Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lev • 16 • Alasan Klasik

Tepatnya setelah selesai salat Subuh berjamaah di masjid. Sesaat, ketika dalam perjalanan pulang sambil membawa mukena yang ia lipat dalam dekapan, Dee merenung. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.

"Kasian juga, sih, ngeliat Tiwi yang galau mikirin si hantu bambu. Apa sebaiknya aku pertegas aja kali, ya, supaya hantu itu nggak deketin Tiwi lagi? Bagaimanapun juga mereka beda alam. Cinta beda dunia itu nggak etis."

Dee melangkah, tidak terasa ia sudah berada di depan rumah. Dengan segera Dee meletakkan mukenanya di kamar lalu kembali melangkah keluar rumah dengan tergesa. Ia takut apabila orang rumah bertanya, mau ke mana dia pergi pagi-pagi buta seperti ini? Sejujurnya Dee malas menjawab pertanyaan tersebut.

Sebelum melangkah pergi, Dee mengambil tiket bus yang sudah usang dalam dompetnya dan ia simpan dalam saku celana. Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung pergi sebelum ketahuan oleh yang lain.

***

Pikiran Dee setelah berhasil keluar dari rumah adalah menemui Nandana ke danau angker. Sayangnya sebelum sampai ke danau tersebut, Dee harus melewati hutan bambu. Suasana di hutan itu bisa dikatakan sangat mengerikan,  apalagi di hari yang masih petang seperti sekarang.


Suara krasak-krusuk jejak langkahnya terdengar jelas saat menginjak beberapa dedaunan kering, lalu beberapa kali juga Dee harus menyingkirkan ranting bambu yang menghalangi jalan. Kemudian langkahnya terhenti.

Semoga ada hantu itu di sini, batinnya dalam hati lalu membuka rerantingan yang menjalar menutupi jalan. Dengan perlahan Dee membukanya, sebuah danau yang indah terlihat di baliknya.

Sudut bibir gadis itu terangkat saat melihat sosok laki-laki berbaju putih dengan tubuh yang terlihat ada bekas sabitan pedang sedang duduk di pinggiran danau. Laki-laki itu tampak mengerikan. Dee bersyukur bisa menemukan Nandana di sini, sehingga ia tidak perlu capek-capek mencari keberadaan Nandana.

Dee menarik napas dalam, ia mengusap gelang tasbih di pergelangan tangannya. Gelang itu bergeming. Pertanda bahwa hantu itu sedang tidak marah.

"Hai," sapa Dee hangat, dan membuat sosok laki-laki di hadapannya menoleh. Menampilkan ekspresi datar dengan bau anyir yang langsung  menyapa indra penciuman Dee.

Secara refleks, Dee mengibaskan tangannya ke depan wajah, mencoba menghilangkan bau tersebut. Namun, bau amis itu malah semakin menyengat dan membuat asam lambungnya seperti naik ke atas tenggorokan. Dee mencoba menahannya agar tidak mengeluarkan nasi yang habis ia kunyah sewaktu sahur tadi, bersamaan dengan air liurnya yang basah dan lengket.

"Bisa bicara sebentar?" tanyanya kemudian.

Sedangkan Nandana yang melihat ekspresi Dee, seperti paham bahwa gadis itu berusaha menahan diri agar tidak muntah. Kemudian mengingat pertanyaan gadis itu, Nandana hanya mengangguk, memberikan sebuah jawaban sambil melihat kembali pandangannya ke depan.

Pasti sesuatu yang akan ditanyakan ini berhubungan dengan manusia, pikir Nandana, penyebab laki-laki itu malas menjawab pertanyaan Dee.

Lalu tiba-tiba, gelang tasbih yang sedang dikenakan Dee bergerak dengan sendirinya, suatu pertanda bahwa ada energi negatif yang berada di sekelilingnya.

Dia marah? Padahal aku belum bilang apa-apa.

Dee yakin energi negatif tersebut bersumber dari Nandana, sehingga ada ketakutan tersendiri dalam benak Dee saat melihat wajah Nandana yang pucat pasi dengan ekspresi yang tidak bersahabat. Akan tetapi bagaimanapun juga, ini demi Tiwi.

Dee senang karena ada yang mau berteman dengannya, apalagi kemarin dia sempat dibelikan es dengan jajanan yang enak. Mungkin, pemberian itu tampak sederhana, tetapi bagi Dee perlakuan Tiwi sangat istimewa. Mengingat sudah lama Dee tidak mempunyai teman, lebih tepatnya tidak ada yang mau berteman dengannya.

Gadis itu pun berjalan perlahan mendekati Nandana. Kemudian setelah Dee membenarkan posisi duduknya—agak berjauhan dengan Nandana—ia langsung menjelaskan maksud tujuannya datang ke tempat ini.

Dengan sekuat tenaga, Dee mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara kepada Nandana.

"K-kamu suka, ya, sama, Tiwi?" tanya Dee dengan hati-hati. Namun, Dee dibuat terkejut ketika tanpa dikomando Nandana menoleh dengan wajahnya yang penuh belatung keluar melalui lubang-lubang kecil yang ada di sana.

"Bukan urusan Anda," jawab Nandana ketus, kemudian dia kembali memposisikan wajahnya ke depan.

"Tiwi itu temenku, dan seperti yang kamu tahu, dia juga suka kamu, sangat. Bahkan sangat tergila-gila sama kamu."

Hening, tidak ada jawaban atau apa pun dari mulut Nandana. Namun, di detik selanjutnya terdengar suara kekehan kecil yang bersumber dari laki-laki itu.

"Saya juga menyukainya. Dia lucu dan imut. Sudah lama saya tidak berinteraksi dengan manusia. Lalu, dia datang menemani kesepian yang saya rasakan, dan tentunya saya tidak akan membuang kesempatan itu."

"Tapi ingat! Kalian beda alam. Cinta kalian tidak akan pernah direstui oleh alam. Iya, namanya juga beda dunia."

Mendengar jawaban tersebut, Nandana hanya terdiam lalu disusul sebuah senyuman remeh sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya yang hampir mengenai air danau.

"Bukan urusan Anda."

Jawaban Nandana membuat Dee kesal, sehingga Dee menyatukan gigi bagian atas dengan gigi bagian bawah yang digesek hingga terdengar suara decitan, dan membuat ngilu orang yang mendengarnya. "Dasar Setan!"

"Saya memang setan. Apa masalah Anda?"

Dee menghela napas. Umpatan yang ia lontarkan benar adanya. Nandana memang hantu yang berwujud manusia.

"Kalo kamu menyadari, bahwa kamu itu setan, lalu kenapa nggak jujur sama Tiwi kalau ka—"

"Sudah saya katakan! Saya suka sama manusia yang welcome sama saya. Sebagaimana yang Anda ketahui selama ini manusia takut sama saya, termasuk Anda. Lalu, kalau Anda menginginkan saya mengaku kepada Tiwi kalau saya sebenarnya bukan manusia, kenapa bukan Anda sendiri yang mengatakannya kepada Tiwi? Sehingga Anda tidak perlu repot-repot menemui saya di sini. Masalah selesai."

Dee diam. Gadis itu paham posisi Nandana. Mengingat Dee juga sama seperti hantu itu. Ia juga merasa kesepian karena tidak mempunyai teman.

Mungkin, bila Dee menjadi Nandana, ia juga akan melakukan hal tersebut, sebagaimana yang Dee lakukan sekarang untuk Tiwi.

Menurut Dee, kesepian itu menjengkelkan, hingga kilas balik masa lalu membuat Dee mengumpulkan puing-puing yang hampir tenggelam dalam kenangan. Hal itu membuat Dee buru-buru mengambil tiket bus yang berada di sakunya—yang tadi sempat ia ambil dari rumah.

"Aku paham, kok, gimana rasanya kesepian dan terasingkan," ucap Dee sendu sambil menatap tiket bus tersebut.

Nandana menghentikan gerakan kakinya yang sedari tadi diayunkan di bawah. "Maksud Anda?"

"Tiket bus ini adalah saksi awal mula aku merasakan kesepian. Saat itu aku ikut orang tuaku melakukan perjalanan ke luar kota, sedangkan aku berada di rumah yang udah disewa oleh mereka, dan selalu sendirian di tempat itu karena mereka pergi untuk kerja dan selalu pulang malem."

Dee tersenyum tipis, senyum yang memaksanya kuat meskinya hatinya perih. "Aku yang mempunyai kelebihan bisa melihat makhluk gaib ini nggak bisa diterima di lingkungan baru, sehingga orang-orang yang ada di sana menjauhiku. Mereka bilang bahwa aku aneh dan gila. Bahkan ... ada yang mengataiku pembawa sial. Sejak saat itu aku selalu merasa kesepian karena nggak punya teman. Dan ... aku bertekad nggak mau menceritakan tentang penglihatan ini kepada siapa pun."

Ada perasaan lega dalam benak Dee saat mengatakan hal tersebut. Sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat, akhirnya dapat diceritakan kepada orang lain, meskipun Nandana bukan manusia. Dengan begitu dada Dee terasa plong, dan entah mulai kapan ia meneteskan buliran bening. Ternyata menceritakan kejadian itu masih menyimpan perasaan luka dan trauma yang mendalam. 

"Itulah penyebabnya aku takut, kalau aku bilang sama Tiwi, dia juga akan mengataiku gila dan menjauhiku. Aku takut kehilangan teman lagi."

Dengan cepat, Dee mengusap air matanya dan menoleh. Namun, yang ada hanyalah dedaunan yang terbang dibawa oleh angin. Nandana sudah tidak ada di tempat tersebut.

"Ya elah, si setan." Dee mengusap kasar wajahnya yang basah. "Orang lagi cerita malah ditinggalin." Gadis itu menyedot ingus yang hampir keluar dari hidungnya.

***

280421
Leviathan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro