Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sepuluh

Haekal dan Erza berlari ke arah yang berbeda saat mereka dipergoki Pak Lurah. Namun, keduanya malah sama-sama berhenti di belakang masjid, tempat anak-anak bermain petasan. Erza sempat menyadari keberadaan Haekal di sana, tetapi enggan menyapa karena masih merasa gengsi dengan kejadian barusan.

Kini, Erza merutuki dirinya sendiri karena memilih untuk kabur dan bukan mencari perhatian di depan Pak Lurah. Bukankah itu kesempatan yang luar biasa? Siapa tahu, Erza bisa mendapatkan Dhea sekaligus menjadi penerus Lurah berikutnya. Sambil menyelam minum air!

"Lo di sini juga ternyata." Sial! Ingin sekali Erza baku hantam dengan manusia yang satu itu. Mengapa Haekal malah mendekat, sih?

"Lo ngikutin gue?!" tuduh Erza.

Haekal menggeleng. "Tempat ini yang bawa gue ke sini," ujarnya sambil tersenyum. Suara canda tawa anak-anak yang bermain petasan mendominasi pendengaran mereka. Haekal menarik napas dalam-dalam seolah sedang berada di hawa pegunungan. Dia sangat menikmati momen ini. "Enak, ya, jadi anak kecil."

"Iya, bisa ketawa kayak nggak punya masalah," sahut Erza.

"Bisa bahagia cuma dengan main petasan ...."

"Bisa dikasih minta duit pas lebaran ...."

"Bisa dielus-elus sama Dhea ...."

"Hah? Dhea?" Seketika Erza memelotot, meminta penjelasan pada Haekal yang pandangannya tak berpindah sedikit pun. Rupanya ada Dhea di sana. Pantas saja dari tadi Haekal senyum-senyum sendiri. "Dhea!" teriak Erza. Dia tak mau kehilangan kesempatan lagi. Kali ini, Haekal harus melihat betapa kerennya calon Crazy Rich Kampung Panura!

Seolah memang keberuntungannya, Dhea tersenyum sambil melambaikan tangannya pada duo bujang mengenaskan itu. "Lo nggak usah ikut dada-dada! Dia anuin gue!" Erza memukul bahu Haekal, tidak terima dia ikut-ikutan membalas lambaian tangan Dhea.

"Sini!" seru Dhea.

"Aku?" Erza dan Haekal menunjuk diri mereka masing-masing.

Dari kejauhan, Dhea mengangguk dan memberi kode bahwa dia memanggil mereka berdua. Baru saja Erza senang karena Dhea bersikap ramah, ternyata Haekal juga mendapatkannya. Menyebalkan.

Haekal berjalan dengan bangga bak model yang menyusuri red carpet. Kepalanya setengah mendongak, sengaja memamerkan bentuk rahangnya yang sebenarnya biasa saja. Dengan mata yang disipit-sipitkan dan bibir yang dibuat seseksi mungkin, Haekal berharap wajahnya tampak mirip artis terkenal. Minimal Rhoma Irama.

Di sisi lain, Erza yang sebenarnya kurang bersemangat tidak mau membiarkan gengsinya runtuh. Dia sengaja memasang wajah datar dengan mata setengah memicing agar terlihat keren dan berkelas. Minggir lo semua, Raja terakhir mau lewat!

"Bang Eja, Bang Ikal, pegangin dong!" pinta seorang anak yang rambutnya seperti sudah seabad tak dicukur.

"Ogah, pegang sendiri, lah!" sahut Erza.

"Kata Kak Dhea, pegang mercon itu bahaya."

Mendengar itu, Erza langsung menoleh pada Dhea yang mengangguk sambil tersenyum.

Ya Allah, adem banget liat yang beginian.

"Ya udah sini—"

"Eits, Ja, mercon itu nggak boleh dipegang! Bahaya!" seru Haekal seraya menyambit mercon dari tangan si anak kecil. "Nah, gimana kalau kita jepit di batu itu?" Haekal menunjuk tumpukan batu di dekat pagar.

"Boleh!"

Erza mengomel dalam hati. Untuk kesekian kalinya dia merasa dikalahkan oleh Haekal. Sepertinya dia benar-benar tidak beruntung hari ini. Andai saja keberuntungan bisa dibeli, Erza rela menggadai semua yang dimilikinya demi memborong keberuntungan sebanyak mungkin. Sayangnya, tidak ada yang tahu seberapa porsi keberuntungan yang kita punya dan seberapa banyak kita telah menghabiskannya.

Melihat anak-anak yang bersorak gembira mengiringi bunyi petasan, Haekal dan Erza merasa kembali ke masa kecilnya. Walau sejak saat itu mereka memang sudah menjadi rival, tetapi mereka tetap tertawa bersama saat bermain petasan. Haekal mengingat betapa Erza panik saat tangannya hampir terkena petasan. Juga betapa sedihnya Haekal saat tahu bahwa Erza sedang sakit sehingga tidak bisa bermain bersamanya. Erza yang sedang mengingat hal yang sama, mendadak ingin kembali masuk ke perut ibunya karena malu.

"Hiiiih!" Erza menggetar-getarkan tubuhnya tiba-tiba.

"Kenapa lo? Kesurupan?"

"Nggak usah deket-deket!"

"Dih, gue cuma nanya!"

"Shh! Tolong jangan berantem di sini, nggak enak diliat anak-anak," bisik Dhea lembut.

"Iya, Dhea," jawab mereka sambil cengar-cengir.

****

"Rud, harus banget lo nelponin gue begini tiap hari, hah? Udah kayak rentenir aja."

"Za, masalahnya gue juga perlu duit. Minimal pastiin kapan lo bisa balikinnya ...."

"Kan gue udah bilang Selasa. Nggak sabaran banget, sih? Nanti kuburan lo sempit baru tau rasa!"

"Gue dikremasi!"

Erza menggigit bibir, dia lupa kalau si Rudi berbeda dengannya. "Ya sama aja. Kalau pelit, nanti bisa aja api lo kurang panas! Atau ... abu lo berterbangan ke mana-mana, nggak bisa dikumpulin, terus nggak bisa di—"

"Terserah. Yang jelas, gue mau duit gue balik. Titik."

"Yee, koko satu ini pelit amat!"

"Kalau gue pelit nggak bakal gue izinin lo minjem, Panuking!"

"Ya udah, sih, tunggu aja elah. Pasti gue balikin. Oke? Oke. Sip. Semoga Rudi dan keluarga sehat selalu, Aamin." Sebelum Rudi mengomel lagi, Erza segera menutup telepon dan mematikan HP-nya. Erza benar-benar tertekan karena harus menanggapi Rudi, tetapi dia menyadari bahwa Rudi mengalami tekanan yang lebih berat karena uangnya dipinjam. Maaf, Rud, kalau ada duit, pasti gue balikin kok.

****

"Jadi, kapan kawin?"

Entah ini kali keberapa ibunya menanyakan hal itu. Haekal hanya bisa menghela napas tiap mendengarnya. "Ikal pasti kawin, Bu."

"Iya, tapi kapan?"

"Sabar, Bu. Pacarnya Mas Haekal 'kan orang terkenal, pasti mau fokus karier dulu. Nanti kalau udah saatnya, pasti mereka nikah, kok," sahut Adinda. Untunglah adiknya itu masih percaya bahwa Haekal berpacaran dengan seorang artis.

"Eh ... iya juga, sih. Tapi minimal kenalin sama Ibu dulu, Kal. Lumayan buat Ibu pamerin kalau ketemu sama ibu-ibu kampung ...."

"Bener tuh, Mas! Aku juga mau pamerin ke temen-temen kalau aku punya calon kakak ipar artis terkenal ...."

"Bu, Dek, Ikal mau istirahat dulu, ya? Besok kita ngobrol lagi. Ibu jangan nonton Ikatan Tinta mulu, tidur. Besok 'kan harus masak buat sahur. Lagian, tinta mana bisa diikat."

"Nah, bener tuh Bu!" imbuh Adinda.

"Kamu juga, Dinda. Jangan nontonin opah-opah terus. Tidur! Bantu Ibu besok pagi."

"I—iya, Mas ...."

"Dah, Ikal mau tidur." Haekal beranjak pergi ke kamarnya dan segera merebahkan tubuh di kasur. Entah apa yang terjadi hari ini. Melihat anak-anak bermain petasan membuatnya berpikir. Mereka begitu polos, tertawa dengan ringan tanpa memikirkan gengsi ataupun status sosial. Tidak seperti dirinya. Entah sampai kapan dia akan menjalani hari-hari dengan kepalsuan. Ini adalah kampungnya, rumahnya, tempatnya pulang. Mengapa justru dia berusaha menjadi orang lain di sini?

Haekal mengembuskan napas kasar, lalu berbaring dan menatap tembok kamarnya yang dipenuhi poster band itu.

Sekarang mungkin gue bohong, tapi suatu hari, gue bakal bikin semua kebohongan itu jadi kenyataan.Go Haekal Go! Lupakan Della, dapatkan Dhea!

Haekal ternyata sedang galau kawand!!
Sudah 10 hari puasa nih!!
Gimana puasanya? Lancar?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro