Lev • 25 • Perpisahan
Tak terasa sudah sebulan penuh Tiwi berpuasa, dan tidak terasa juga sudah sedekat ini hubungan Tiwi dengan Nandana. Hubungan yang amat Tiwi impikan, mencintai Nandana sebagaimana laki-laki itu juga mencintainya.
Iya, bisa dikatakan puasa tahun ini adalah yang terindah. Pikirannya tertarik mundur, bayang-bayang kenangan bagaimana ia bertemu dengan Nandana terlintas begitu saja dalam ingatan. Tiba-tiba saja sudut bibir Tiwi tertarik, ia mengucapkan syukur.
Terima kasih Tuhan telah mengirimkan laki-laki baik seperti dia, batinnya sambil menatap ke langit.
Kemudian di detik selanjutnya Tiwi tersentak kaget saat laki-laki yang sangat ia cintai menepuk pundak dan menyembulkan wajahnya dari arah belakang.
"Sendirian aja, Neng."
Tiwi menoleh, dugaannya tepat. Gadis itu sengaja menunggu Nandana di empang. Entah, tiba-tiba saja Tiwi ingin menemui Nandana dan berharap bisa menemukan laki-laki itu di sini. Tempat di mana awal mula Tiwi bertemu makhluk bumi sesempurna Nandana.
Bertepatan dengan itu, Tiwi langsung memeluk tubuh Nandana. Erat, sangat erat seperti seseorang yang takut kehilangan.
Entah mengapa hatinya begitu takut. Mungkin jika seseorang sudah berada di tahap sangat mencintai pasangan, perasaan takut kehilangan itu pasti terjadi.
Sial! Tiwi kalah, kali ini ia mengakui kegagalannya karena telah jatuh terlalu dalam oleh sosok bernama Nandana, padahal hal yang paling Tiwi benci dari dulu adalah saat ia sudah mulai nyaman dengan seseorang.
Perasaan nyaman itu hanya tipu daya, sebuah kecanduan yang mematikan. Sebuah penyakit yang bisa disembuhkan hanya dengan bertemu. Lalu, bagaimana nanti bila seandainya Tiwi menjalani hari tanpa kehadiran Nandana? Bahkan membayangkannya saja sudah menjadi bencana bagi Tiwi.
Di lain sisi, Nandana terlihat kaku saat mendapat serangan mendadak dari Tiwi, tanpa aba-aba, tanpa dikomando. Perlahan, Nandana membalas pelukan itu. Sesekali laki-laki tersebut mengusap pelan punggung Tiwi, mengecup puncak kepalanya, mencoba memberikan kenyamanan.
Setelah cukup lama mereka berpelukan, dan semua rasa rindu dalam benak Tiwi tersalurkan, Tiwi melepaskan pelukannya.
"Love you, Dan. Jangan tinggalin aku, ya?" ucap Gadis itu dengan senyum merekah di bibir.
Dengan cepat Tiwi menyodorkan jari kelingkingnya kepada Nandana. Namun, laki-laki itu hanya membalasnya dengan senyuman lalu meraih tangan Tiwi, hingga mereka bergandengan sambil melangkah pelan, menikmati udara yang cukup sejuk sore itu.
Di tengah-tengah perjalanan mereka, tiba-tiba langkah Tiwi terhenti, ia menatap Nandana lekat-lekat. "Dan, nanti malem kan udah malam takbir. Aku pengen buka puasa terakhir bareng kamu. Mau, ya? Please."
Nandana diam, menatap tajam retina Tiwi. Seperti ada sebuah pesan yang belum tersampaikan. Hingga ia tidak sanggup untuk menjawab.
Di lain sisi, samar-samar Tiwi menatap tubuh Nandana aneh dengan pandangan yang buram. Bahkan sesekali gadis itu mengucek kelopak matanya saat menatap Nandana. Laki-laki itu seperti tembus pandang.
Mungkin efek habis operasi, jadi mataku agak korslet, batinnya mencoba mengelak apa yang ia lihat.
"Gimana? Harus mau, dong. Malah bengong lagi! Aku nggak nerima penolakan, ya." Tiwi tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Namun yang ia terima malah sebaliknya, Nandana masih dengan ekspresi datar, tapi mengapa terlihat memikat? Sepertinya Tiwi benar-benar sudah terpesona oleh ketampanan Nandana.
Hening, masih tak ada respons. Tiwi menatap wajah Nandana yang terlihat pucat. Lalu laki-laki itu menjawab, "Ma-maaf. Aku lagi nggak enak badan, jadi nggak puasa."
Tiwi tertegun, ada sorot kekecewaan yang terpancar jelas di matanya. "Oh kalo gitu, mau nggak nemenin aku makan?" Gadis itu menarik pergelangan tangan Nandana. "Ayo!"
Terlihat Nandana bergeming di tempat, gadis itu menoleh saat menatap Nandana melepaskan tarikan tangannya.
"Habis buka puasa aja, aku tunggu kamu di rumah panggung. Kita ketemuan di sana."
Tidak seperti biasanya. Tiwi hanya mematung menerima penolakan tersebut. "Oke, kalo gitu aku pulang dulu. Abis buka, ya," ucap gadis itu sambil berjalan menjauhi Nandana yang terlihat sedang melambaikan tangan. Lagi, Tiwi mengerjapkan kelopak mata saat menatap Nandana yang sesekali seperti tembus pandang.
"Sebenernya aku kenapa, sih?"
***
Sesuai janji tadi sore. Tiwi mendatangi rumah panggung seusai buka puasa. Ternyata Nandana sudah berada di sana—menunggunya di depan teras sambil menatapnya sendu.
"Hai, udah lama nunggu?"
Nandana hanya menggeleng pasrah, setelah itu Tiwi duduk di sebelah Nandana.
"Bintangnya bagus," ucap Nandana kemudian.
Tiwi mengangguk. "Iya," ucapnya sambil melingkarkan tangan dan bersandar di pundak Nandana.
Entah, tiba-tiba sudut kelopak mata Nandana berkaca-kaca saat mengingat waktunya untuk tinggal di bumi sudah habis—mengingat keinginannya selama ini telah terpenuhi—karena Tiwi, Nandana tidak merasakan kesepian lagi. Namun, ia masih belum berani mengatakan hal tersebut kepada Tiwi. Laki-laki itu belum siap menerima kenyataan bahwa cinta mereka tak direstui oleh bumi.
"Tiwi?"
"Iya?" jawab Tiwi yang masih menatap para bintang di atas sana.
"Kamu percaya nggak, kalo sebenernya aku bukan manusia."
Tiwi masih setia di posisinya. Gadis itu hanya berdeham, menganggap bahwa omongan Nandana hanyalah candaan semata.
Perlahan, Nandana melepaskan diri dari tubuh Tiwi. "Lihat!"
Tiwi tertegun saat melihat kedua tangan Nandana yang diangkat ke atas itu sesekali tembus pandang. Masih tidak percaya apa yang ia lihat, jantung Tiwi berdetak cepat tidak seperti biasa. Bahkan suara napasnya terdengar sangat keras, sampai ia bisa mendengar alunan pertukaran oksigen yang bergumuruh dalam dada.
"Kamu inget juga, nggak? Ada hal ganjil saat kamu dan Fadil ngabuburit bareng." Belum sempat Tiwi menjawab, Nandana melanjutkan, "Maaf, ya, kalo aku usil."
"Ma-maksud kamu?"
"Aku nggak suka kalo kamu deket-deket sama dia, jadi aku kerjain aja. Siapa suruh ganggu pasangan aku?" Nandana tersenyum, menatap Tiwi yang masih terlihat bingung.
"Ngomong apa, sih, Dan?" Tiwi membalas sambil menyenggol tubuh Nandana pelan.
“Waktuku kurang sedikit lagi, Tiwi. Keinginanku sudah tercapai. Bertahun-tahun aku di sini merasa kesepian. Berkat kamu, sekarang aku bisa pulang dengan tenang.”
"Maksud kamu apa?"
"Makasih karena sudah mewujudkan keinginanku untuk dicintai setulus hati. Makasih karena sudah hadir dan membuat aku jadi nggak kesepian lagi. Bahkan ngajarin aku supaya bisa jadi seperti manusia beneran."
Mendengar hal itu, Tiwi terlihat kebingungan. Tingkah laku Nandana tidak seperti biasa. Ia rindu Nandana yang suka mengupil sembarangan, bergurau dan bercanda. Lalu, apa maksud perkataan Nandana barusan?
Ucapan itu tiba-tiba saja mengusik pikirannya. Ia jadi teringat pertemuan pertama kalinya dengan Nandana di empang bersama Fatimah. Hal yang membuatnya bingung adalah kehadiran Nandana tidak disadari oleh Fatimah, dan bahkan setelah ditelusuri Fatimah pun tidak mengetahui ada manusia lain di sana selain mereka berdua.
Selain itu, sikap aneh Dee, juga orang-orang yang tidak pernah melihat keberadaan Nandana. Tiwi tertegun, otaknya sedang bekerja mengumpulkan data yang mungkin masih ada teka-teki yang belum terselesaikan.
Di lain sisi, tubuh Nandana perlahan hampir menghilang, bersamaan dengan suara takbir yang berkumandang.
Ada tangis haru yang dirasakan Tiwi, jiwanya seakan bergetar seperti ada sengatan listrik yang menjalar di tubuhnya saat suara takbir itu terdengar indah di pendengaran.
Sebenernya aku bukan manusia.
Perkataan Nandana tiba-tiba kembali terngiang dalam benaknya. Ia menoleh, bertepatan dengan tubuh Nandana yang hampir menghilang.
"Aku sayang kamu, Tiwi. Aku cinta banget sama kamu."
Sedangkan, nama yang disebutkan itu masih tak bergeming melihat pemandangan yang terjadi, bahkan beberapa kali Tiwi menampar pipinya sendiri. Takut kalau ini mimpi, takut kalau ia terjebak dalam ilusi.
Beberapa kali Tiwi menggelengkan kepala saat menatap Nandana yang hampir menghilang. Sedangkan tangannya bergetar, mencoba meraih Nandana sambil berusaha menahan air mata.
"Maaf, kalau aku mengecewakanmu." Ada jeda sedikit saat buliran bening tampak merembes di pipi Nandana. "Bagaimanapun dunia kita beda, kita nggak akan bisa bersatu, Tiwi. Kamu berhak bahagia. Carilah laki-laki yang jauh lebih baik dari aku. Berbahagialah."
Nandana tersenyum lembut. Perlahan tubuh Nandana hanyut terbawa oleh embusan angin. "Selamat tinggal," ucapnya sebelum benar-benar menghilang. Kemudian setelah itu yang ada hanyalah kegelapan.
"Dan! Tidaaaak!" Gadis itu mencoba meraih tangan Nandana, tapi gagal. Nandana menghilang, sehingga yang berhasil dipeluk hanyalah dirinya sendiri. Kini yang ada hanya bayangan yang berselimut sepi.
Tidak ada suara lain selain suara tangis dari Tiwi yang teredam oleh bunyi takbir yang berkumandang bersahut-sahutan. Tiwi menumpahkan tangisnya saat beberapa menit lalu sempat tertahan.
Dengan sesenggukan Tiwi mengenang sosok itu. Tidak ada lagi suara Nandana yang sedang melucu, tidak ada lagi tawa lepas yang tercipta saat dua orang sedang jatuh cinta. Tidak ada, dan tak akan pernah ada yang bisa menggantikan sosok Nandana di hati Tiwi.
Gadis itu bingung, mengapa rasanya bisa sesakit ini? Dadanya terasa sesak, sedangkan buliran bening tak henti-hentinya menetes. Bahkan hal yang paling menyakitkan di dunia adalah saat kita merindukan seseorang yang tidak bisa kita temui lagi.
Tiwi tahu jika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Seharusnya dari awal Tiwi paham kalau Nandana tercipta bukan untuk dirinya. Ia hanya sebagai pelengkap di masa kini, tidak lebih. Bodohnya ia baru sadar sekarang.
"Aku juga cinta kamu, Dan!" teriak gadis itu sambil melingkarkan tangannya sendiri dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki yang ditekuk.
Laki-laki itu bersama kenangan yang tercipta. Tempat ini akan menjadi saksi bisu perpisahan mereka bahwa pernah ada sosok yang sangat berarti di masa lalunya, sosok yang sangat mencintai Tiwi setulus hati.
"Terima kasih untuk semuanya, Dan. Terima kasih ...," lirihnya. Hanya dedaunan yang dapat mendengar suara itu.
***
Keesokan harinya, tepat setelah selesai menjalankan salat Idul Fitri di masjid. Fatimah berkunjung ke rumah Tiwi. Gadis yang menyembunyikan mata bengkaknya di balik concealer itu menyambut Fatimah dengan bingung.
Fatimah menangis sesenggukkan dalam pelukan Tiwi saat gadis itu—yang kebetulan membukakan pintu—baru selesai meminta maaf—sungkem—pada orang tuanya, Sari dan Soni.
“Wi, maaf ya kalo kemaren aku marah sama kamu. Makasih udah jaga perasaanku dan nolak perjodohan itu." Fatimah melepaskan pelukkannya. “Kita tetep temenan, kan?” ucapnya sambil mengangkat jari kelingking ke atas.
Ada raut tidak bersahabat saat Fatimah mengucapkan hal tersebut. Namun, di detik selanjutnya Tiwi tersenyum, mengubah ekspresi wajahnya seperti biasa dan menautkan jari kelingking tersebut pada jari kelingking Fatimah.
“Tetep temenan, dong.” Kemudian terdengar suara tawa lepas yang tulus dari keduanya.
Tanpa mereka ketahui dari arah belakang sudah berdiri Sari dan Soni yang tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar jelas di sana. Sesekali Sari menoleh ke arah Soni saat suaminya tersebut merangkul sang istri dari arah belakang.
Dari kejauhan terlihat Fadil yang sedang berjalan bersama orang tuanya menuju rumah Tiwi. Melihat hal itu Sari melepas rangkulan Soni dan berjalan mendekat.
“Eh, ada Bu Rw sama Pak RW. Mari masuk.”
“Duh maaf, ya, Bu. Ini si Fadil katanya pengen jadi tamu pertamanya Tiwi, jadi cepet-cepet ke sini.”
Sementara itu Fadil menghampiri Tiwi yang sedang mengobrol bersama Fatimah di teras rumah. Dengan canggung dan gugup, Fadil mulai berkata, “Hai, Tiwi. Maafin aku, ya, kalo ada salah.”
Tiwi diam, ia tak bisa berkata saat di hadapannya ada Fatimah yang sedang menatapnya tajam.
“Eh, ada Fatimah juga. Minal aidzin wal faidzin, ya. Mah.”
Gadis itu bisa bernapas lega saat Fadil juga menyapa Fatimah yang berdiri tepat di sampingnya. Lalu, perhatian Tiwi teralihkan saat menatap Dee yang setengah menyembunyikan badannya di batang pohon besar yang ada di ujung sana.
Sebuah senyuman terulas, tatapan kebinaran terpancar jelas. “Eh, aku ke sana dulu, ya.” Tiwi mendekat, dan berbisik ke arah Fatimah yang terlihat malu-malu. “Mah, aku tinggalin kalian berdua. Sukses.” Senyum menggoda terbit saat Tiwi berjalan menjauhi mereka berdua.
“Eh, Tiw … tungg—“
Belum sempat Fadil melanjutkan, Fatimah dengan sigap menarik lengan Fadil agar masuk ke rumah Tiwi saat Sari memanggilnya untuk makan ketupat bersama.
Di lain sisi saat Tiwi sudah berjalan mendekati Dee, tiba-tiba saja Dee berlari menjauhi gadis itu.
“Dee, kamu mau ke mana?” tanya Tiwi setengah berteriak.
Namun, bukannya menjawab pertanyaan Tiwi, Dengan suara tak kalah kencang, Dee berkata, “Makasih, ya, Tiwi, udah mau jadi temanku.”
Kemudian dari arah belakang Tiwi, terdengar suara yang membuat mereka berdua menoleh ke sumber suara.
“Tiwi, ayo masuk! Kita makan ketupat sama-sama. Udah ditunggu sama yang lain!”
Tiwi menoleh. “Sebentar, Bu!” Setelah itu saat Tiwi menatap ke depan, sosok Dee sudah tidak ada lagi di sana.
Kemudian gadis itu tersenyum saat mengingat pertama kali ia bertemu dengan Dee, dan mengingatkan dirinya pada sosok Nandana. Tiwi menatap ke langit, melihat awan yang berbentuk seperti wajah Nandana yang tersenyum kepadanya.
Hati Tiwi terenyuh dan merasa sakit sekaligus. Perlahan gadis itu kembali memaksakan senyum hingga membuat bibirnya bergetar dengan kelopak matanya yang mulai berkaca-kaca.
Mengikhlaskan Nandana, sepertinya tidak ada dalam kamus hidupnya. Namun, itu bukan pilihan. Itu adalah sebuah keharusan. Mungkin, kisah ini akan ia simpan rapat-rapat dan akan ia ceritakan kepada anak cucunya kelak, bahwa ia pernah menjalin cinta dengan seorang yang beda alam. Kisah unik dan akan terkenang selamanya.
“Tiwi, ayo!” panggil Sari lagi, membuat Tiwi tersentak lalu mengusap matanya. Menghilangkan jejak air mata di sana dan berlari ke arah ibunya.
Mereka pun makan ketupat beserta makanan khas lebaran bersama-sama dengan diiringi suara tawa kebahagiaan.
** TAMAT **
070521
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro