Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lev • 1 • Pasca Kecelakaan

Embusan angin menerpa hijab pasmina seorang gadis yang sangat antusias memandangi pemandangan di hadapannya. Ia tersenyum ketika dirinya telah berada di depan pintu masuk rumah sakit. Setelah selama sebulan tidak menikmati angin luar, akhirnya saat ini ia bisa merasakan itu kembali. Pasalnya, satu bulan lalu gadis itu harus dirawat di rumah sakit karena kecelakaan.

Saat sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah kontrakan, sebuah mobil yang melaju di depan motornya oleng setelah melewati jalanan rusak. Hal tersebut otomatis membuat pengendara di belakangnya terkejut dan karena tidak siap, motornya menabrak mobil tersebut, disusul dengan beberapa motor di belakangnya. Sehingga, pecahan kaca dari mobil di depan tidak sengaja masuk ke dalam matanya.

Tabrakan beruntun itu membuat sang gadis harus kehilangan fungsi dari indra penglihatannya dan dirawat selama hampir satu bulan lamanya karena luka-luka yang cukup serius. Beruntung, minggu lalu ada pendonor mata yang membuat gadis itu bisa kembali melihat keindahan dunia.

Namun, setelah akhirnya dua hari lalu operasinya berhasil, si gadis merasakan keanehan pada penglihatannya. Ia jadi sering melihat orang-orang berpindah dengan cepat. Satu detik lalu ia melihat seorang laki-laki berjalan lambat di belakang perawat rumah sakit, tetapi pada detik berikutnya, laki-laki itu menghilang entah ke mana.

"Barangnya udah di bawa semua, kan, Tiwi?" Seorang perempuan paruh baya berwajah cantik menyamakan posisi dengan gadis yang ia panggil Tiwi tadi.

"Sudah, Bu," jawab Tiwi sambil mengangguk.

Ibu dan anak itu kemudian melangkahkan kakinya menuju mobil di area parkir rumah sakit. Selama perjalanan, Tiwi dan ibunya-Sari-tidak banyak mengobrol. Sari tahu sang anak masih belum sehat betul.

"Oh iya, kita ke pasar takjil dulu, ya. Buat buka, soalnya Ibu nggak masak tadi," ujar Sari setelah melirik penunjuk waktu di dashboard mobil

"Iya, Bu" jawab Tiwi.

Setibanya di pasar takjil, Sari memakirkan mobil di tempat parkir terlebih dahulu. Pasar takjil ini sagat ramai. Sudah menjadi budaya orang-orang di Indonesia, mereka akan menunjukkan keantusiasan pada saat awal-awal puasa. Terlebih, hari ini adalah hari pertama puasa.

"Kamu tunggu di sini aja, ya. Biar Ibu yang belanja takjilnya." Sari melepas sabuk pengaman setelah mematikan mesin mobil. Tidak lupa ia membuka jendela di sisi Tiwi.

"Iya, Bu. Tiwi di sini aja. Tiwi juga capek," jawab Tiwi sembari membenarkan posisi kursi agar bisa bersaandar dengan nyaman. Tiwi merasa tubuhnya masih melakukan penyesuaian terhadap mata barunya.

Setelah kepergian sang ibu, Tiwi lalu memainkan ponsel untuk sekadar menyibukan diri. Namun, ketika ia tidak sengaja menengadahkan kepala ke depan, gadis itu melihat seseorang di keramaian. Ia menyipitkan matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa orang itu. Sebenarnya tidak ada yang aneh, orang itu seperti orang pada umumnya. Yang aneh hanyalah, dia tidak bergerak dari posisinya. Di tengah keramaian ia hanya berdiri sambil menatap Tiwi.

Detik berikutnya, orang itu melambaikan tangan pada dirinya, dengan senyum yang sangat manis di bibir. Namun, ketika Tiwi mengedipkan mata, wajah yang tadi ia lihat begitu cantik telah berubah menjadi buruk rupa. Bibir yang tadi tersenyum ke arahnya, kini berubah menjadi kekehan kecil.

Apakah orang lain tidak mendengar kekehan yang sangat menyeramkan ini? Apa tidak ada yang melihat ada seseorang dengan wajah aneh di keramaian sana? Mengapa semua orang bertingkah biasa saja seolah tidak ada apa-apa? Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Gadis itu mulai ketakutan, tubuhnya gemetar, bahkan peluh sudah siap menetes di pelipis. Beberapa kali ia berkedip, bahkan hampir mengucek mata. Namun, ia ingat dokternya pernah berkata untuk tidak menyentuh bagian mata, apalagi mengucek, sampai satu minggu ke depan.

"Tiwi? Kamu kenapa?" tanya Sari begitu masuk ke dalam mobil dan menangkap gelagat aneh anaknya.

Panggilan sang ibu membuat Tiwi menoleh. Ia ingin bertanya pada ibunya perihal apa yang ia lihat, tetapi urung karena setelah kembali melihat ke tempat itu, gadis tadi sudah tidak ada. Tubuh Tiwi masih gemetar. Detak jantungnya pun mulai tidak berkaruan. Lintasan wajah gadis tadi mulai berputar di kepalanya. Ia mulai berpikir, apa gadis barusan itu sebenarnya bukan manusia?

"Ibu!" Tiwi langsung memeluk Sari. Sari hanya bisa menenangkan anak gadisnya, ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Tiwi.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Sari.

"Aku ... aku lihat sesuatu, Bu," ujar Tiwi.

"Lihat apa?"

Satu tangan Tiwi menunjuk ke arah ia melihat gadis buruk rupa tadi. "Lihat ... lihat orang. Tapi ...."

"Sudah, sudah." Sari memotong. "Tidak apa-apa. Ibu belanjanya udah selesai juga, jadi kita pulang sekarang." Setelah mengatakan itu, Sari lalu kembali melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah kontrakan Tiwi. Selama berada di perantauan, Tiwi memang mengontrak sebuah rumah. Ia dan sang ibu lalu keluar dari mobil dengan membawa hasil belanjaan tadi. Tiwi membuka pintu rumah dengan satu tangan memegang tas.

"Nak, besok kita harus balik kampung," ujar Sari. Tiwi melirik Sari dengan tatapan menuntut. Ia masih menunggu kejelasan dari sang ibu. "Bapakmu, menyuruh Ibu untuk bawa kamu pulang, katanya kalau di sini takutnya kamu kenapa-kenapa, jadi kamu besok harus pulang," lanjut Sari.

"Loh, Tiwi, kan, udah nggak kenapa-kenapa lagi, Bu. Tiwi juga udah ngerasa sehat banget, kok."

Pulang kampung bukanlah hal yang ada dalam rencana hidupnya. Iya, Tiwi pasti pulang kampung, tetapi hanya untuk berkunjung. Setiap lebaran Tiwi tidak pernah lupa untuk mudik. Jadi, wajar jika ia menolak permintaan orang tuanya itu. Ia punya rencana lain.

"Enggak boleh, Sayang. Mata kamu baru dioperasi, Ibu dan bapak khawatir. Jadi kamu harus ikut Ibu pulang besok."

"Tiwi udah ngerasa sehat banget, Bu. Tiwi nggak bakal kenapa-kenapa."

"Iya, tapi kamu harus ikut Ibu besok pulang, tidak boleh dibantah lagi."

Mendengar ucapan itu, Tiwi hanya bisa menghela napas berat. Seperti inilah kedua orang tuanya, akan terus memaksa walau dirinya tidak setuju. Namun, bagaimana lagi, di lain sisi ia tahu ini demi kebaikan dirinya juga.

Tiwi lalu berjalan menuju kamar, ia butuh istirahat hari ini karena besok ia akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. Tiba di dalam kamar, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, kemudian mengirimkan sebuah pesan kepada temannya yang berada di kampung untuk mengabari bahwa dirinya akan pulang.

Sudah beberapa bulan memang ia tidak pulang, lantaran tugas akhir kuliah membuatnya tidak sempat untuk pulang kampung. Namun, karena dia sudah lulus, dia bisa pulang kampung tanpa memikirkan kuliah.

Setelah mengabarkan temannya. Tiwi lalu menyimpan kembali ponsel di atas nakas dan langsung merebahkan tubuh di atas kasur empuk yang sudah sebulan ini ia tinggalkan.

***

Malam menjelang, sang ibu mengetuk pintu kamar anaknya karena sudah waktunya makan malam. Hari ini Tiwi memang tidak berpuasa karena baru saja pulih dari sakitnya dan kebetulan sedang kedatangan tamu bulanan.

"Sayang, makan dulu!" teriak Sari di balik pintu.

Tiwi terbangun dari tidurnya ketika merdengar suara sang ibu. Ia pun beranjak dari kasur dan berjalan dengan gontai menuju pintu. Ia lalu membuka dan terlihat seorang wanita paruh baya di sana.

"Kamu makan dulu, selesai itu beresin baju buat dibawa besok, ya," ujar Sari.

Tiwi hanya mengangguk kemudian berjalan mengikuti langkah Sari menuju dapur.

"Ibu udah buka puasa?" tanya Tiwi.

Sari mengangguk. "Iya udah, itu takjilnya Ibu simpan di sana," ujar Sari sambil menunjuk ke arah meja dapur. "Teman kamu di kampung, pas dengar kamu kecelakaan setiap hari nanyain kamu terus, Nak. Dia keliatan khawatir banget apa lagi pas tau kamu harus operasi mata," ucap Sari karena teringat dengan Fatimah, teman dekat anaknya di kampung.

Fatimah adalah sahabatnya yang berada di kampung. Gadis itu setiap hari selalu bertanya bagaimana keadaan dirinya. Fatimah dan Tiwi bersahabat sejak mereka kecil sampai sekarang. Gadis itu bahkan ingin menjenguk Tiwi saat dirawat di rumah sakit, tetapi Sari mengatakan bahwa Tiwi akan pulang, jadi ia tidak perlu ke sana.

"Iya, Bu. Si Fatimah juga beberapa kali telepon aku, nada suaranya khawatir banget."

Setelah Tiwi berkata demikian, sang ibu tidak menjawab lagi. Sehingga keheningan yang kini menyelimuti mereka berdua.

"Udah selesai makannya?" tanya Sari beberapa saat kemudian.

"Udah, Bu," jawab Tiwi.

"Ya udah, kalau gitu kamu beresin baju buat dibawa besok."

Tiwi lalu berjalan menuju kamarnya untuk membereskan barang-barang yang harus ia bawa ke kampung.

***

130421
Leviathan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro