Lev • 11 • Adegan Romantis Petuah Celaka
Malam semakin larut, sudah cukup lama Nandana berdiam diri di hutan bambu. Sesekali dia memasukkan tangannya ke dalam lubang hidung dengan mulut ternganga.
Dia menunggu Tiwi yang tak jua menampakkan batang hidung, sebelumnya Tiwi sudah berjanji untuk menemuinya. Padahal Nandana sudah sangat merindukan gadis itu.
"Tiwi ke mana, ya? Kok tidak datang-datang," ujar Nandana sedikit kesal, "atau aku datangi saja ke rumahnya, siapa tahu dia ada di rumah."
Nandana pun beranjak dari hutan dan bergegas menuju rumah Tiwi.
Ketika telah sampai di sana, dia melihat ke sekeliling dan berdiri tepat di depan jendela kamar Tiwi, tetapi ternyata gadis itu tidak ada. Hanya ada satu buah guling yang diberi selimut dan juga boneka beruang dengan mata besar yang terlihat menakutkan, tetapi imut di mata Nandana.
Dia pun pergi dari sana dengan langkah gontai, berharap mungkin nanti akan bertemu dengan Tiwi di jalan.
"Haha ... lihat tuh mukanya jelek banget," ujar dua orang tuyul yang sedang berjalan sembari menenteng banyak uang lima puluh ribu rupiah di masing-masing kedua tangannya.
Nandana menatap sinis ke arah mereka dan ingin mengejar, tetapi kalah telak karena ternyata tuyul itu sudah pergi menjauhi Nandana.
"Dasar Tuyul Sableng!" ujar Nandana kesal.
Nandana menendang-nendang batu yang ada di jalan hingga matanya menatap ke sebuah keramaian yang tak jauh dari tempat dia berada.
Dia pun berjalan ke sana dan ternyata sedang ada marawis. Di antara banyaknya orang di sana, Nandana akhirnya berhasil menemukan Tiwi yang sedang duduk di bagian tengah kursi penonton.
Nandana memutuskan untuk memperhatikan Tiwi dari jauh. Ia berdiri di bawah pohon yang berada di titik buta sang pujaan hati, agar ia tidak terlihat. Lalu, fokus Nandana kini tertuju kepada seorang lelaki yang tengah menatap ke arah Tiwi.
Fadil, tim cowok itu kini tengah bersholawat dan matanya yang tak mau lepas dari Tiwi. Gadis itu juga tengah menatap ke arah timnya yang sedang tampil. Sesekali juga gadis itu memandang ke arah lain atau mengajak Dee berbincang.
"Dee, Fadil ngapain, sih, dari tadi liatin aku?" bisik Tiwi pada Dee.
"Oh, ya? Tapi dia kayak lagi liatin aku, deh." Dee mengerutkan kening.
"Ya mungkin jadi kayak liatin kamu karena kita sebelahan."
"Kamu pengen banget diliatin Fadil, ya? Mungkin emang arah pandangnya lagi ke sini, makanya jadi kayak liatin kamu," jawab Dee sekenanya.
Mendengar jawaban Dee, Tiwi menghela napas pelan. Memang tidak ada faedah-nya bicara dengan gadis berambut pendek itu karena ia terlalu berpikir logis.
Suara riuh tepuk tangan terdengar seiring dengan berakhirnya penampilan Fadil dan teman-temanya. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati Tiwi dan memanggil nama sang gadis menggunakan microphone.
"Tiwi ... sudah lama aku mengangumi dan memujamu. Kemarin, saat kita bertemu kembali dadaku bergemuruh pertanda hati ini masih untukmu. Jantungku berdetak kencang saat kamu ada di dekatku. Tiwi ... maukah kamu menjadi istriku?" ujar Fadil.
Fadil berdiri dengan tangan memegang satu tangkai mawar yang sudah layu. Bahkan tangkainya saja sudah mulai menghitam.
Suasana menjadi riuh tatkala Fadil mengatakan hal itu. Geng Ceriwis yang juga berdiri tak jauh dari sana menggeram kesal. Mifta menghentak-hentakkan kaki dan menggigit baju dengan geram, bahkan ia tak sadar jika tangannya menyubit tangan orang lain. Begitu pula dengan Uun yang meremas-remas bajunya sendiri. Sedangkan Nifla hanya diam saja bak patung.
"Bagaimana Tiwi, apa kamu mau?" tanya Fadil sekali lagi.
Tiwi tak jua menjawab, ia bungkam seribu bahasa. Sedangkan Dee, ia memutar bola mata malas, kemudian menatap Fadil dengan datar. Jujur saja ia tidak menyukai laki-laki alay itu.
Deg!
Seketika Dee merasakan gelang tasbih di kedua pergelangan tangannya bergetar. Bulu kuduknya pun meremang, pertanda tubuhnya mendeteksi energi negatif di sekitar sana.
Energi menyeramkan ini terasa tidak asing, ucapnya dalam hati.
Tiwi menatap Fadil yang masih setia dengan tangannya yang menggenggam setengkai bunga. Baru saja ia ingin mengeluarkan kata dari mulutnya tiba-tiba angin berembus dengan kencang. Orang-orang yang ada di sana berlari ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.
Barang-barang berhamburan, pentas yang berdiri megah pun seketika roboh, kotak berkat terbang jauh terbawa angin, dan semuanya menjadi kacau. Dee menarik Tiwi untuk pergi dari sana, tetapi terlambat. Sebuah tiang panggung tumbang dan menimpa Tiwi. Membuat gadis itu terjatuh dengan keras.
Dee melebarkan mata, ia mencoba menyingkirkan tiang panggung yang menindih Tiwi, tetapi gagal. Ia pun berusaha menyadarkan Tiwi yang memejamkan mata dengan menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu dan memanggil-manggil namanya.
Fadil yang mendengar suara Dee langsung berlari dan membantu Dee menyingkirkan tiang panggung yang menindih Tiwi.
Mata Dee menjelajah ke penjuru tempat berlangsungnya acara, dia melihat Nandana yang tengah berdiri dengan raut wajah marah. Benar dugaanku. Energi negatif tadi berasal dari dia, batin Dee.
Tiwi yang setengah sadar, samar-samar melihat keberadaan Nandana berdiri tidak jauh dari sana.
Melihat keadaan Tiwi, Nandana merasa bersalah dan marah kepada dirinya sendiri. Dia pergi dari sana dengan perasaan campur aduk. Dia menyesal karena ulahnya Tiwi menjadi celaka.
Tiwi mengerang karena tak kuat menahan sakit, di bagian tangannya terdapat goresan luka karena terkena ranting pohon, bagian kepala dekat pelipisnya terlihat merah karena terhantam tiang panggung. Detik berikutnya, Tiwi kehilangan kesadaran sepenuhnya.
"Tiwi ... Tiwi ... bangun, Wi," ujar Fadil.
Namun, tidak ada sahutan dari Tiwi. Ia pun menggendong Tiwi dan pergi ke mobil pick up milik ayahnya. Fadil membawa Tiwi ke puskesmas terdekat karena khawatir dan takut terjadi apa-apa kepada gadis itu.
***
Setelah kekacauan yang terjadi tadi, para warga dan juga para panitia segera membereskan barang-barang yang berhamburan, dan juga membersihkan dedaunan serta sampah-sampah yang membuat tempat acara menjadi kotor.
Satu persatu warga mengangkat ranting pohon yang tumbang dan memotong pohonnya menjadi kecil-kecil agar bisa diangkat.
Kekacauan tadi mengakibatkan banyak barang yang rusak parah, terlebih panggung, tiangnya sudah tumbang ke mana-mana membuat para warga harus membangun ulang.
"Uun, itu ambil," ujar Mifta menunjuk sampah yang ada di depannya. Dia menatap jijik ke arah sampah itu.
"Dih, ogah banget. Mending kita pulang aja yuk daripada di sini ngotorin tangan aja," ujar Uun yang juga jijik melihat sampah-sampah yang ada di sekelilingnya.
"Ya udah, hayuk." Mifta dan Uun pergi dari sana diikuti oleh Nifla yang berjalan di belakang mereka.
Sedangkan di lain sisi, Fadil dan Dee tengah menunggu Tiwi di luar ruangan. Tiwi sedang diperiksa oleh dokter karena insiden tadi. Sebelumnya juga mereka sudah menelepon kedua orang Tiwi dan mengatakan bahwa putri mereka sedang berada di puskesmas.
"Nak, bagaimana keadaan Tiwi?" tanya Sari kepada Fadil.
"Tante tenang, ya. Tiwi lagi diperiksa dokter," ujar Fadil.
Tercetak jelas raut kekhawatiran Sari. Dia menatap Soni yang juga sama khawatirnya. Soni pun membawa Sari ke kursi dan mendudukkan istrinya di sana. Ia berusaha membuat agar Sari tenang dan tidak terlalu khawatir.
"Sayang ... kamu tenang, ya, Tiwi nggak bakal kenapa-kenapa. Tenang, ya ...," ujar Soni.
"Ta--tapi Tiwi, Mas."
"Ssstt ... tenang, berdoa agar anak kita baik-baik saja."
Sari mengangguk, dia menyandarkan kepalanya ke Soni dan memeluk lelaki itu. Soni menerima pelukan istrinya dengan hangat hingga mereka melupakan bahwa ada dua pasang mata yang sejak tadi melihat interaksi mereka.
Fadil segera mengalihkan pandangannya karena iri ketika menatap Soni dan Sari berpelukan. Sedangkan Dee, dia hanya diam mematung sambil sesekali mengusap gelang di pergelangan tangannya.
***
230421
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro