enam barisan
"Heh, lo, sini deh deket gue. Ada yang mau gue omongin," ucap Erza cukup kencang saat di tempat wudhu di masjid di mana mereka akan salat jumat.
Dengan malas Haekal menuruti ucapan Erza. "Apaan sih, lo."
"Gue mau omongin soal kesepakatan. Ya bukan gimana-gimana, kasian gue kalau sampe keluarga lo tahu anaknya aslinya kaya gimana." Tampang Erza saat mengatakan hal ini membuat Haekal ingin melayangkan bogem sebagai hadiah, bagaimana tidak, muka kelewat songong ia tampilkan di wajahnya yang pas-pasan. Rasanya batin Haekal berteriak.
Bisa mundur dikit nggak songong lo? Kelewatan soalnya.
"Halah, bilang aja lo takut kalau ketauan ngibul," ucap Haekal dan masuk meninggalkan Erza di tempat wudhu. Erza yang mendengarnya terdiam.
Apa Haekal tahu semuanya? Sialan. Kalau sampai tahu bisa abis gue.
Selesai salat jumat Haekal dan Erza pulang bersama, lebih tepatnya Erza sengaja tetap menempel pada Haekal untuk bisa diajak kerja sama.
Namun, Haekal justru memikirkan hal lain. Ia teringat ceramah yang tadi disampaikan. Isi ceramah tersebut tentang salat tahajud. Haekal ingin rajin salat tahajud, ia ingin doanya dikabulkan, meski tidak langsung terjadi, siapa tahu bisa dipertimbangkan untuk diwujudkan.
Tak sengaja, saat di jalan. Mata Haekal menatap sosok wanita cantik berpakaian bunga-bunga sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Di tangannya ia membawa kresek hitam besar berisi sayuran segar.
"Ehh ... Ada Dhea. Mau ke mana panas-panas begini?" tanya Haekal dengan wajah yang diganteng-gantengkan. Sementara Erza menahan tawa.
"Eh, ada Erza, denger-dengar sekarang udah sukses ya di kota," ucap Dhea--kembang desa kampung Panuran-- menatap Erza dengan tatapan genitnya. Ia tak menjawab sapaan Haekal, baginya Erza lebih menarik karena lebih kaya.
Erza menjawab dengan wajah yang sok ganteng. "Alhamdulillah. Yaaa bisa dibilang begitu."
Bibir Haekal mendecak kesal. Yang menyapa dirinya kenapa Erza yang direspons.
"Dhea makan cantik aja," puji Haekal berharap kali ini ia mendapat respons.
"Ah, Haekal, bisa aja. Tapi hati-hati lo, nanti saya hipnotis," ujar Dhea dengan menahan tawanya, pun dengan Erza.
Sialan, pasti kerjaan ibunya Erza, nih. Sebar gosip sembarangan.
"Ya sudah, Mas. Saya mau pulang dulu," ucapnya dibuat-buat agar terdengar lembut.
"Yah, kasian. Siapa yang nyapa siapa yang di sapa, mana diejek pula," ejek Erza merasa lebih unggul.
"Liat aja nanti, siapa yang bisa dapetin dia." Haekal yakin, jika ia rajin salat tahajud, ia bisa mengambil hati Dhea.
"Yang cantik anak Pak Lurah, pantasnya sama gue. Pemuda tampan yang sukses. Lagi pula, bukannya lo punya pacar. Yang artis-artis itu," ucap Erza masih belum puas mengejek Haekal.
Sialan. Senjata makan tuan.
Dengan kesal Haekal memilih berjalan lebih cepat dan meninggalkan Erza. Ia muak dengan Erza yang penuh kesombongan yang sebenarnya adalah kebohongan agar dibilang sukses. Ia tak yakin, hal itu ia curigai dari merk hp milik Erza.
"Kasian banget si, Kal. Udah jomlo, korban hipnotis, sekarang ditolak kembang desa. Emang nasip lo jelek, Kal," gumam Erza saat melihat Haekal menjauh darinya.
****
Perdebatan sengit masih terjadi antara Gemblong dan Kue Lapis. Kali ini mereka meributkan tentang merk handphone kakak-kakaknya.
"Dih, katanya sukses, hpnya kok merk X."
"Heh. Ini tuh HP kantor, buat kerja. HP pribadi mah yang belakangnya ada gambar apel digigit."
"Bohong enggak tuh? Jangan-jangan kesuksesan Mas kamu juga bohong," ejek Adinda--si kue lapis.
"Enggaklah, buktinya pulang bawa banyak oleh-oleh. Masmu bawa apa? Bukannya korban hipnotis gara-gara cewek cakep?" ejek Riana tak mau kalah.
"Namanya juga cowok, liat cantik dikit ya dideketin. Masku setidaknya pacarnya artis, lah Masmu, punya pacar?"
"Emang ada buktinya? Kalau cuma foto bareng belum tentu pacaran. Fans ketemu idolanya juga minta foto." Tawa Riana membuat Adinda marah, tetapi hal itu tak berlangsung lama.
HP yang Riana pegang berbunyi membuat keduanya berhenti berdebat. Saat ini ia membawa HP Erza secara diam-diam yang ditinggalkan di rumah karena masnya salat jumat. Tertera nama Rudi di sana.
"Halo, ini siapa?"
"Ini HP-nya Erza, 'kan?"
"Iya, ini adeknya. Ini siapa? Karyawannya ya," ucap Riana dengan tampang mengejek pada Adinda.
"Karyawan apaan, bilangin sama kakak lo itu, suruh ...."
Belum sempat mendengar seluruh ucapan Rudi, ada seseorang yang mengambil hpnya.
"Lain kali bilang dulu. Jangan sembarangan dibawa, kalau sampai orang kantor telepon gimana?" ucap Erza memarahi Riana.
Sementara Adinda sudah pergi, ia tak mau mencampuri urusan kakak adik itu. Karena mungkin masalah juga sedang menghampirinya, ia melihat kakaknya sudah pulang. Ia harus mengembalikan HP kakaknya sebelum ketauan bahwa ia membawanya.
****
"Bu, anak Pak Lurah itu udah punya pacar atau masih lajang?" tanya Erza saat sedang bersantai di depan rumahnya. Suaranya sengaja ia buat keras, agar bisa terdengar sampai ke telinga Haekal yang juga sedang berada di teras bersama adik dan ibunya.
"Kenapa? Kamu suka? Cocok itu sama kamu. Dia cantik kamu ganteng," puji Dewi.
"Kal, itu pacarmu kapan dikenalkan ke ibu. Kalau perlu bawa ke sini. Biar warga kampung percaya. Haekal anak Pak Herman punya pacar seorang artis terkenal," ucap Arum keras agar tetangganya yang sombong itu mendengar.
"Percuma punya pacar artis kalau kerja aja gajinya pas-pasan. Mau dikasih makan apa nanti, apa jangan-jangan yang menafkahi istrinya." Setelah mengucapkan itu Dewi tersenyum lebar.
Wajah Arum sudah memerah menahan amarah, kepalanya mengepul mengeluarkan asap. Sementara Haekal mengelus dada. Bakal ada perang dunia.
"Bu, sudah. Enggak baik berantem sama tetangga. Sesama anaknya kerja di perantauan harusnya saling mendukung." Erza berucap seperti itu karena sadar, kalau sampai ia ketahuan bakal digantung dengan tali jemuran.
"Bener kata Erza, Bu. Lagian sukses atau belum kan soal waktu. Erza lebih lama merantaunya dibandingkan Ikal, jadi wajar kalau sukses duluan." Sebenarnya ia malas memuji Erza. Tapi mau bagaimana lagi, daripada ada perang dunia, mending saling memuji antar musuh bebuyutan.
"Gimana kalau nanti Erza buka di rumah kita?" usul Haekal agar bisa menepati janjinya.
"Kenapa. Kenapa harus buka di rumah kita, dia kekurangan makanan?" protes Arum.
"Bu, sampai kapan mau bermusuhan, capek Haekal liat Ibu berantem terus. Enggak malu sama umur?" Jujur saja. Ia sudah lelah memisahkan jika keduanya sedang beradu kekuatan. Ia lebih memilih memisah perkelahian antara laki-laki daripada ibu-ibu.
"Setuju. Tuh, Bu. Baikan kenapa, lagian bulan Ramadhan kan bulan yang penuh berkah. Enggak ada salahnya baikan dulu, nanti abis lebaran berantem lagi," canda Erza membuat kedua ibu-ibu itu tertawa.
"Nah, gitu. Ketawa dong, emosi mulu," ucap Haekal dan Erza bersamaan.
Haaaaaa ....
Maafkan aku kemaren lupa posting bab 6
Sebagai gantinya bab 7 akan segera aku anu sekarang juga
Byee
See you !!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro