Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lev • 18 • Kilas Balik Sad Boy (2)

Satu hari penuh Nandana gunakan untuk memulihkan tenaga sembari memutar otak untuk melakukan penyerbuan terhadap lawan. Para suami dari ibu-ibu dan anak-anak yang dicuri berkumpul di rumah Nandana. Rian, ayah Nandana sekaligus kepala suku Sukabumi, ikut merasakan kekhawatiran yang tampak jelas dari garis wajah mereka.

“Bagaimana sekarang, Pak? Apa yang harus kita lakukan untuk membebaskan warga yang tertangkap? Apa kita hanya akan berdiam diri?” Erza, salah satu petinggi bertanya. Semalaman ia memikirkan nasib anggota keluarganya yang tertangkap oleh Jepang.

Haekal, lelaki seumuran Nandana menimpali, “Harusnya kita tidak membiarkan musuh terus berdatangan dan mengambil kekuasaan di kota ini. Tapi bagaimana kita bisa melawan orang sebanyak itu tanpa peralatan yang memadai?”

Rian menggulir tatapannya pada satu per satu warga lelaki yang tersisa. Seolah semua menunggu keputusannya, tetapi apa?

Nandana berkata, “Menang atau kalah, kita harus tetap membebaskan warga.” Rian menatap tajam pada Nandana. Seolah mengatakan ia tidak boleh bermain-main dengan Jepang. “Kalau kita terus diam, mereka juga tidak akan berhenti memanfaatkan kita, Pak,” kata Nandana mencoba meyakinkan Rian.

“Bapak juga tidak ingin berada di situasi seperti ini terus. Ibu dan adik-adik kamu sudah tertangkap, Dan. Kita akan menolong mereka, tapi Bapak tidak ingin ada korban lagi.” Rian menunduk gelisah. Ia merasa tidak pantas menjadi kepala suku karena tidak bisa menjaga warganya dengan baik.

“Maaf, Pak.” Erza menimpali, “tadi saya mendengar dari pemilik toko Mimpi, kalau nanti malam orang Jepang akan mengadakan pesta. Mereka memesan banyak arak dari toko Mimpi, Pak Rian. Bagaimana kalau kita menyelinap ke sana sebagai pengantar minuman, lalu setelah berhasil masuk, kita bebaskan semuanya.”

Mata Nandana berbinar disertai senyuman misterius.

***

Hari mulai gelap, Nandana dan Haekal sudah bersiap di toko Mimpi. Atas bantuan Erza, sang pemilik toko mengizinkan kedua lelaki itu mengantarkan minuman arak ke rumah mewah yang digunakan sebagai markas orang Jepang.

Nandana dan Haekal sedikit merubah penampilan dengan memakai kumis palsu dari goresan pensil alis milik ibu Nandana. Mereka menggunakan pakaian lusuh layaknya kuli panggul.

“Jam berapa kita antar minumannya, Pak?” tanya Nandana yang sudah tidak sabar ingin bertemu keluarga, terlebih orang terkasihnya, Nila.

Rudi, lelaki tua pemilik toko Mimpi meniup asap rokok ke udara. “Tunggu telepon dari mereka dulu. Mungkin masih menyiapkan tempat untuk pestanya,” jawabnya.

“Bapak tidak diundang ke sana?” sahut Haekal.

“Tidak, saya lebih baik menjaga toko daripada ikut manusia-manusia bejat itu. Kalau tidak salah dengar, setelah pesta arak, mereka juga akan berpesta sama gadis-gadis yang sudah ditangkap kemarin,” jawab Rudi panjang lebar.

Seketika kalimat itu membuat rahang Nandana mengeras. Ia tidak akan mengizinkan siapa pun menyentuh Nila, meski gadis itu tidak mau menikah dengannya, tetapi ia belum selesai untuk berjuang. Lelaki itu benar-benar mencintai Nila melebihi cinta kepada mantan-mantannya.

Haekal yang menangkap perubahan mimik Nandana memberikan tepukan pelan pada bahu lelaki itu agar bisa menahan emosinya sebentar lagi.

Pukul tujuh tepat, telepon duduk di toko Mimpi berdering. Pak Rudi segera meletakkan pipa cangklong—alat untuk menghisap tembakau—dan segera mengangkat gagang telepon.

“Halo, toko Mimpi siap memenuhi kebutuhan Anda. Ada yang bisa saya bantu?” Suara duda tampan tersebut mengalun seperti layanan pemadam kebakaran.

Haekal tertawa lirih mendengar cara Rudi berbicara di telepon. Nandana masih memikirkan cara lain, jika rencana yang sudah ia susun tidak berhasil.

“Minumannya antarkan sekarang. Cepat!”

“Siap, Tuan! Pesanan akan segera tiba dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” balas Rudi seraya berdiri tegak.

Duda tampan tersebut meletakkan gagang telepon, lalu menatap kedua lelaki yang tak melepaskan pandangan darinya sedetik pun.

“Kalian boleh berangkat sekarang. Sudah tahu rumahnya di mana, kan?”

Nandana tidak menjawab pertanyaan Rudi, ia segera mengangkat peti minuman dan melangkah cepat keluar dari toko Mimpi. Haekal tertinggal karena masih mengucapkan terima kasih dan berpamitan secara santun kepada Rudi, sebelum mengejar langkah lebar Nandana.

***

Suara musik keroncong sudah terdengar dari balik pagar besi cukup tinggi. Nandana dan Haekal—dengan napas tersengal—telah sampai di sana dalam waktu sepuluh menit. Nandana segera menekan tombol bel dan langsung muncul kepala dari balik lubang pagar.

“Ada keperluan apa?” tanya lelaki berkumis.

“Mau mengantarkan minuman, Pak.” Nandana membuka kain yang menutupi peti minuman. Lelaki berkumis meneliti penampilan keduanya sebelum membukakan gerbang. Ia menyuruh Nandana dan Haekal langsung menuju ruang utama.

Tepat saat penjaga gerbang mengunci kembali pintu besi, Nandana segera memukul keras tengkuknya hingga tubuh ringkih itu terkulai di lantai. Merasa ragu, Nandana menambahkan pukulan—totok—pada dua sisi leher lelaki itu agar terpejam cukup lama.

Kedatangan kedua kuli palsu itu disambut meriah, mereka segera mengambil satu per satu botol arak dari peti. Merasa semua atensi terfokus pada minuman, Nandana segera mengeluarkan bungkusan koran dari balik kaos panjang lusuhnya. Sedangkan Haekal, ia menyebar gula di pinggir-pinggir sofa dan beberapa tempat lainnya.

Baru setelah itu, Nandana membuka bungkusan yang berisi semut-semut nakal. Hewan tersebut segera menyebar untuk mendapat butiran gula. Lalu, mereka berdiri di dekat peti yang sudah kosong semua.

“Kalian jangan pulang dulu, ikutlah berpesta dengan kami,” ucap salah satu orang Jepang.

“Iya, benar. Kalian harus ikut kita berpesta malam ini,” sahut yang lain disertai tawa.

Nandana bersyukur saat tidak langsung disuruh pulang. Ia berpura-pura mendekati orang yang duduk di sofa tunggal, lalu berjongkok untuk memijat lengannya. Pun dengan Haekal, ia mengikuti apa yang Dan lakukan.

Senyum tipis di wajah Dan terukir saat mereka mengaduh pelan. Tangan mereka menggaruk serta memukul bagian leher dan punggung dengan setengah kesadaran. Semut yang dibawa Nandana termasuk jenis semut yang beracun, tetapi tidak mematikan.

Nandana diam-diam menyuruh Haekal untuk memanggil warga lainnya yang menunggu di luar. Sebagian manusia berambut hitam itu sudah terkapar di lantai sembari meracau tak jelas. Nandana harus bergerak cepat sebelum racun dari semut tersebut hilang.

Ia menelusuri lorong, mendobrak satu per satu pintu yang ia lewati. Rian dan warga lainnya yang sudah masuk pun segera berpencar. Bergerak cepat tanpa menimbulkan kegaduhan berlebih.

Nandana terus bergerak saat sosok yang ia cari belum juga tampak. Warga yang sudah bebas segera diminta untuk keluar dengan hati-hati. Raut wajah bahagia bercampur panik tercetak jelas di wajah para perempuan itu.

Tersisa satu pintu yang belum terbuka. Pun dengan warga, mereka pergi setelah bertemu dengan istri dan anak. Nandana tak peduli, selama ibu, kedua adik, dan Nila belum ditemukan, ia akan terus mencari.

Dibantu Rian, Nandana mendobrak pintu kayu di hadapannya. Setelah usaha ketiga, pintu tebal itu pun terbuka.

“Ayah ...,” teriak Dian. Gadis itu segera menghambur ke pelukan Rian.

Nandana bersyukur karena semua keluarga yang ia cari dan seorang gadis yang ia cintai berada di kamar tersebut.

“Kamu tidak apa-apa?” Nandana bertanya pada Nila. Gadis itu tampak buruk dengan wajah sembap.

“A-aku takut, Dan. Aku takut,” adu Nila serak. Air matanya kembali mengalir saat bayangan buruk datang. Nandana segera menarik gadis itu ke dalam pelukan.

“Jangan takut, aku sudah di sini. Tapi kita harus segera pergi, sebelum mereka bangun.”

Nandana melepas pelukan, lalu menggenggam dan menarik tangan Nila pergi dari kamar.

“Hai, siapa di sana?” Suara dengan bahasa Jepang itu membuat Nandana dan rombongan panik.

“Kalian cepatlah keluar, biar aku menangani mereka dahulu,” ucap Dan.

“Tapi, Dan ....” Nila menolak saat tangan Nandana ingin melepaskannya.

“Cepatlah pergi!” bentaknya lirih.

Haekal menarik Nila yang masih terpaku menatap Nandana. Mereka pergi dengan harapan besar kalau Dan akan segera menyusul.

Tiga orang prajurit muncul dengan pedang yang sudah keluar dari sangkar. Nandana mengumpat pelan karena ada yang tidak terkena jebakannya.

Tanpa banyak kata, ketiga orang itu langsung menyerang Nandana yang tidak memiliki senjata apa pun. Meski sempat berhasil menghindari sabetan pedang, Nandana akhirnya berakhir di tangan mereka.

Sayatan memenuhi tubuh Nandana. Leher, wajah, serta lengan. Tak satu pun yang terlewati dari sayatan benda tajam itu. Seulas senyum terbit saat perjuangannya menyelamatkan warga berhasil, tetapi tidak dengan cinta yang harus ia bawa mati.

***

300421
Leviathan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro