lima belas
Saat Haekal berada di rumah, tepat sebelum tidur ia melamunkan tentang kebohongannya. Ia khawatir akan mengacewakan hati keluarganya. Apa yang sudah dimulai harus diakhiri dengan baik, ujarnya dalam hati. Bagaimanapun ia tidak boleh mengecewakan hati adik dan ibunya, itu tandanya ia harus memikirkan cara agar bisa mendapatkan Dhea dan menyingkirkan semua saingannya.
Sementara itu, dalam kamarnya Erza mendengarkan musik yang menjadi favoritnya. Musik populer masa tahun 2000-an mengalun pas melalui speaker ponselnya. Ia memejamkan mata menikmatinya seraya menyelam pada masa lalu. Masa di mana ia tidak perlu memakai topeng yang sebenarnya sangat membuatnya tersiksa. Saat ia tengah menikmati lagu itu, tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk. Erza sedikit menengok, nama Rudi terpatri di sana. Erza mengembuskan napasnya kasar, ia masih belum punya cukup uang untuk melunasi hutangnya. Jadilah ia tidak mengangkat panggilan Rudi itu.
Dering pertama ia biarkan begitu saja. Lalu beberapa saat ketika tidak ada jawaban, kembali ponsel Erza berdering. Hal yang sama terjadi sampai hampir lebih dari sembilan kali. Sampai akhirnya ia matikan ponselnya lalu berbaring. Ia merenung dan merasa bersalah kepada Rudi, bagaimana tidak, Erza telah banyak ingkar janji untuk melunasi semua utangnya. Ia juga merasa tidak enak. Ia akan berjanji kepada dirinya sendiri jika ada uang, Erza akan langsung melunasi sekalian minta maaf kepada Rudi.
Siang sangat terik hari itu, mungkin matahari sedang semangat-semangatnya bersinar, tidak memedulikan para manusia yang sedang haus karena berpuasa. Atau bola raksasa itu sedang menguji para manusia tentang siapa yang bisa bertahan atau tidak sampai adzan magrib tiba.
Di siang yang terik itu, Haekal masih setia tidak meninggalkan kamarnya. Karena cuaca yang terik membuatnya sangat malas untuk beraktifitas lain. Tidak ada yang ia kerjakan selain melamun dan mengkhayal tentang masa depan yang indah. Ia menjadi kaya, memiliki istri yang cantik dan anak kembar yang tembam, berangkat kerja menaiki mobil dengan sopir pribadi, mengenakan setalan yang rapi. Sangat indah jika dibayangkan.
"Kal ...!” seru Arum, “Sini bantu-bantu. Jangan cuma tidur aja.”
“Iya ... OTW,” balas Haekal dengan nada malas.
Tak kunjung ia bangkit dari tempat tidurnya. Sampai Arum membuka pintu dan menyeret anak pemalas itu untuk bangun. “Ayo cepetan bangun. Jangan jadi pemalas, nggak baik bakal calon suami artis malas-malasan. Kalau malas acara infotaiment nggak bakal mau ngeliput kamu.”
“Sekarang yang sedang booming, menggrebek kamar artis yang lagi tidur, Bu. Jadi pas tidur itu digrebek sama media, semacam kejutan gitu,” jelas Haekal. Arum terlihat antusias.
“Sekarang bangun siang jadi trend, ya, dikalangan artis?”
“Iya, Bu. Tapi nggak semua.”
“Ya sudah. Berhubung kamu sudah bangun, sekarang kamu bantu Ibu jemur pakaian di luar. Mumpung terik. Nggak usah banyak alasan!” Arum lalu beranjak dari kamar Haekal.
Haekal menjemur pakaian di depan rumahnya, cuaca sangat terik membuat Haekal sesekali mencuci mukanya. Biar tidak terlalu gerah pikirnya. Di tengah aktifitas menjemur pakaian tak sengaja pandangannya menangkap sosok Dhea, ia terlihat membawa banyak barang belanjaan yang ditentengnya dengan kresek hitam.
“Dhea ...,” sapa Haekal.
“Eh, Haekal. Rajin banget siang-siang jemur baju.” Dhea sejenak berhenti. Menaruh belanjaan yang sepertinya berat.
“Hehe, iya Dhe. Bantuin ibu,” kata Haekal. Ia sedikit salting. “Kamu mau ke mana, Dhea?”
“Ini baru beli bahan buat masak biji salak untuk takjil anak yatim nanti," jawabnya. Barang belajaan itu nampaknya cukup berat dibawa oleh Dhea sendiri. Dengan cepat Haekal menawarkan batuan kepada Dhea.
“Dhea, aku bantu kamu bawa barang belanjaan itu, ya.”
“Nggak usah, Kal. Ini nggak terlalu berat kok, aku bisa sendiri. Lagian rumahku nggak terlalu jauh juga.”
“Jangan sungkan-sungkan, aku ikhlas kok bantu kamu, Dhe.”
“Ya sudah kalau kamu maksa.”
Secepat kilat Haekal langsung menuntaskan semua pekerjaannya. Semua pakaian sudah dijemur rapi di halaman rumah yang cukup terik. “Sini Dhe, aku aja yang bawa semuanya.”
Dua kantong keresek itu lumayan berat, isinya ada berbagai macam bahan untuk memuat biji salak dan ada juga bahan lain untuk varian menu buka puasa.
Jarak antara rumah Haekal dan rumah Dhea adalah sekitar empat ratus meter. Tidak terlalu jauh, namun karena cuacanya yang terik membuat semuanya mejadi berat. Namun apapun asal di dekat Dhea semua bisa Haekal lakukan. Ia terlihat sumringah.
“Terima kasih, ya, Kal. Kamu baik sudah bantu aku.”
“Bukan apa-apa, kok.” Sungguh hati Haekal bahagia saat tidak ada Erza yang mengganggunya saat ini.
“Kalau kamu nanti sore nggak sibuk. Aku mau ajak kamu bagi-bagi takjil untuk anak yatim-piatu nanti sore. Itu kalau kamu nggak sibuk.”
“Iya, Dhe aku mau,” jawab Haekal antusias.
Saat sore tiba Erza berjalan-jalan keliling desa hanya sekadar mengabiskan waktu menunggu berbuka. Dengan menaiki motor milik bapaknya ia melaju santai menikmati sore yang cerah dan jika beruntung bisa bertemu Dhea. Ia melewati jalan desa yang kiri-kanannya adalah sawah, matahari diujung cakrawala perlahan mulai turun dari singgasananya, cuaca tidak sepanas tadi siang.
Banyak para pemuda desa yang juga berjalan-jalan.
Santai Erza mengendarai motornya, pandangannya sibuk melihat situasi di kanan-kiri, melihat semburat jingga yang indah. Saat ia hendak melewati masjid, terlihat dari kejauhan banyak anak kecil. Tidak seperti biasannya, ujar Erza membatin.
Karena penasaran Erza berhenti dan hendak bertanya pada salah satu anak yang ada di sana. Anak itu juga sedang membawa gelas plastik berisi takjil yang menggiyurkan. “Ada acara apa di masjid, Dik?” tanya Erza.
“Ada acara bagi takjil untuk anak yatim, Mas. Enak loh ini, takjil biji salak.” Anak berbaju koko itu memamerkan takjilnya kepada Erza.
Erza menelan ludahnya. Takjil biji salak itu sangat menggiyurkan, apalagi jika dimakan sebagai kudapan pertama saat berbuka.
Erza memikirkan cara agar ia juga bisa dapat takjil itu secara gratis. Celingukan ia memantau keadaan sekitar, barang kali ada orang baik hati yang bersedia cuma-cuma memberinya takjil itu. Saat matanya mengawasi sekeliling ia melihat Dhea sendang berada di antara takmir masjid yang membagikan takjil. Dhea mengenakan jilbab dan sesekali tersenyum kepada anak yatim itu.
Sungguh wanita idaman, batinya seraya melamun.
Erza memikirkan cara agar bisa dekat dengan Dhea dan syukur-syukur mendapat takjil biji salak juga. Rancananya ia akan datang dengan gagah berani lalu menawarkan bantuan kepada Dhea untuk ikut membantu menertibkan anak-anak yang terlihat rebutan itu.
“Saatnya beraksi,” ucap Erza seraya menyisir rambut dengan tangannya.
Erza berjalan perlahan menuju serambi masjid, seraya sesekali ia memperingatkan anak-anak itu agar tidak berlarian.
"Ayo anak-anak baris yang rapi. Semua pasti kebagian, kok," ujar Erza kepada anak-anak itu. Dhea seketika melihat Erza, lalu tersenyum.
Yes Dhea ngelihat aku, batin Erza girang. Namun tanpa Erza sadari Haekal muncul dari belakang. Ia memegang kardus berisi banyak gelas plastik berisi takjil biji salak.
"Orang ini lagi," ujar Haekal geram.
"Dia lagi, dia lagi," gerutu Erza.
Lalu tanpa diduga-duga ada sosok alami yang menjadi musuh mereka berdua. "Maaf, Dhe, aku terlambat," kata Pras yang terlihat sok keren di mata Haekal dan Erza padahal Pras terlihat keren di mata semua orang.
"Eh, Pras. Iya nggak apa-apa," jawab Dhea seraya tersenyum.
Hati Haekal dan Erza terasa panas ketika Pras datang. Mereka berdua kalah telak oleh pesona Pras, bahkan anak-anak yatim itu mendadak luluh dan patuh kepadanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro