Lev • 22 • Lo ... Gue ... End!
“Tiwi, Bapak sama Ibu mau ngomong sama kamu, buka pintunya dulu, Nak.”
Samar-samar Tiwi dapat mendengar suara bapaknya diiringi dengan suara ketukan pintu. Namun, kedua mata cantiknya masih betah menutup cangkang, enggan membiarkan setitik cahaya masuk ke dalam.
Soni kembali bersuara, “Tiwi, kamu tidur, ya?” Akibat tidak ada jawaban dari dalam kamar, laki-laki paruh baya itu memutuskan untuk membuka pintu kamar putri tercintanya.
Saat melihat ke dalam kamar Tiwi, Soni hanya bisa menghela napas pelan. “Udah siang malah tidur … gimana kalau udah jadi istri orang, Wi?” lirih Soni sambil menatap gaya tidur anaknya yang sangat tidak elegan.
“Tiwi! Bangun!” seru Soni yang berusaha membangunkan Tiwi.
“Apa, sih, Pak?” gumam Tiwi masih dengan mata tertutup dan memeluk guling tercintanya.
Diam-diam ternyata Tiwi sedang bermimpi tentang Dan, di mimpinya ia dan Dan sedang duduk di tepi danau sambil berpelukkan dan menonton matahari tenggelam. Ah … indah sekali mimpinya sampai-sampai ia tersenyum dalam tidurnya.
Karena Soni sudah terlalu kesal dengan Tiwi yang tidak bangun-bangun, ia memilih mencipratkan Tiwi dengan air dari dalam gelas yang berada di kamar Tiwi.
“Ah! Hujan!” Tiwi yang panik langsung membuka mata. Saat melihat itu adalah kerjaan Soni, Tiwi langsung menatap kesal ke arah bapaknya.
“Bapak apaan, sih? Ganggu orang tidur aja,” omel Tiwi dengan raut wajah yang kesal sekali.
Ih, padahal tadi dikit lagi gue anu sama Dan, ih sebel! batin Tiwi berteriak kesal.
“Kamu, nih, masih gadis aja pemalas banget, siang-siang malah molor. Kalau jadi istri orang gimana? Malu-maluin Bapak sama Ibu nanti kamu. Kalau kamu sampai dipulangin gara-gara malas sama mertua kamu, Bapak sama Ibu nggak mau tampung kamu lagi pokoknya,” gerutu Soni tanpa memberi Tiwi kesempatan untuk menyela dan berbicara.
“Pak, kalaupun aku mau nikah, aku bakal pastiin mertua aku bisa terima aku apa adanyalah. Nggak bakal ada drama-drama diusir. Bapak lebay banget,” kata Tiwi dengan wajah cemberut.
“Ngomong-ngomong soal nikah, Bapak jadi inget tujuan Bapak bangunin kamu. Ada yang mau Bapak sama Ibu bicarain, kamu keluar, ya. Jangan lupa lap dulu iler kamu, jorok banget jadi anak gadis,” cerca Soni di akhir.
Bapak jahat banget, dah, gini-gini aku masih cantik kali walaupun ileran, batin Tiwi yang kesal karena ejekan bapaknya.
Tak lama akhirnya Tiwi keluar dari kamar. Ia melihat ibu dan bapaknya sudah duduk di ruang tamu sembari berbincang-bincang.
“Bapak sama Ibu mau ngomong apa, sih?” tanya Tiwi yang tampak bingung.
“Kami mau tahu kelanjutan dari perjodohan kamu sama Nak Fadil, kamu mau lanjutkan?” tanya Sari seraya menatap anak gadisnya dengan penuh harap.
Tiwi terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Maaf, Pak, Bu. Tiwi nggak mau lanjutin perjodohan sama Fadil. Iya, Fadil tuh emang baik, sopan, pintar—sebenernya ini meragukan, dan masih banyak hal lagi yang membuat kalian sampai kepengen banget jodohin dia dengan Tiwi, tapi hati Tiwi nggak ada buat dia sedikit pun. Kita nggak cocok.”
Akhirnya Tiwi mengungkapkan isi hatinya mengenai Fadil kepada kedua orang tuanya.
“Apa Nak Fadil emang nggak bisa dikasih kesempatan lagi, Wi?” tanya Soni kali ini kepada Tiwi.
“Mau Tiwi kasih seratus kesempatan juga nggak bakal ada yang berubah, Pak, Bu,” ujar Tiwi lagi.
“Ya sudahlah, Bu, namanya nggak cocok nggak bisa dipaksakan,” kata Soni akhirnya.
Mendengar perkataan bapaknya membuat Tiwi langsung memekik senang dan memeluk Soni secara spontan.
“Makasih udah mengerti Tiwi, Pak,” kata Tiwi dalam pelukan Soni
“Emang Ibu udah ikhlasin perjodohannya batal apa?” Kini suara Sari yang terdengar sedikit sinis membuat Tiwi langsung melepaskan pelukannya dari sang bapak dan hanya bisa tersenyum kecil.
“Ayolah, Bu … Ibu nggak mau kan liat Tiwi yang cantik jelita paripurna ini nggak bahagia? Nanti Ibu jadi kepikiran terus loh kalau aku nggak bahagia,” bujuk Tiwi dengan harapan Sari bisa melepaskannya dari jeratan perjodohan yang merepotkan ini.
“Ibu ikhlasin ....” Mendengar itu Tiwi langsung mau bersorak senang dan memeluk Sari.
Belum sempat ia bersorak dan memeluk ibunya, Sari kembali melanjutkan ucapannya, "Asal kamu yang jelasin ke Pak RW dan Bu RW soal pembatalan perjodohan, kamu juga Ibu larang untuk bangun siang, dilarang malas-malasan, dan harus nurut apa kata Ibu. Gimana?”
Penawaran yang menggiurkan itu membuat Tiwi langsung mengangguk dengan cepat, apa pun akan ia lakukan demi terlepas dari jeratan maut itu!
Akhirnya … aku sama Dan bisa bersatu nanti, yes! Tiwi bersorak dalam hati.
Setelah percakapan dengan kedua orang tuanya selesai, Tiwi kembali ke kamarnya sambil bersorak senang. Di dalam kamar, ia menghabiskan satu jam hanya dengan bernyanyi sekencang-kencangnya dan menari dengan heboh, tidak peduli jika suaranya sampai mengganggu tetangga sebelah.
Begitu bahagia bagi Tiwi, ditambah Tiwi sudah tidak sabar bisa kembali dengan Dan tanpa hambatan apa pun kali ini.
Ah … betapa menyenangkannya jatuh cinta, pikir Tiwi sambil tersenyum lebar.
***
Saat matahari sudah mau tenggelam, keluarga Tiwi datang ke rumah Pak RW dengan dalih ingin membahas soal perjodohan Tiwi dengan Fadil seraya buka bersama.
Tiwi yang datang dengan senyum lebar di wajahnya—berbeda dengan beberapa hari yang lalu—membuat Fadil senang. Fadil pikir Tiwi akhirnya bisa menerima dirinya dan perjodohan itu.
Nyatanya, Fadil harus kembali menelan kenyataan pahit. Tiwi yang datang hari itu dengan senyuman bahagia karena akhirnya terlepas dari dirinya. Fadil sangat sedih saat Tiwi memilih untuk membatalkan perjodohan itu … padahal Fadil sudah berharap kalau Tiwi adalah jodohnya.
“Apa aku seburuk itu, ya?” Saat ini Fadil sedang merenung di kamarnya setelah keluarga Tiwi pulang dan membatalkan perjodohan.
“Masa, sih? Apa Tiwi ilfeel sama aku gara-gara sarungku sering terbang sendiri?” tanya Fadil pada dirinya sendiri.
“Oh! Apa jangan-jangan karena dia udah suka sama laki-laki lain? Kalau nggak salah Tiwi pernah bilang kalau dia lagi sama laki-laki. Tapi aku nggak pernah tuh lihat wajah laki-laki itu. Tiwi pasti sembunyiin orangnya! Aku pokoknya harus cari tahu soal laki-laki itu.”
Tekad Fadil sudah bulat, ia akan mencari tahu soal laki-laki yang Tiwi maksud itu. Ia yakin, Tiwi memutuskan perjodohan dengannya bukan karena tidak cocok seperti apa yang Tiwi bilang di hadapannya dan kedua orang tuanya, pasti ada laki-laki lain!
***
Dua hari kemudian Fadil menghampiri geng Ceriwis yang kebetulan berpapasan dengannya saat di jalan menuju masjid.
“Nifla!” seru Fadil memanggil gadis berhijab krem yang tampak sedang menunduk.
Orang yang dipanggil langsung mendongak dan betapa terkejut dirinya mendapati yang memanggil adalah Fadil.
“Ke-kenapa, Dil?” tanya Nifla dengan tangan sedikit bergetar.
Belum sempat Fadil menjawab, Mifta yang berada di samping Nifla langsung menyela, “Fadil! Kamu kok nggak panggil aku, sih?”
Tanpa menghiraukan pertanyaan Mifta, Fadil kembali berbicara, “Kalian ada yang tahu, nggak, Tiwi akhir-akhir ini dekat dengan siapa?”
“Ngapain nanya Tiwi, sih? Lagian mana kita tahu dia dekat sama siapa, kayak kita peduli aja,” gerutu Mifta saat mendengar pertanyaan Fadil.
“Aku nggak nanya sama kamu, aku nanya sama Nifla dan Uun.”
Mendengar perkataan Fadil membuat wajah Mifta memerah karena malu. “Kamu jahat!” Setelah berseru seperti itu Mifta berlari sambil menangis untuk kembali ke rumahnya.
Saat anggota geng Ceriwis ingin mengikuti langkah Mifta, Fadil langsung mencegah dengan berkata, “Udah biarin aja dia sendiri dulu. Jadi, kalian sama sekali nggak tahu Tiwi akhir-akhir ini lagi dekat sama siapa?” tanya Fadil sekali lagi untuk memastikan.
“Um … coba tanya Fatimah aja. Mereka, kan, temen deket,” jawab Uun yang disetujui oleh Nifla juga.
“Oke, deh! Makasih, ya.”
Merasa sudah mendapat jawaban yang ia butuhkan, Fadil segera beranjak dan melanjutkan langkahnya ke masjid.
***
040521
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro