Lev • 21 • Dukun Gila
Seperti ucapan Bayu kemarin. Bayu kembali datang bersama beberapa orang warga yang diajaknya ke rumah Dhea pagi ini. Bayu tak akan menyerah sebelum hantu itu tertangkap. Sejak Bayu tinggal di desa Wedete, baru kali ini ia merasakan hal aneh yang terjadi di sini. Sebelumnya, desa itu aman-aman saja.
"Nyi, saya mohon, tangkap hantu itu ya, Nyi," ucap Bayu memohon. Sekaligus mewakili beberapa warga yang ikut bersamanya.
Dhea menatap Bayu tajam, membuat Bayu waswas jika kembali diguyur air. Namun, detik selanjutnya Dhea mengangguk. Bayu menghela napas lega.
"Sebentar, Tuan. Saya mau mengambil beberapa peralatan dulu," ucap Dhea.
"Baik, Nyi."
Tak lama kemudian, Dhea sudah siap dengan pakaian serba hitamnya. Bau kemenyan langsung menyengat di rongga hidung Bayu. Belum lagi alis Dhea yang tebal diukir menyatu seperti jembatan dengan pensil alis. Bibir Dhea pun tak kalah hitamnya. Sudah seperti malaikat pencabut nyawa saja.
"Sudah bisa berangkat sekarang, Nyi?" tanya Bayu.
"Sudah, Tuan. Mari kita berangkat!"
Bayu dengan semangat melangkahkan kaki bersama Dhea, di belakangnya ada warga yang mengikuti. Bayu tersenyum senang, sebentar lagi hantu itu tertangkap. Warga pasti bangga padanya, karena berhasil mengamankan kembali desa Wedete. Bayu sudah tidak sabar membayangkan pujian-pujian yang akan ia terima nantinya.
"Nyi tahu di mana tempat hantu itu?" tanya Bayu.
"Tentu saja saya tahu. Tuan ikuti saja saya di belakang. Jangan berjalan di samping saya, nanti saya dikira istri Tuan lagi." Dhea memainkan gelang-gelang besar di tangannya saat berbicara. Bayu hanya mendengkus pelan, lalu mundur ke belakang berjalan bersama warga lainnya.
Akhirnya, langkah Dhea membawa mereka ke arah hutan bambu. Bayu menatap ke sekelilingnya. Ada batu besar dan kursi kayu yang terdapat di jalan masuk menuju hutan bambu. Dhea menghentikan langkah dan mengeluarkan semua peralatan yang tadi dibawanya.
Di samping itu, Dee yang baru kembali dari warung dengan kantong plastik di tangan, tak sengaja menatap ada banyak warga yang berkumpul di depan hutan bambu. Dahi Dee mengernyit. Ia heran, kenapa mereka di sana? Dee juga melihat adanya Dhea—sang dukun.
Dee mengalihkan tatapan ke arah hutan bambu. Dahinya kembali mengernyit. Dee tiba-tiba teringat dengan Nandana. Apakah pria itu berada di sana sekarang?
Dhea sudah siap dengan peralatan di depannya. Ia mulai membakar kemenyan, membuat gumpalan asap yang langsung menyebar ke sekitar. Dhea juga mulai membacakan beberapa mantra.
Bayu dan beberapa orang warga berdiri di belakang menyaksikan Dhea bergulat dengan mantra hingga air liurnya memuncrat ke mana-mana.
"Ada yang tidak beres," ucapnya sambil berjalan menghampiri mereka.
"Maaf, Pak. Ini kenapa rame-rame, ya?" tanya Dee.
"Itu, Neng. Nyi Dhea mau menangkap hantu yang meresahkan desa kita," jawab Pak Somad.
"Mending Neng pulang saja, bahaya di sini, Neng. Biar kami saja yang menangkap hantunya," ucap Bayu menimpali.
"Baik, terima kasih, Pak." Dee menganggukkan kepala, lalu berjalan ke samping.
Ia memilih duduk di kursi kayu yang terdapat di sana. Dee manaruh kantong plastik yang dibawanya. Gelang tasbihnya tiba-tiba bersinar.
"Aku yakin, Nandana dalam bahaya," ucap Dee mengusap gelang tasbihnya pelan.
Di sisi lain, Nandana merasakan badannya memanas. Ia mengipas-ngipaskan tangan ke badan, tetapi tetap saja panas itu semakin merasuki tubuhnya. Laki-laki itu juga merasakan energinya terserap, membuat badannya jadi melemah.
Sesuatu seakan menarik badan Nandana. Pria itu menahan tubuhnya agar tidak tertarik. Ia memegang pohon bambu di depannya, dengan sekuat tenaga Nandana menahan diri agar tak terbawa oleh tarikan itu.
Di balik itu, Dhea tersenyum sinis. Hantu itu sudah masuk ke perangkapnya. Tangan Dhea terulur ke depan, lalu menarik sekuat tenaga, diiringi oleh mantra yang ia sebutkan dengan keras. Dhea tak peduli jika air liurnya sudah memuncrat ke sana kemari, yang penting hantu itu sudah berada di genggamannya.
"Wah. Sepertinya Nyi Dhea sudah berhasil menemukan hantu itu."
"Iya. Hantu itu harus dibasmi secepatnya dan dilenyapkan dari desa kita."
"Ya, setuju."
Dee melotot, melihat Nandana yang sudah keluar dari hutan bambu akibat tarikan dukun itu. Gelang tasbih Dee bergetar. Ia langsung berdiri dan memutar kedua telapak tangannya. Dee lalu mendorong energi negatif dalam dirinya ke arah Dhea.
Pertahanan dukun itu belum runtuh, ia tetap menarik Nandana yang semakin mendekat. Dee kembali mendorong tangannya dengan sekuat tenaga. Dee juga melafalkan ayat kursi untuk menghentikan dukun itu.
Dhea merasakan ada yang menghalanginya, tetapi ia mencoba tetap bertahan. Dee tak menyerah, ia semakin menguatkan dorongan energi negatif ke dukun tersebut.
Sampai akhirnya tempat kemenyan Dhea meledak. Tarikan pada Nandana terlepas, membuat Dee mengembuskan napas lega. Semua warga yang berada di sana langsung mendekati Dhea yang sudah tersungkur. Kepalanya mengenai kemayan yang sudah berserakan.
"Istriku!" Teriakan itu berasal dari arah belakang. Tehyung—suami Dhea—berlari menghampiri istrinya. Pria itu baru saja mendapat kabar dari tetangga jika Dhea pergi bersama warga untuk membasmi hantu.
Bayu membantu Dhea bangkit. Muka wanita itu sudah menghitam akibat goresan kemenyan. Tehyung langsung panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Laki-laki berkulit pucat itu menarik Dhea ke pelukan. Namun, detik berikutnya Dhea tertawa terbahak-bahak yang membuat semua orang heran.
"Aku cantik walau tak mandi. Duitku banyak dikasih suami. Mari menjadi ... malas mandi!" ucap Dhea diiringi kekehan di akhir kalimatnya.
"Dhea, kamu kenapa?" tanya Tehyung.
"Suamiku sering nyuruh mandi. Ah, gak suka, gelay! Mari cari suami lagi!"
"Astaghfirullah." Farid datang sambil menggeleng melihat warga yang berkumpul di sini.
Dee yang melihat kedatangan Pak Haji memilih berlalu dari situ. Dee kembali mengambil kantong plastiknya. Setelah itu, ia menghampiri Nandana yang masih melemah. Dee lalu menarik Nandana masuk kembali ke hutan bambu.
"Ada apa ini?" tanya Farid. Ia tak sengaja lewat melihat warga yang berkumpul di depan hutan bambu. Akhirnya, Pak Haji berniat menghampiri.
"Anu, Pak Haji. Kami ...." Tidak perlu penjelasan, Farid sudah tahu apa yang terjadi. Ia sudah menduga, bahwa Bayu akan kembali meminta bantuan dukun itu untuk menangkap hantu.
"Ini adalah akibat bagi kalian yang memercayai hal-hal ghoib. Kalian juga meminta dukun untuk menyelesaikan kasus ini. Harusnya kalian berdoa dan meminta pertolongan pada Allah SWT. Agar kampung kita dilimpahkan keberkahan."
Semua warga hanya menundukkan kepala, menerima nasihat yang diberikan oleh Pak Haji. Terutama Bayu, ia menatap tak enak hati melihat Dhea yang berubah menjadi sinting.
"Apa yang terjadi pada dukun ini?" tanya Farid.
Tehyung hanya menggeleng, ia mengusap bahu istrinya pelan. Dhea menengadahkan mukanya menatap Bayu.
"Dia pasti jarang mandi!" ucap Dhea terkekeh sambil menunjuk ke arah Bayu.
***
"Kamu baik-baik aja?" tanya Dee melihat Nandana yang masih tak bertenaga. Arwah itu bersandar di pohon bambu.
"Ya. Terima kasih sudah menolong saya."
"Sama-sama."
Nandana lalu menatap ke sekitar hutan bambu. "Saya pikir di sini tempat yang paling aman," ucapnya.
Dee pun ikut menatap sekitar. Hutan bambu itu memang tampak menyeramkan, apalagi bunyi yang dihasilkan bambu-bambu itu jika tertiup angin. Namun, Dee sama sekali tidak takut. Mungkin ia sudah terbiasa.
"Desa ini memang sangat nyaman, walaupun di sini aku tidak memiliki teman," ucap Dee.
Dee kembali mengingat waktu pertama kali ia dan keluarganya datang ke desa ini. Desa Wedete memiliki banyak tempat menarik, seperti ada banyak sungai yang digunakan oleh sebagian warga untuk mencuci pakaian. Desa Wedete juga dikelilingi oleh pepohonan. Seperti pohon rambutan, pohon jambu, dan pohon kelapa.
Udara di sini sangat segar membuat mata sejuk memandang. Apalagi suasana di pagi hari. Bunyi ayam berkokok seperti alarm yang membangunkan. Ketika jendela dibuka, bunyi kicauan burung yang bersahut-sahutan langsung terdengar. Dedaunan yang basah karena embun pagi, dan suara air sungai yang mengalir deras membuat hati tenang.
"Kamu masih berniat untuk menemui Tiwi?" tanya Dee.
"Tidak tahu."
***
030521
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro