Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tiga perempat ketidakyakinan

Setelah perkara kemacetan dan mereka berhasil masuk TV, kini keduanya melanjutkan sesi pengangkatan harga diri masing-masing. Haekal menceritakan pekerjaannya walau Erza tak merespons, begitu juga Erza yang berkali-kali mengeluhkan kesibukannya dan hanya mendapatkan dehaman oleh Haekal.

"Apaan lo ngintip-ngintip!"

"Loh, elo-nya yang ngasih."

"Haish!" Erza segera memutar badan seraya mematikan layar HP bermerek X yang sudah ternodai oleh mata nakal Haekal. Dia panik satu perempat mati. Bukan karena apa yang dibukanya, tapi takut ketahuan menggunakan HP bermerk ....

"Eksekutif muda ternyata pake merek X juga, ya?" Haekal tertawa meremehkan.

"Ini HP kerja! Yang merk apel masih di ...." Tiba-tiba HP haekal berbunyi. Erza setengah kesal karena gagal berdalih di depan Haekal, setengahnya lagi bersyukur karena yang menelepon adalah Rudi, teman satu indekosnya. Muncullah sebuah ide cemerlang dari otak Erza kali ini. "Halo, dengan saya sendiri."

"Eh, Panuking! Gue lagi di depan kamar kos lo, lo di mana?"

"Oh, iya, masalah anunya itu sudah beres? Oke, oke. Kalau begitu kamu tinggal urus yang satu lagi. Iya, nanti tinggal hubungi saya."

"Apaan, sih? Gue mau nagih utang, Woy! Katanya lo mau balikin hari Selasa? Ini udah hari ...."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Terima kasih, ya, Pak Rudi." Tanpa peduli ucapan Rudi, Erza segera menutup teleponnya.

Sementara itu, Haekal ternyata sama sekali tak peduli dengan obrolan telepon Erza dan malah terfokus pada seorang wanita yang tengah duduk manis di terminal bus. Letaknya cukup jauh, tapi mata buaya Haekal sudah mampu mengidentifikasinya. Ada yang menonjol dari penampilan gadis itu, yakni rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Itu mengingatkan Haekal terhadap salah satu kasih tak sampai yang paling diingatnya semasa sekolah.

"Bang, kita bakal turun di terminal ini, kan?" Teriakan Haekal yang terdengar panik itu membuat seisi bus menoleh padanya. Namun, dia sama sekali tak terusik dengan itu. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah perempuan cantik di terminal.

"Ya ...."

Lega mendengar jawaban dari sopir bus, Haekal menampilkan senyuman cerah di bibirnya. Tiba-tiba saja wajah Della terbayang di benaknya. Kibasan rambut Della selalu berhasil membuat Haekal sesak napas seketika, belum lagi lekukan tubuhnya yang tampak cocok memakai pakaian apa saja. Keindahan Della terlalu sulit dilupakan, tapi sekarang Haekal yakin bisa melakukannya. Perempuan di terminal itu ... Haekal melihat masa depannya di sana!

Setelah turun dari bus, Haekal berniat menghampiri perempuan yang dilihatnya tadi. Dia tak peduli dengan keluhan Erza maupun penumpang lain yang menjadi korban ketidaksabarannya saat keluar dari bus. Haekal ingin menemukan masa depannya sekarang juga!

Sayangnya, perempuan itu tak lagi ada di tempat yang tadi dilihat Haekal. Gue selalu kurang cepet! umpatnya. Semasa remaja sampai sekarang, yang menjadi alasan para cewek menolaknya memang itu-itu saja. Kalau bukan karena ingin fokus belajar atau fokus bekerja, pasti karena si cewek sudah punya pacar. Dari sanalah Haekal merasa bahwa dirinya kurang cepat. Padahal, andai saja Haekal bisa mengintrospeksi diri, seharusnya dia tahu apa alasan yang sebenarnya.

"Heh, lo nyariin apa, sih? Kayak orang dikejar mantan aja! Hampers di tas gue hampir penyok gara-gara lo!" omel Erza yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Haekal.

Haekal yang tak mau ketahuan menjadi sad boy, mendapatkan ide cemerlang untuk memanipulasi kebodohan yang dilakukannya barusan. "Ini, pacar gue nelpon. Minta VC katanya kangen." Dia mengeluarkan HP dengan housing silver bergambar apel yang susah payah dicicilnya dua tahun belakangan. Sejenak dia berbangga diri karena memiliki HP yang lebih berkelas dibanding milik Erza—walau sebenarnya Haekal membeli HP bekas.

"Serah." Erza berlalu pergi dengan niat membeli banyak makanan agar bisa dipamerkan pada Haekal sesegera mungkin. Dia sungguh tidak terima dengan kekalahannya tadi. Bisa jatuh harga dirinya sebagai calon Crazy Rich Kampung Panura tahun ini.

Sementara itu, Haekal mendapati seorang perempuan cantik duduk di sebelahnya. Dengan sekali pandang saja, Haekal sudah terpikat dengan paras nan ayu itu. Saat mata mereka berpadu, Haekal tak lagi mampu menahan gejolak di dadanya. "Halo, Mas," sapa perempuan itu, "kenalin, saya Amanda."

"Ya ... eh, saya ... Ha—Haekal."

"Mas ... ganteng, deh." Mendengar itu, tiba-tiba kepala Haekal terasa berputar-putar. Pandangannya tak bisa luput dari perempuan bernama Amanda yang kini memamerkan senyum manisnya itu.

"Mau berapa?"

"Masnya ada berapa?"

Haekal mengeluarkan semua isi uang kertas di dompetnya dan menyerahkan semuanya pada Amanda. "Eh, Neng ... eh, Amanda ...."

"Makasih, ya, Mas," ujar Amanda seraya berlalu pergi.

Sesaat kemudian, Erza kembali dengan barang belanjaan yang telah menguras seisi sakunya tadi. Uang yang dibawanya ke kampung memang hanya cukup untuk dirinya sendiri, tapi kini yang lebih penting adalah harga dirinya di depan Haekal. Biar dipikirkan nanti saja apa alibi yang akan digunakannya untuk menutupi hal ini di depan orang tuanya.

Erza mendapati Haekal yang pandangannya lurus ke depan dengan bibir setengah menganga. Dompet bermotif huruf L dan V itu masih terbuka lebar di pangkuannya. Saat itu, Erza menyadari sesuatu yang tidak beres dan segera menepuk bahu Haekal. "Woy!"

"Heh, lo ngambil duit gue?" Haekal yang tampak baru sadar dari lamunan aneh, kini malah memelototi Erza dengan tatapan penuh selidik.

"Lo dihipnotis, Goblin! Haish, liat cewek cakep dikit aja kena lo. Emang dasarnya sad boy sih, susah." Erza memangku semua barang belanjaan, berharap Haekal melihatnya. "Duh, gue masih kurang banyak nih belanjanya. Kebanyakan duit di dompet, ribet ...."

Ingin sekali Haekal menyumpal mulut Erza dengan struk-struk belanja yang tersisa di dompetnya agar cowok bertubuh gempal itu bisa diam sejenak. Padahal Erza sendiri yang memberi tahu Haekal bahwa dirinya sedang dihipnotis, tapi tidak sedikit pun ada rasa simpati yang dia tunjukkan untuk itu.

*****

Haekal dan Erza baru saja selesai beribadah saat orang tua mereka menelepon hampir bersamaan. Keduanya menjawab telepon dengan percaya diri dan berlomba-lomba untuk mengaktifkan video call. Keluarga mereka sedang bersiap untuk berbuka puasa. Erza yang sudah menyiapkan banyak makanan bisa dengan bangga menunjukkan semua stok makanan yang dibelinya tadi. Sementara itu, Haekal berusaha keras mengubah topik pembicaraan karena uangnya sudah habis.

"Eh, Eja lagi sama Ikal juga, nih. Kasihan, loh, dia. Habis dihipnotis, uangnya habis ...." Erza mengarahkan kamera ke arah Haekal yang sebenarnya dari tadi berusaha menyembunyikan keberadaan Erza dari orang tuanya. "Nanti Eja ajak dia buka bareng aja, mumpung duit Eja masih banyak."

"Eh, nggak usah," sergah Haekal secepat mungkin. Namun, ekspresi orang tuanya keburu berubah karena mendengar ucapan Erza. Lagi-lagi gue kurang cepet!

"Kamu kehipnotis? Kok bisa, Nak? Gimana ceritanya? Berapa uang? Aduh ...."

"Nggak, nggak, Mak. Bukan hipnotis, itu tadi ada perempuan yang nggak punya biaya buat bayar bus, jadi Ikal kasih dia uang. Yah, itung-itung sedekah."

"Oh, gitu. Masya Allah ... mulia sekali kamu, Ikal."

Setelah keduanya berhasil saling membanggakan diri lewat video call, Haekal kembali dilanda rasa bingung. Dia sangat lapar, tapi uangnya sudah habis. Mustahil meminjam uang pada Erza karena bisa menjatuhkan harga dirinya.

"Kal, lo beneran nggak mau buka bareng gue?" Erza memasang tampang bangga yang membuat Haekal ingin memasukkannya ke dalam plastik dan dijadikan takjil.

"Nggak."

"Yakin? Makanan gue banyak."

"Nggak."

"Kal, kalau bukan bulan Ramadan, gue juga nggak sudi buka bareng lo. Tapi ayolah, gengsinya besok aja."

Kali ini setengah diri Haekal ingin menerima, tetapi setengahnya lagi masih berusaha mempertahankan harga diri.

"Kalau lo nggak mau dicap 'minta', besok gue buka di rumah lo. Biar impas. Gimana?"

Tiga perempat dari Haekal hampir menerima.

"Masih nggak mau? Ya udah, bukan salah gue kalau nanti lo kelapar ...."

"Iya gue mau!" seru Haekal.

Gimana puasa ketiganya?
Lancar? Selancar jalan tol karena pemerintah melarang mudik?

Mudik bareng Klan Belphegor aja deh gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro