Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

duapuluh satu

Mungkin, karena banyak pikiran yang bersemayam di benak Erza, sudah beberapa hari ini pemuda itu tak mendapatkan tidur yang nyenyak. Perlahan sinar mentari menyelundup ke kamarnya melalui celah-celah ventilasi kamar. Pagi ini tampak berbeda, sepertinya tanda-tanda malam lailatul qadar telah nampak pada pagi ini. Udara yang tidak dingin, tetapi juga tidak panas. Rasanya sejuk dan tentram.

Erza beranjak dari kasurnya dan membuka jendela kamar. Ia menatap sawah-sawah yang berada di sebrang rumahnya, membayangkan ketika ia kecil dahulu sering membantu sang ayah di sawah. Tipis-tipis ia mulai bernostalgia.

"Kamu kalau besar nanti, harus sukses ya."

Begitu perkataan Ayahnya yang melekat padanya hingga sekarang.

"Sukses enggak, jadi pembohong, iya," gumamnya lirih sambil melamun. Ia merasa bersalah ketika mengingat semua kebohongannya, hanya untuk sebuah gengsi.

Nasi telah menjadi bubur, Erza hanya berpikir bahwa ia tak bisa mundur sekarang. Ia harus berusaha membuat semua kebohongannya menjadi sebuah kebenaran.

****

Sementara Haekal juga persis seperti Erza. Ia sedang melamun sambil menatap hamparan sawah di sebrang rumahnya.

Pintu kamarnya terbuka, sontak Haekal menoleh ke arah pintu. Arum berdiri di depan pintu kamarnya.

"Tumben udah bangun, baru juga mau Ibu bangunin," tuturnya pada Haekal.

"Kayak anak kecil aja, Bu. Haekal udah gede, jadi enggak perlu dibangunin lagi sebenernya. Kalau Haekal bangun kesiangan, biarin aja. Haekal cuma kelelahan, Bu."

Ya, Haekal juga lelah terus membohongi dirinya sendiri dan juga membohongi keluarganya. Ia masih menatap hamparan sawah yang merupakan tempatnya bermain dan membantu Ayahnya dulu.

Arum berjalan ke arah Haekal dan mengusap kepalanya dari belakang bak anak kecil. "Ngomong apa sih kamu. Sampai rambut kamu beruban, kamu akan selalu jadi Haekal kecil punya, Ibu," ucapnya membalas jawaban Haekal.

Ah ... jangan gini dong. Rasanya, jadi enggak enak buat terus berbohong.

"Bu ...."

"Ya, Nak. Kenapa?"

Haekal hanya tersenyum, lalu menggeleng tipis. "Enggak jadi, Bu. Lupa." Ia mengurungkan niat untuk menceritakan kebenaran.

"Masa lupa? Masih muda pikun!" ledek Arum.

"Hahaha, enggak kok. Haekal mau jalan-jalan pagi dulu nyari angin."

Haekal mengenakan celana training berwarna hitam dan segera berjalan keluar rumahnya untuk mencari udara sehat.

****

Haekal baru saja keluar, sementara Erza sudah terlebih dulu keluar, sehingga mereka tak bertemu.

Jadi kangen nganuin sawah.

Erza tersenyum sembari mengingat beberapa memori manis di benaknya.

Namun, memori manis itu memudar ketika mengingat bahwa bukan hanya dirinya yang berada di sawah, tetapi juga si kunyuk Haekal.

"Cih! Dia juga sering bantuin Ayahnya dulu, jadi ngerusak memori indah gue aja," gumam Erza sambil memasang wajah tak sedap.

Ada sebuah sungai yang terletak tak jauh dari rumahnya. Erza berjalan mengikuti arus sungai itu.

"Masih bagus ya, beda sama sungai di Jakarta. Warnanya hitam, kayak kelam hidup."

Sekelebat visualisasi di masa lampau terbesit, ketika ia menatap sebuah batu yang cukup besar berada di tengah sungai.

"Oh iya, dulu si Kampret Haekal pernah kecebur di sini nih! Gara-gara mau pamer jalan mundur sambil tutup mata ke Dhea," gumamnya sambil terkekeh. "Dia pikir itu keren kali?"

Ya, mereka juga sering menangkap ikan-ikan kecil di sungai ini bersama-sama. Ketika levelnya dengan Pras masih belum sejauh sekarang.

****

Di sisi sebaliknya, Haekal berjalan melewati sebuah jembatan yang terbuat dari kayu. Ia terdiam ketika berada di tengah jembatan dan menatap sendu ke arah sungai.

"Woy! Jangan bunuh diri di situ!" teriak seorang pengendara motor yang melintas dan melihat Haekal.

"Yeeee gila! Hati-hati kecelakaan lo," balas Haekal kesal.

Hidup gue emang rumit! Tapi bukan berarti gue mau jadi dedemit, gara-gara lompat trus koit!

"Dan lagi, enggak akan mati juga lompat dari sini. Orang sungainya cukup dalam kok," gumamnya sambil mengingat kenangan masa kecilnya.

Ya, waktu kecil Haekal bersama teman-temannya sering melompat dari jembatan untuk bersenang-senang, dan lagi sebagai ajang pembuktian juga pada Dhea. Untuk menentukan siapa yang paling pemberani.

"Jadi inget si bangke! Dulu sok-sokan terjun bebas dengan gaya salto. Eh, pas nyebur enggak ada yang lihat! Mana ditinggalin pula," tutur Haekal sendirian sambil terkekeh.

Haekal kini tiba di masjid yang biasa ia gunakan sebagai tempat shalatnya. Ia ingat betul, ketika ia dan teman-temannya ikut lomba adzan. Tentu saja mereka semua ikut karena ingin menarik perhatian Dhea dengan suara indahnya masing-masing.

"Lagi-lagi jadi inget si bangke! Adzannya belibet, jadi ketuker-tuker," gumam Haekal sambil menahan tawanya. "Eh, tapi--gue juga waktu itu salah. Bukannya adzan, malah qomat."

****

Erza berjalan hingga berada di depan pos ronda yang terbuat dari kayu jati. Ia duduk sejenak untuk beristirahat di sana.

"Tempat main petasan nih," gumamnya sambil menatap sekelilingnya.

"Si Haekal dulu pernah nyalahin petasan, tapi enggak dilempar. Meledak ditangan itu petasan sampe dia nangis," gumam Erza sambil tertawa sendirian. "Abis itu gua yang anterin pulang, gara-gara dia nangis. Sue banget! Harusnya bisa main sama Dhea lebih lama, eh malah jadi nganterin si kampret pulang."

Jika dipikir-pikir, di mana ada Erza pasti di situ ada Haekal. Bahkan mereka merantau ke kota yang sama. Nostalgia ini berubah menjadi nostalgila, nostalgia hal-hal gila. Mereka mencoba mencari kenangan indah dalam benak mereka masing-masing, tetapi justru menjadi kenangan lucu tentang rival mereka.

Kini Haekal berjalan hingga sampai pada pos ronda di mana Erza sedang beristirahat. Ya, kini pemuda sok kaya itu sedang tidur di pos ronda. Terbesit pikiran iblis di dalam pikiran Haekal. Ia mengendap mendekati Erza untuk mengagetkannya.

'Mampus lo, gue kagetin!' batin Haekal sambil menahan tawanya.

Ketika Haekal hendak mengagetkan Erza, tiba-tiba saja pemuda sok kaya itu bangun dan mengagetkan Haekal terlebih dahulu, membuat Haekal terhentak mundur hingga terjatuh di tanah.

"Rasain lo! Sok-sokan mau ngagetin gue?" ledek Erza sambil terkekeh.

"Bangke lo!" protes Haekal yang tersungkur di tanah.

"Bau badan lo itu udah kecium dari jauh. Pokoknya ada bau sampah, itu berarti lo lagi enggak jauh dari sini," ucap Erza masih sambil terkekeh. "Mau sok kayak ninja lo? Diem-diem mau ngagetin gue!"

"Lo ngapain tidur di situ?! Gue tau, lo diusir ya? Gara-gara ketahuan miskin di kota?"

Erza beranjak dari tidur dan dan membuka matanya lebar-lebar. "Enggak ya! Gue lagi mencari angin segar di luar," jawab Erza.

"Enggak, lo pasti diusir kan?" Haekal terus berusaha memojokkan Erza.

Hingga suara indah itu terdengar di telinga mereka berdua.

"Tumben akur?"

Erza dan Haekal menoleh ke arah Dhea yang rupanya muncul. Gadis ini seperti Jin, di mana-mana selalu ada, di depan rumah Erza, di depan rumah Haekal, saat Erza dan Haekal sedang makan mie ayam ... entah, gadis ini selalu muncul seperti panu. Wajar jika nama desa ini adalah Desa Panuran.

"Eh, Dhea," sapa Erza dan Haekal.

"Kalian ngapain?" tanya Dhea.

"Ini, si Erza diusir dari rumah, kasihan," jawab Haekal.

Erza memasang wajah tak terima. "Yeee, lo tuh pagi-pagi udah fitnah tau enggak? Batal tuh puasa lo!"

"Kamu sendiri ngapain, Dhe?" tanya Haekal.

"Ya biasalah, namanya juga anak Pak Lurah. Suka bantuin Bapak ngurusin ini itu deh," jawab Dhea.

"Rajin ya kamu," celetuk Erza sambil tersenyum.

Namun, senyum mereka berdua seketika runtuh, ketika menatap pria yang sedang berjalan ke arah mereka semua.

"Eh ada Erza sama Haekal. Sahabat sehidup semati," ucap Pras.

"Yaudah, Za, Kal. Aku duluan ya. Masih banyak keperluan soalnya." Dhea berjalan meninggalkan Haekal dan Erza bersama Pras.

Mereka berdua, Dhea dan Pras tampak begitu serasi, dan lagi, sudah menjadi kebiasaan Pras yang dari dahulu kerap membantu Dhea dalam segala urusannya.

Kini Erza dan Haekal hanya terdiam seribu bahasa, menatap punggung yang kini perlahan menjauh dan semakin menjauh.

Kata orang ... Seanu-anunya kita bohong, pasti akan ketawan juga! Apa kali ini Haekal sama Erza bakal ketawan kebohongan mereka??

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro