Lev • 10 • Geng Ceriwis
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, pengumuman untuk warga desa Wedete, bahwa nanti malam akan diselenggarakan lomba marawis yang diikuti oleh tiga kampung sekaligus!"
Suara pengumuman lewat toa mesjid tersebut membuat warga desa Wedete bersenang ria. Acara inilah yang selalu mereka tunggu saat bulan Ramadhan. Hiruk pikuk dan hebohnya penonton membuat acara ini semakin meriah.
Malamnya, lomba marawis pun siap dimulai. Semua warga Wedete beserta warga dari tiga kampung lainnya sudah berkumpul di tempat.
Panggung kecil yang tingginya tidak lebih dari betis orang dewasa itu sudah tertata rapi. Berhiaskan bunga dan tanaman plastik di setiap sisi panggung, serta kelap-kelip lampu kekinian—tumblr—membuat panggung sederhana itu terlihat mewah.
Suara petasan pun terdengar, pertanda bahwa acara marawis akan segera dimulai. Orang dewasa dan anak-anak terlihat bersemangat sekali.
Semakin banyak petasan yang dinyalakan, semakin banyak orang yang berseru-seru kegirangan. Semakin bising suara petasan yang terdengar, semakin banyak orang yang bersorak seolah berlomba mengalahkan suara petasan tersebut.
Namun, kemeriahan ini tidak dirasakan oleh Tiwi. Ia memang sudah izin pada orang tuanya untuk pulang terlambat setelah tarawih. Bukan karena Tiwi menghadiri acara lomba marawis, melainkan karena ia sudah janjian dengan Nandana untuk bertemu di hutan bambu.
Di perjalanan, Tiwi bahkan berlari-lari kecil sambil bersenandung, tidak sabar bertemu dengan sang pujaan hati. Rindunya sudah tidak tertahan, sebab seharian ini dia belum bertemu dengan Nandana.
Ketika telah sampai, ia melihat Nandana yang tengah duduk di salah satu bambu dengan memasukkan telunjuk ke dalam lubang hidungnya. Mata gadis itu bersinar ketika melihat Nandana melakukan hal itu, bukannya merasa jijik, ia malah terpana.
"Dan ...." Belum sempat Tiwi memanggil laki-laki itu. Ia dikejutkan oleh sebuah tangan yang membekap mulutnya secara tiba-tiba.
Tiwi meronta-ronta. Jantungnya jedag jedug karena mengira akan diculik om-om genit. Namun, setelah melihat siapa sang pemilik tangan, Tiwi menghela napas kasar bersamaan dengan maniknya yang berputar malas.
Tiwi berkacak pinggang. "Dee, kamu ngapain, sih?" tanyanya setelah Dee melepaskan bekapannya.
"Udah dibilangin jangan ketemu laki-laki itu lagi!" seru Dee, "ayo, ikut aku! Kita ke tempat lomba marawis." Belum sempat meminta persetujuan dari Tiwi, Dee langsung menarik tangan gadis itu.
"Tapi, kan, aku mau ketemu Dan, Dee. Cinta itu gak bisa ditahan tahu," ujar Tiwi sambil melepaskan cekalan tangan Dee.
"Nggak, nggak bisa. Kita harus pergi dari tempat ini, Tiwi." Kali ini Dee langsung menarik tangan Tiwi walaupun gadis itu menolaknya.
Pada akhirnya, Tiwi mengikuti langkah lebar milik Dee dengan kesal. Buset, ini cewek kakinya galah apa gimana? Lebar amat ngelangkahnya.
Suara riuh mulai masuk ke indra pendengaran kedua gadis itu. Tepuk tangan penonton bersamaan dengan suara petasan, menyambut Tiwi dan Dee. Mereka sampai di tempat perlombaan marawis tepat setelah pembawa acara mempersilakan peserta lomba untuk memulai bermain marawis.
Setelah menikmati penampilan dari kelompok lain, terlihat geng ceriwis mendatangi mereka dengan cibiran yang menyakiti hati. Seperti biasa, geng itu selalu saja membuat Tiwi kesal. Terlebih saat berita perjodohan Tiwi dengan Fadil tersebar di seluruh sudut kampung.
"Si tukang caper datang, nih, Guys!" Seruan itu berasal dari Mifta yang langsung mendapat anggukan dari Uun—sahabatnya, sedangkan Nifla yang paling kalem di geng mereka hanya terdiam mengikuti arah jalan kedua sahabatnya itu.
"Eh, ada orang aneh juga, ya?" Ucapan itu dari Uun yang tengah menyindir Dee.
Tiwi dan Dee masih terdiam. Mereka tidak mau berurusan dengan para gadis kecentilan itu. Lebih baik diam, cari aman dan tidak menjadi pusat perhatian.
"Si Fadil ngapa suka sama cewek sok cantik ini dah, mending sama aku yang cantiknya ngalahin Syahrini," ujar Mifta.
Tiwi dan Dee yang mendengar perkataan Mifta masih terdiam sambil menahan tawa karena Mifta yang selalu saja memuji dirinya sendiri.
"Nih cewek dua budek apa nggak bisa ngomong? Diem-diem bae dari tadi," ujar Mifta lagi. Kali ini ia menarik jilbab yang dipakai oleh Tiwi.
Dengan sigap Tiwi menepis tangan Mifta. "Kamu bisa diem nggak, sih? Nggak usah narik-narik jilbab aku segala," ujar Tiwi sambil memperbaiki jilbabnya.
"Kalo nggak bisa, terus kenapa?"
Mifta kembali menarik jilbab Tiwi, membuat gadis itu tidak sanggup untuk menahan kekesalannya. Karena kesal, Tiwi langsung membalas dan menarik jilbab Mifta.
"Kamu tuh suka banget cari masalah," ujar Tiwi, "santai dong, nggak usah bikin orang kesel."
Mata tajam Mifta menatap Tiwi. "Berani banget kamu narik balik jilbab aku," ujar Mifta ketus.
"Kamu duluan yang narik jilbab aku." Tiwi balas menatap Mifta dengan mata melotot
Namun, Tiwi dibuat kebingungan melihat Mifta dan Uun bertepuk tangan.
"Wah, Un. Ternyata dia berani juga, ya," ujar Mifta.
Nifla yang terkalem di geng ceriwis mulai melerai kedua sahabatnya. Begini nasib kalau punya teman yang suka banget bikin masalah.
"Sudah, ah. Mifta, Uun," lerai Nifla.
"Kalian gila, ya? Cari masalah di tempat rame kayak gini. Nggak malu apa?" Kali ini Dee yang angkat bicara.
"Tau, nih. Nggak bisa santai banget idupnya," sambung Tiwi.
"Ih, nggak bisa dong, Sayang. Kita akan selalu gangguin kalian, terutama kamu, Tiwi! Makanya jangan sok caper, berani ngambil orang yang aku suka!" seru Mifta.
Baru saja Mifta ingin angkat tangan menarik lagi ujung jilbab Tiwi, tetapi untung saja, Nifla dengan cepat membawa kedua sahabatnya menjauh dari Tiwi dan Dee.
"Udah, udah. Malu diliatin orang. Bentar lagi Fadil tampil. Ayo, nonton aja. Nggak usah urus mereka," ucap Nifla sambil menarik tangan Mifta dan Uun yang berontak.
Mendengar nama Fadil, mata Mifta langsung berbinar-binar.
"Ayo, buruan! Kita harus duduk di paling depan." Kini giliran Mifta yang menarik tangan Uun dan Nifla.
"Mereka kenapa selalu cari masalah sama aku, sih? Emang siapa yang suka sama Fadil? Ambil aja sono si Fadil, ambil!" ujar Tiwi setelah Mifta and the genk menghilang ditelan kerumunan.
"Udah, ngak usah dimasukkin ke hati, tahulah mereka emang biasa bikin masalah," ujar Dee.
"Kalian kenapa? Tiwi, kamu kenapa jilbabnya berantakan?" Seseorang berjalan mendekat dengan dua tangan memegang dua gelas plastik berisi cairan warna merah.
Tiwi mengenal suara itu. Suara dari laki-laki yang dijodohkan oleh orang tuanya.
"Loh? Kok kamu di sini, Dil? Bukannya bentar lagi tampil?" Bukan Tiwi, melainkan Dee yang bertanya.
"Ah, iya, habis peserta yang ini memang giliranku. Tapi karena liat Tiwi, aku sempatin ke sini untuk minta semangat." Fadil tersenyum lebar.
Tiwi memutar bola mata. Ngapain juga minta semangat sama aku? Beli aja, sana!
Sebagai respons, Dee mengangguk. Sedangkan Fadil kembali bertanya pada Tiwi karen gadis itu belum menjawab pertanyaannya. "Jilbab kamu kenapa, Wi?"
"Nggak apa-apa dan bukan urusan kamu," jawab Tiwi.
Sudah biasa diabaikan Tiwi, Fadil pun mengangguk. "Syukur deh kalo gitu. Oh iya, ini jus buat kamu," ucap Fadil sambil memberikan salah satu gelas kepada Tiwi, dan satu lagi kepada Dee. "Sebenernya ini buat aku, tapi aku nggak enak kalo nggak kasih kamu."
Dee terpaksa melengkungkan senyum mendengar keterpaksaan Fadil memberinya minuman itu. Namun, Dee tetap mengambil gelas plastik itu.
"Makasih," ucap Dee.
Tiwi melirik gelas plastik itu sebentar, ia memang haus. Terlebih ternyata minuman itu adalah jus semangka, minuman favoritnya. Namun, ia terlalu gengsi untuk menerima minuman itu.
"Ambil aja. Nggak aku racunin, kok. Kamu suka jus semangka, kan?"
Setelah berpikir sebentar, Tiwi pun mengambil jus yang diberikan oleh Fadil dan meminumnya. Fadil bahkan sampai melotot karena belum ada semenit, gelas plastik itu langsung kosong. Padahal, jus di tangan Dee masih ada setengah.
"Nih, terima kasih," ucap Tiwi sambil memberikan kembali gelas yang sudah kosong tersebut ke Fadil. "Buangin ke tempat sampah, ya."
Fadil mengambilnya dengan senang hati. "Siap."
Gila. Disuruh-suruh malah seneng.
"Oh, ya. Nanti nonton aku tampil, kan, Wi? Jangan pulang dulu ya." Fadil masih tersenyum pada Tiwi.
Mendengar ucapan itu, Tiwi hanya mengangguk dan sedikit tersenyum agar Fadil cepat pergi. Malas lebih lama meladeni Fadil yang semakin hari semakin menyebalkan.
"Lihat senyum kamu aja bikin aku tambah suka tahu, Tiwi."
Seperti biasa, gombalan yang dilontarkan oleh Fadil tidak mempan di pendengaran Tiwi. Seakan hanya embusan angin yang tiba-tiba melintas dan hilang.
Beda cerita jika yang berbicara seperti itu adalah Nandana, pasti Tiwi akan merasakan senang. Nandana selalu bisa membuat Tiwi tertawa walau itu hanya dengan hal kecil. Apa pun yang ada dalam diri laki-laki itu, Tiwi akan selalu menyukainya.
Gadis itu tersenyum ketika lintasan peristiwa dirinya bersama Nandana dan itu membuat Fadil merasa jika Tiwi sedang terpana dengan rayuannya.
***
220421
Leviathan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro