Lev • 4 • Pangeran Berkuda Putih
"Pak, Bu, maksudnya apa, sih?" Setelah keluarga Pak RW pulang, Tiwi menuntut penjelasan dari kedua orang tuanya.
"Bapak sama Ibu mau menjodohkan kamu sama Nak Fadil." Mendengar kembali kalimat sakral itu dari Soni, jelas membuat Tiwi kembali emosi. Untungnya ia masih ingat bahwa ia sedang berhadapan dengan orang tuanya dan ini adalah bulan Ramadhan.
"Kenapa harus dijodohkan? Tiwi masih sanggup cari jodoh sendiri." Tiwi bingung, untuk apa menyuruhnya menikah sekarang? Ia masih muda, baru 22 tahun. Rasanya tidak perlu terburu-buru menikah.
"Bapak sama Ibu mau melihat kamu menikah, Wi," kata Soni yang tampak masih segar walau sudah berumur.
"Iya, tapi Tiwi kan masih muda, belum juga kerja. Lagian Tiwi bisa kok cari pasangan sendiri. Nggak perlu pakai acara jodoh-jodohan segala," jelas Tiwi kepada orang tuanya.
"Nak, Fadil tuh baik, taat agama, berpendidikan, dan mapan. Dia pasti bisa jadi imam yang baik buat kamu." Kali ini Sari yang angkat suara.
"Tiwi belum mau menikah. Dan lagi, Tiwi nggak cinta sama orang itu." Tiwi masih tetap pada pendiriannya.
"Tapi ...."
"Bu, pokoknya Tiwi nggak mau. Ibu sama Bapak nggak bisa kayak gini." Tiwi yang sedari tadi menahan emosi akhirnya meledak. Matanya mulai mengeluarkan cairan bening. Sudah cukup, ia tidak mau membahas ini lagi.
"Sayang, anaknya Pak RW tuh anak yang baik. Kami ingin yang terbaik untuk kamu, Wi," kata Soni seraya menatap Tiwi dengan lembut.
"Gimana Bapak sama Ibu tahu dia yang terbaik untuk aku? Kenal aja belum, bisa aja dia cuma pencitraan, Pak." Tiwi kesal karena kedua orang tuanya mengambil keputusan begitu saja tanpa bertanya dahulu padanya. Terlebih ini mengenai masa depannya.
"Pak, Bu, pokoknya aku nggak mau tunangan sama siapa, tuh? Fadong? Fodol? Siapa pun itu, pokoknya Tiwi nggak mau." Setelah mengatakan itu Tiwi memilih pergi menuju kamarnya.
Di dalam kamar Tiwi menangis sambil memutar lagu mellow untuk meredam suara tangisnya. Sekalian agar galaunya jadi lebih menghayati. Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu. Tiwi yang sedang berusaha meredam emosi hanya bisa menghela napas lelah. Niat untuk tidak stress dan beristirahat di kampung halaman malah berubah menjadi masalah baru baginya.
"Tiwi, ini Ibu, boleh Ibu masuk?" Suara Sari terdengar dari luar.
Tiwi yang berusaha mengubur pikiran ke dalam lantunan musik yang ia putar terpaksa berhenti. "Masuk aja, Bu."
Sudah mendapatkan izin, Sari membuka knop pintu kamar putri semata wayangnya.
"Ibu mau ngomong apa?" tanya Tiwi langsung. Ia jelas tahu apa yang akan ibunya bicarakan, pertanyaan tadi hanya basa-basi belaka.
"Ibu tahu kamu nggak mau dijodohkan begini, tapi apa Ibu boleh minta kamu untuk setidaknya mencoba berkenalan dulu dengan Fadil? Dia anak yang baik dan taat agama, Ibu sama Bapak cuma mau kamu dapat pasangan yang baik."
Tiwi hanya bisa menghela napas pelan saat mendengar perkataan ibunya. "Tiwi coba, tapi Tiwi nggak janji."
Sari langsung menunjukkan senyum secerah matahari setelah mendengar jawaban Tiwi. Setelah Sari pergi Tiwi memilih melanjutkan kegiatan menangisnya, masih diiringi dengan lagu-lagu sedih yang terus terputar dari ponsel, hingga ia kelelahan dan akhirnya tertidur.
Keesokan harinya mata Tiwi terlihat membengkak. Ia begitu terkejut melihat kedua matanya yang masih menyisakan bekas tangisannya tadi malam. Ia segera bersiap dan memastikan jejak tangisannya sudah tidak terlihat lagi. Baru saja ia membuka pintu kamar, ia langsung mendengar sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
"Eh, Nak Fadil udah datang aja." Itu suara Sari--ibu Tiwi dan tadi siapa? Fadil? Jangan-jangan ... tidak! Tiwi belum siap bertemu dengan orang yang dijodohkan dengannya sekarang.
Kenapa harus bertamu pagi-pagi, sih? pikir Tiwi yang sedang kesal.
Dahi Tiwi mulai berkerut, ia memikirkan rencana untuk kabur dari situasi tidak enak ini. Tak butuh lama untuk lampu dalam kepala Tiwi menyala, ia mendapatkan ide!
Diam-diam saat kedua orang tuanya sibuk berbincang dengan Fadil, ia pergi menuju pintu belakang. Saat sudah keluar dari rumah, secepat kilat ia mulai berlari. Berlari sambil terus menengok ke belakang, memastikan tidak ada yang melihatnya.
Tanpa sadar langkah kakinya membawa Tiwi ke sebuah tempat. Rumah panggung yang terbengkalai tampak di hadapannya saat ia menghentikan langkah cepatnya. Embusan napas yang tidak teratur mendominasi suara di sekitar.
Matanya menangkap begitu banyak barang rongsokan dan debu yang bertebaran di sana. Tempat itu benar-benar kosong, walau masih pagi, tetapi kesan seram masih tampak jelas di sana.
Bulu kuduk Tiwi mulai berdiri dan perasaannya jadi tidak enak. "Pait, pait, pait," gumam Tiwi secara refleks seraya menutup kedua mata. Ia berharap tidak lagi menemukan hal-hal menyeramkan.
Saat kembali membuka mata ia melihat ke segala arah, memastikan bahwa tidak ada apa-apa, tapi ujung matanya menangkap sosok berpakaian putih yang melintas di sebelah kanan rumah panggung itu.
"S-siapa?" Dengan tangan yang mulai bergetar, ia memberanikan diri untuk bertanya sambil merapalkan doa dalam hati.
Hening. Tidak ada yang menjawab kecuali embusan angin yang menerpa wajah Tiwi. Rasa penasaran seakan-akan menelannya dan membawa Tiwi melangkah mendekati sisi kanan rumah panggung itu.
Saat tiba di sana, yang ia lihat adalah pohon kelapa dan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar rumah panggung itu. Tiwi mengernyit saat melihat bahwa pohon kelapa itu tumbuh mengelilingi pohon beringin. Lalu saat berbalik, Tiwi dikejutkan dengan kehadiran sosok menyeramkan yang tidak ingin ia lihat sama sekali.
"Aaaa!" Tiwi spontan berteriak ketika melihat sosok pocong di hadapannya. Itu adalah pocong yang kemarin. Dalam hati ia mulai menyebutkan semua ayat yang ia ingat di saat-saat seperti ini.
"Pergi!" Suara yang terdengar itu membuat Tiwi mengarahkan pandangannya ke arah pohon kelapa dan mendongak.
Laki-laki ngupil yang masih terlihat sangat tampan kemarin itu ternyata berada di atas pohon kelapa. Hanya dengan lemparan buah kelapa pada si pocong, disusul dengan perintah yang keluar dari mulut laki-laki tampan itu, pocong tersebut langsung pergi.
Pangeran berkuda putihku! Tiwi dalam hati berteriak kegirangan.
"Anda tidak apa-apa?" tanya laki-laki itu. Ternyata ia sudah turun dari pohon kelapa.
Cepat sekali, pikir Tiwi dalam hati.
"Nggak apa-apa, kok! Untung ada kamu, makasih, ya. Nama kamu siapa?" tanya Tiwi secara langsung. Ia sudah begitu penasaran dengan laki-laki tampan di hadapannya ini.
"Nandana," jawab laki-laki itu seraya tersenyum manis. "Tapi, panggil saja Dan."
Ibu!!! Dia ganteng banget! Astaga! Puasa, puasa, puasa. Tiwi benar-benar ingin melompat kegirangan karena berhasil mengetahui nama laki-laki yang ia kagumi.
"Aku Tiwi. Kamu dari kampung sebelah, ya?" tanya Tiwi lagi.
Pokoknya ia harus mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Nandana, setidaknya cukup untuk memenuhi rasa penasarannya.
"Tidak, saya tinggal dekat sini."
"Bahasa kamu baku banget, santai aja kalau ngobrol sama aku."
"Ah, iya. Maaf, saya tidak terbiasa."
Walau bingung Tiwi mengabaikan hal itu karena menurutnya itu tidak begitu penting.
"Anda sendiri, sedang apa di sini?" tanya Nandana setelah jeda beberapa saat.
"Kabur hehehe. Oh iya, kelapa yang kamu lempar matang, nggak?" tanya Tiwi secara spontan. Ia melirik pada kelapa-kelapa yang tadi dijatuhkan Nandana untuk mengusir pocong.
Dengan dahi yang mengerut Nandana mengangguk. "Mau untuk apa?" tanya Nandana saat melihat Tiwi mulai mengumpulkan kelapa-kelapa itu.
"Buat buka puasa! Lumayan kelapanya. Eh, tapi ini nggak ada yang punya, kan? Nanti aku malah dituduh nyolong." Nandana yang mendengar jawaban dari Tiwi hanya bisa tertawa kecil.
***
160421
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro