Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lev • 3 • Poci Buaya

Tiwi masih dibuat penasaran terhadap cowok yang ia lihat kemarin. Walaupun sedang mengupil, ia masih terlihat memesona. Mungkin karena cowok itu memiliki wajah yang tampan oleh lesung pipinya.

"Lagi ngupil aja ganteng, kalau lagi nahan berak, masih ganteng gak, ya?" Tiwi tersenyum membayangkan, baru kali ini ia bertemu dengan cowok seganteng itu, lagi ngupil pula.

Mata Tiwi beralih menatap Sari yang sedang menyapu. Tangan Sari mengayunkan sapu dengan lihai, tak peduli jika tangkai sapu itu patah.

"Emak gue emang jagonya, deh, beginian." Tiwi menghampiri ibunya.

"Ibu, Tiwi pamit, ya, mau ke rumah Fatimah."

"Udah selesai cuci piringnya?" tanya Sari.

"Udah, Bu."

"Ya sudah, sebelum Magrib udah di rumah, ya!" pesan Sari.

Sebagai jawaban Tiwi mengangguk, lalu menarik tangan Sari dan mencium punggung tangan ibunya.

"Hati-hati, ya. Ingat, Nak, kalau ketemu orang kampung, disapa, ya. Ibu gak mau kamu dibilang sombong."

"Iya, Bu. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

Tiwi berjalan keluar rumah. Gadis itu menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Hmm ... jam empat, si Fatimah ada di rumah nggak, ya? Biasanya, kan, tuh anak hobi berenang di empang." Tiwi melipat tangan di depan dada. "Lihat dulu, deh. Sekalian keliling-keliling. Siapa tahu ketemu cogan, kan lumayan."

Tiwi dengan semangat melangkahkan kaki. Ia memang hanya berjalan kaki ke rumah Fatimah, karena jarak rumah mereka tak terlalu jauh.

"Mau ke mana, Pak?" tanya Tiwi menatap seorang bapak berkepala plontos di sampingnya yang berjalan membungkuk karena membawa beras di atas punggung. Bapak itu menatap heran, apakah gadis itu sedang berbicara dengannya?

"Pak? Hello ... Bapak? Saya lagi bicara sama Bapak, nih," ucap Tiwi.

"Beneran, Neng? Memangnya kamu bisa lihat Bapak?" tanya bapak itu masih tidak percaya.

"Astagfirullah, Bapak. Ya iyalah saya bisa lihat Bapak, masa Bapak segede ini saya nggak lihat. Lagipula, ibu saya bilang nggak boleh sombong."

Bapak itu berubah semringah. Ia tak menyangka masih ada manusia yang bisa melihatnya, bahkah gadis itu tak takut sedikit pun dengan dirinya.

"Bapak mau ke mana? Kok bawa-bawa beras gitu? Nggak berat, Pak?" tanya Tiwi heran, pasalnya beras yang berada di punggung bapak tua itu ada dua karung besar.

"Nggak kok, Neng. Bapak sudah terbiasa bawa beras ini sejak delapan puluh tahun yang lalu."

Tiwi mengerutkan dahi. Ia menganggap bapak itu sedang bercanda, mana mungkin selama delapan puluh tahun dia membawa dua karung beras di punggungnya. Tiwi tahu sang bapak pasti sedang melucu, walaupun ia tak tertawa.

"Bapak duluan ya, Neng, buru-buru soalnya."

"Oh, iya, Pak. Hati-hati."

Bapak itu pun berjalan mendahului Tiwi. Mata Tiwi tak sengaja menatap kaki bapak itu, ia menatap kasihan karena pria paruh baya itu tak memakai sandal. Namun, tiba-tiba mata Tiwi melotot tak percaya, menyadari jika kaki bapak itu tak menapak di jalan.

"Astagfirullah." Tiwi mengerjapkan mata, ia menelan salivanya dengan susah payah. "Bapak tadi siapa?" tanyanya dengan berteriak. Ia langsung berlari meninggalkan tempat itu.

***

Tiwi akhirnya sampai di rumah Fatimah. Ia mengatur napasnya yang memburu. Fatimah yang melihat Tiwi segera menghampiri.

"Ya ampun, Tiwi. Kamu kenapa?"

Tiwi masih mengatur napas, ia mengangkat tangan seolah memberitahu kepada Fatimah untuk diam dulu.

"Ayo, duduk sini dulu!" suruh Fatimah mengajak Tiwi duduk di teras rumahnya.

"A-aku tadi lihat bapak-bapak, kakinya nggak napak di jalan," ucap Tiwi.

"Ah, masa, sih? Kamu salah lihat kali."

"Beneran. Masa dia bawa beras dua karung terus bilang udah delapan puluh tahun kayak gitu."

Fatimah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Fatimah percaya pasti Tiwi sedang berhalusinasi.

"Udah, ah. Kamu ada-ada saja. Mentang-mentang kelaparan, bicaranya jadi ngaco."

"Beneran! Aku nggak bohong, percaya, deh."

Fatimah memutar bola mata. Tidak mau meladeni sahabatnya yang sedang berhalu ria itu.

"Oh, iya." Tiwi menjetikkan jari, teringat sesuatu. "Kemarin kamu lihat cowok ganteng nggak di empang?"

"Hah?"

"Itu, yang lagi ngupil!"

"Enggak, aku nggak lihat. Kamu salah lihat kali," ucap Fatimah.

"Masa kamu nggak lihat, dia kan ada di sana kemarin."

Fatima mengernyitkan dahi. Apa ini efek samping akibat kecelakaan Tiwi? Makanya jadi sering berhalusinasi? pikir Fatimah dalam hati.

"Aku nggak lihat siapa-siapa kemarin. Oh, atau mungkin aku nggak perhatiin."

"Nah, iya. Kira-kira kamu kenal gak sama dia? Cowok itu ganteng, berponi, terus punya lesung pipi."

Fatimah kembali mengernyit. Ia seperti tak pernah melihat orang berciri-ciri seperti itu sebelumnya di kampung ini.

"Mungkin anak kampung sebelah kali, ya. Soalnya di kampung ini nggak ada yang seperti itu."

"Beneran nggak ada?"

"Nggak ada, Tiwi."

"Gimana kalau nanti kita ke empang lagi? Siapa tahu bisa ketemu cowok itu lagi."

"Maaf, Tiwi. Aku nggak bisa karena harus bantu ibuku nyiapin hidangan buka puasa."

"Oh, gitu. Okelah nggak apa-apa."

"Aku jadi nggak enak, nih, nggak bisa nemenin kamu."

"Santai aja," ucap Tiwi sambil tersenyum.

***

Tiwi akhirnya memutuskan untuk pulang. Karena Fatimah ternyata tidak bisa menemani mencari laki-laki ganteng kemarin.

Kali ini gadis itu melewati jalan yang berbeda dari saat ia berangkat tadi, karena takut bertemu kembali dengan bapak tua itu. Ia memutar arah jalannya, walaupun jalan ini lebih jauh.

"Panas banget, deh," ucap Tiwi sembari mengibaskan tangan ke muka. Cuaca memang sedang panas, bahkan sudah sore panasnya masih menyengat. Tiwi menyeka peluh yang membanjiri pelipis.

Mata gadis itu beralih menatap sebuah pohon yang tampak rindang dan bagus untuk tempat berteduh. Kakinya melangkah mendekati pohon itu untuk duduk di sana sebentar.

"Mending di sini dulu aja, adem ...."

Angin sepoi-sepoi terasa menyejukkan. Tiwi semakin betah duduk di sana. Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu terjatuh di atas kepalanya. Tangan Tiwi bergerak memeriksa hijabnya ia mengusap kepalanya pelan.

"Perasaan tadi kayak ada yang jatuh di kepala gue. Tapi kok gak ada, ya?" Tiwi menatap tangannya, benar tidak ada apa-apa.

Mata Tiwi beralih menatap ke atas pohon. Ia melihat seorang perempuan sedang memakan mangga di atas sana.

"Woi, Mbak. Gak puasa, ya? Hati-hati, dong, makannya! Iler lo jatuh ke kepala gue, nih," omel Tiwi.

Tiwi semakin kesal karena perempuan itu tak menggubris ucapannya. Ia tampak tetap asyik dengan mangga yang ia makan. Tiwi menajamkan penglihatan, mangga yang dipegang perempuan itu ternyata masih utuh.

"Mbak, dibuka dulu dong kulit mangganya, baru dimakan." Tiwi mencoba memberitahu, tetapi perempuan itu justru tak menanggapi Tiwi. Ia lalu pergi melayang meninggalkan Tiwi.

"Loh, loh, kok Mbaknya bisa terbang?" pekik Tiwi ketakutan. Gadis itu langsung buru-buru pergi meninggalkan pohon itu.

Sudah semakin jauh Tiwi berlari, tak terasa ia sudah berada di empang tempat kemarin. Tiwi kembali mengatur napas. Ia menghela napas, lalu mengembuskannya pelan.

"Kampung ini kok aneh banget, sih. Apa mata gue yang siwer?"

Matahari tampaknya hampir terlelap bergantikan dengan bulan. Sebentar lagi waktu berbuka, Tiwi harus segera sampai rumah.

"Eh, tapi kok cowok itu nggak ada di sini, ya?" Tiwi menoleh ke kanan dan kiri menatap sekeliling.

Ia yakin cowok itu pasti ada di sini, karena Tiwi yakin cowok itu pasti ingin kembali bertemu dengannya. Saat sedang sibuk mencari, mata Tiwi tidak sengaja menatap seseorang berbaju putih yang tengah membelakanginya.

"Ah, itu pasti dia!" ucap Tiwi yakin.

Ia pun mempercepat langkah. Namun, langkah Tiwi tiba-tiba terhenti saat pria berbaju putih itu berbalik menghadapnya. Bukan cogan ngupil yang kemarin ia lihat, melainkan pocong modern.

Tampilannya memang seperti pocong, tetapi ada sedikit rambut mencuat dari penutup kepalanya. Tangannya pun tidak bersedekap seperti pocong pada umumnya. Bahkan, jalannya tidak loncat-loncat.

"Se-se ...."

"Sendirian aja, Neng?" Pocong itu menyahut yang membuat mata Tiwi semakin melebar.

"Bukan! Se--"

"Sehati?"

"Nggak!" bantah Tiwi.

"Han--"

"Hanyalah dirimu, satu-satu yang kusayang," ucap pocong itu malah bernyanyi sambil bergoyang.

"HANTU!" teriak Tiwi langsung berlari terbirit-birit menjauh dari sana.

"Haduh, gitu amat jadi manusia," ucap pocong itu kesal.

***

Tiwi berlari sampai rumah. Entah sudah berapa kali ia berlari hari ini. Gadis itu masih mengatur napas sambil menatap heran pada teras rumahnya. Kenapa ada banyak sandal yang berjejer rapi di sana?

"Kayaknya ada tamu," ucap Tiwi pelan. Tanpa pikir panjang ia langsung mengetuk pintu dan masuk ke rumah. "Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab semua orang di ruang tengah yang sudah duduk melingkar di atas karpet. Tiwi melihat ada banyak jenis makanan yang tersaji di sana.

"Ini, Pak, anak gadis saya, namanya Tiwi." Soni-ayah Tiwi-menunjuk Tiwi dengan kedua tangan sambil tersenyum. "Nak, ayo salim dulu sama Pak RW!" lanjutnya.

Tiwi menurut saja, ia juga menyalimi wanita di samping Pak RW yang Tiwi yakini adalah Bu RW. Setelah duduk, tidak sengaja mata Tiwi menatap seorang laki-laki di samping Bu RW.

"Ada apa ini, Bu?" tanya Tiwi heran. Namun, jawaban dari pertanyaan Tiwi harus tertunda dahulu, karena suara beduk sudah berkumandang. Saatnya berbuka puasa.

"Silakan berbuka dulu, Pak, Bu, Fadil," ucap Ayah Tiwi. Semua orang mengangguk lalu meminum air putih terlebih dahulu.

"Silakan dicicipi takjilnya," ucap Sari sembari menyodorkan kurma. Tidak lupa juga Sari menawarkan kolak pisang yang aromanya menggiurkan.

"Terima kasih, Pak, Bu," jawab Udin-ketua RW desa Wedete.

"Bu, sebenarnya ada apa, sih?" tanya Tiwi sambil berbisik, "sampai ngundang keluarga Pak RW buka bareng kita?"

"Nak, kamu lihat laki-laki itu. Namanya Fadil, dia anak Pak RW. Dia tampan dan sudah mapan, orangnya juga ramah dan baik hati. Rajin menabung dan berbakti sama orang tua. Sopan banget lagi."

Tiwi mengangkat sebelah alisnya. Apa maksud Sari memuji-muji laki-laki itu?

Seolah tidak peduli, Tiwi lalu bertanya, "Terus?"

Suara dehaman dari Soni membuat diskusi kecil antara Sari dan Tiwi terinterupsi. Kini perhatian semua orang yang ada di ruangan itu tertuju pada laki-laki berkumis yang duduk di sebelah Tiwi.

"Bapak tahu kamu pasti bingung, Wi." Soni menatap Tiwi dengan senyum di bibir. "Jadi begini ... Ibu dan bapak mau menjodohkan kamu dengan Fadil, anak dari Pak RW dan Bu RW. Maksud kedatangan mereka malam ini karena mau melamar kamu."

Mata Tiwi membulat, tak percaya dengan apa yang dikatakan Soni. "Apa?"

***

150421
Leviathan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro