menyiram bunga di halaman. "Ibu kok nggak bangunin aku?" tanyanya.

"Ibu udah bangunin, tapi kamunya aja yang nggak nyahut. Malah pintunya kamu kunci. Siapa yang salah?" sarkas Sari.

Tiwi hanya diam, ia memang salah. Harusnya saat bangun tadi, ia langsung ke dapur untuk sahur atau membantu Sari menyiapkan makanan. Namun, ia malah tidur.

Gadis itu melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumah. Niat mandinya lenyap begitu saja saat lintasan wajah Nandana terbayang.

Aku ke tempat Dan aja kali, ya? Bodo amatlah sama mandi, batin Tiwi sambil tersenyum.

"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Sari yang ternyata sudah selesai menyiram bunga.

"Nggak kenapa-kenapa kok, Bu." Senyuman di bibir Tiwi melebar. "Ibu aku keluar dulu, ya," pamitnya sambil mencium punggung tangan Sari.

"Loh, kamu mau ke mana? Mandi dulu baru keluar."

"Ke suatu tempat. Nanti habis ini aku mandi, kok, Bu."

"Bau jigong, mandi dulu sana!"

"Nggak apa-apa bau jigong, yang penting cantik." Tiwi nyengir dan langsung berlari ke kamar untuk memakai hijab pasmina kesayangannya. Setelah itu ia bergegas keluar rumah, tidak peduli dengan Sari yang terus memanggil namanya.

Saat sedang asyik berjalan, langkah kaki Tiwi berhenti di pohon mangga. Di sana, ia melihat Nandana sedang asyik menggali harta karun ... di hidungnya. Tanpa ragu, Tiwi pun menghampiri sang pujaan hati.

"Hai, Dan!" sapa Tiwi.

Nandana buru-buru menarik jari kelingking dari hidung dan melambai singkat pada Tiwi. "Hai. Akhirnya kamu datang juga."

"Kamu nungguin aku di sini?" tanya Tiwi.

"Iya."

Mendengar jawaban Nandana, mata Tiwi langsung berbinar. Jantung yang biasanya berdetak dengan kecepatan normal kini kecepatannya tidak mampu ia kendalikan. Jedag jedug seperti musik koplo.

Keduanya terdiam sambil berdiri bersisian. Kecanggungan menyergap hingga akhirnya Tiwi berkata, "Kita jalan-jalan, yuk, Dan! Ke mana gitu."

"Ke hutan bambu, mau?"

"Ngapain ke hutan bambu?" Tiwi mengerutkan kening, pasalnya hutan itu masih dekat dengan pekarangan rumah Tiwi.

"Jalan-jalan saja," jawab Nandana.

Tiwi terdiam, masih menimbang ajakan Nandana. Masalahnya, laki-laki itu mengajak pergi ke hutan bambu. Masih bagus jika Nandana mengusulkan pergi ke rumah panggung kemarin.

Tidak mendapat jawaban dari Tiwi, membuat Nandana berjalan menuju hutan. Nandana berpikir, mungkin diamnya gadis itu adalah iya. Melihat Nandana berjalan menjauh, membuat Tiwi jadi ikut melangkahkan kaki. Berusaha menyamakan langkahnya dengan cowok itu.

Mereka berjalan terus hingga tiba di hutan bambu yang dimaksud Nandana. Semakin jauh mereka berjalan ke dalam hutan, semakin gelap yang ia rasakan, kabut masih menyelimuti hutan ini. Embusan angin yang datang membuat suara aneh muncul dari gesekan beberapa bambu. Bulu kuduk Tiwi berdiri.

Terlebih saat ia melihat dengan jelas, lintasan beberapa orang dengan baju putih yang kebesaran. Hawa di sini sangat berbeda, Tiwi menelusuri setiap inci yang dia lihat. Tiwi juga dibuat takut dengan beberapa tangan yang bergantungan di pohon bambu tersebut, jangan lupakan bau amis yang terus menguar dan semakin tajam tercium.

Tiwi menahan untuk tidak berteriak. Ia memejamkan mata beberapa kali ketika melihat hal-hal aneh. "Dan, kamu berani sendirian di sini? Apa kamu nggak takut?"

"Aku sudah biasa di sini."

"Di sini serem, Dan. Aku takut. Mending kita ke empang aja, yuk!" ajak Tiwi dengan keringat yang mulai bercucuran.

"Tempat ini indah dan nyaman."

Tiwi menatap Nandana dengan kening berkerut. Tempat serem begini dibilang indah. Ya Allah, kalo Nandana kelainan, jangan jadi jodohku, deh. Apanya yang nyaman? Emang pundak kamu, nyaman.

"Dan, aku beneran takut. Kalo nggak ke empang, ke rumah panggung kemaren aja, yuk." Nandana tidak menjawab. "Dan, lima menit aja lagi kita masih di sini, aku pingsan, nih."

Akhirnya, Nandana berhenti melangkah. Ia menatap Tiwi yang sudah terlihat pucat dengan keringat dingin yang mengucur dari pelipis dan kening gadis itu. "Ya sudah."

Alhamdulillah. Terima kasih sudah memberi Dan hidayah, ya Allah.

Mereka berdua pun berbalik, mencari jalan keluar dari hutan bambu ini. Matahari sudah semakin naik ke atas, membuat cahayanya masuk ke celah-celah dedaunan dan batang bambu. Bahkan Tiwi pun tidak sadar kalau ia masih belum mandi.

***

180421
Leviathan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro