Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

duapuluh lima


Haekal berhenti sejenak di depan pintu rumahnya setelah Adinda sudah lebih dulu masuk dan berteriak meneriakkan nama Sang Ibu. Haekal sedang menyiapkan mental, dirinya sudah kepalang basah ketahuan oleh Adinda, sekalian saja dia menyeburkan diri dan mengakui semua kebohongannya selama ini.

Haekal sudah melangkah menuju ke dalam rumah dan mendapati Arum sudah menunggunya dengan raut wajah bertanya-tanya dan tidak percaya.

"Benar yang adik kamu katakan itu, Kal?" tanya Arum.

Sekali lagi, Haekal menghembuskan napas berat. Lalu, dia mengangguk. "Haekal bisa jelasin, Bu."

"Kenapa harus bohong, sih, Kal? Ghea Indrawari itu artis papan atas begitu, Ibu udah seneng padahal kalau dia bisa jadi menantu Ibu," ucap Arum dengan dengan nada suara pasrah dan kecewa.

"Nah itu, Bu. Awalnya Haekal tidak bermaksud bohong, terus Adinda seneng lihat foto Haekal dengan Ghea Indrawari, Ibu juga seneng banget. Jadinya, ya udah begitu," ucap Haekal masih dengan alibinya, karena alasan sebenarnya dia tidak ingin diberi julukan sad boy.

"Kamu ngibulin Ibu sama Adinda kalau begitu, Kal!" ujar Arum tidak habis pikir.

Baiklah. Mungkin ini saatnya Haekal berterus terang. Kembali menghela napas dan mulai merancang kata demi kata di otaknya. Mulailah Haekal berterus terang dengan semua kebohongannya. "Haekal gak bermaksud ngibulin Ibu sama Adinda, justru malah kepengen Ibu sama Adinda itu seneng. Sebenarnya Haekal juga capek, Bu, dikatai sad boy terus. Kalau Haekal punya pacar, apalagi artis kaya Ghea Indrawari, kan, pasti banyak yang segan sama Haekal. Apalagi, Haekal abis ngerantau dari ibu kota." Akhirnya, setelah sekian lama semua hal yang ia tutupi terbongkar dari mulutnya sendiri di hadapan Arum dan Adinda.

Haekal tengah menunduk menanti jawaban Arum, yang entah mengapa lama sekali belum menjawab pernyataan Haekal di atas.

"Mas Haekal!" Bukannya Sang Ibu yang merespons, justru Adinda yang memanggilnya. "Adinda mau pinjam hp Mas sebentar."

Haekal yang masih terbeban hati dan pikiran karena Arum yang belum juga membuka suara. Tanpa curiga, dia memberikan hp-nya ke Adinda.

Tut. Tut.

Saat suara nada sambung itu terdengar, barulah Haekal tersadar kalau Adinda saat ini tengah menghubungi nomor Ghea—yang nyatanya itu nomor Erza.

"Halo! Apaan, sih, Kal! Gue lagi disidang sama Emak ini. Elu mah gak tau diri telpon-telpon. Tuh, kan, Bu Dewi udah mulai marah-marah ini. Udah, bye!"

Seketika itu pula, Haekal menghela napas dengan bahu yang merosot. Dia benar-benar sudah kecebur sekarang, basah sebadan-badan.

"Itu ... suara Mas Erza?" tanya Adinda.

Haekal mengangguk tanpa suara. Lalu, terdengar suara helaan napas lelah dari Arum. Haekal benar-benar sudah tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Ya sudah mau bagaimana lagi, Ibu juga tidak bisa memaksakan kehendak Ibu. Memangnya kamu tidak punya perempuan yang disuka?" tanya Arum pada anak sulungnya yang seperti oase bagi Haekal.

Haekal langsung berbinar mendengar pertanyaan ibunya, seketika saja mengingat Dhea, wanita yang dia puja. "Ada, Bu. Haekal suka sama Dhea, anak Pak Lurah," ucap Haekal malu-malu mengakui di depan Arum dan Adinda.

Namun, lagi-lagi Haekal mendengar suara helaan napas dari Arum, sepertinya bukan pertanda baik.

"Kemarin waktu Ibu belanja, Bu Lurah bilang, katanya Dhea akan menikah dengan Pras habis lebaran."

Duar!

Bagai bom atom yang menyerang Hiroshima dan Nagasaki. Haekal lagi-lagi patah hati. Dia mencoba menegarkan diri, tidak hanya dia yang patah hati saat ini, tapi juga Erza. Haekal tidak perlu menjadi sad boy seorang diri karena tetangga sebelahnya juga demikian.

****

"Jadi, selama ini kamu udah bohongin kita sekeluarga, Mas?!" tanya Dewi kepada Erza setelah dirinya mendengar semua yang sudah dikatakan Riana.

Bagi Erza, ini waktunya dia menuntaskan semua kebohongannya. Bagus juga sebelum lebaran dia mengakui ini. Jadi, dia tidak perlu lagi berbohong saat hari raya dan menambah beban dosanya.

"Kenapa gak dijawab?! Takut mau bilang jujur tapi tidak takut udah bohong!" ketus Dewi saat Erza lama tidak menjawab pertanyaannya.

Erza tersentak mendengar Sang Ibu berbicara dengan keras. Bukannya dia takut mau bilang jujur, tapi Erza butuh menyusun paragraf yang pas agar tidak semakin runyam keadaannya.

Tiba-tiba dering telepon terdengar dari hp-nya. Erza segera mengeluarkan hp tersebut dari saku celana. Dia menatap layar yang menampilkan nama "Si Kampret", itu kontaknya Haekal. Segera dia mengangkat telepon dari tetangga sebelahnya yang tidak tahu situasi ini.

"Halo! Apaan, sih, Kal! Gue lagi disidang sama Emak ini. Elu mah gak tau diri telpon-telpon. Tuh, kan, Bu Dewi udah mulai marah-marah ini. Udah, bye!"

Erza langsung menutup panggilan karena mendengar suara Dewi yang menganggap Erza tengah menghindar dan tidak mau berterus terang.

"Sekarang katakan yang sebenarnya! Tidak perlu bohong lagi sama keluarga," tuntut Dewi.

Erza menghela napas, bersiap menjelaskan segalanya. "Iya, Bu. Erza sebenarnya bukan orang kaya dan sukses yang selama ini Ibu dan Riana tahu. Erza cuma kurir ekspedisi di salah satu perusahaan ekspedisi di Jakarta. Erza juga tidak punya uang yang banyak seperti yang Ibu dan Riana bayangkan," ucap Erza akhirnya dan merasa lega. Dia tidak ingin semua kebohongannya berlanjut dan semakin menambah masalah.

Dewi menatap putra sulungnya dengan tatapan antara kecewa, sedih, dan pasrah. "Kenapa tidak bilang dari awal. Jadi, Ibu sama Riana tidak perlu meminta ini itu ke kamu, Mas. Ibu jadi merasa gagal kalau begini," ucap Dewi dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.

"Erza ingin mengupayakan yang terbaik untuk Ibu, Bapak, dan Riana, agar bisa terpandang di Kampung Panuran ini. Setidaknya dengan Erza yang sehabis merantau dari ibu kota, Erza bisa dianggap jadi orang sukses sama warga kampung, Bu," jelas Erza kepada Dewi. Erza bernapas lega sudah bisa mencurahkan isi hatinya kepada Sang Ibu.

"Tapi kok Mas Erza punya karyawan, ya? Siapa itu namanya? Rudi?" tanya Riana bingung.

Erza seketika ingat dengan hutangnya yang belum juga lunas saat ini. Ya sudah, dari pada dia berbohong lagi, sekalian saja dia berkata jujur dengan semua keadaan yang terjadi.

"Rudi itu bukan karyawan Mas. Sebenarnya, dia telepon terus buat nagih hutang. Erza ada hutang sama dia dan belum dibayar sampai sekarang," ujar Erza dengan bahu merosot.

Lagi-lagi, Erza mendengar suara helaan napas Dewi yang sangat berat itu.

"Abis lebaran kamu kerja lagi terus uangnya dikumpulin buat bayar hutang kamu sama Rudi. Ibu, Bapak, dan Riana sudah seneng Erza bisa berkecukupan di ibu kota. Tidak perlu berpura-pura jadi orang kaya, justru malah nambah beban keuangan. Bukannya kaya malah makin miskin tiba-tiba kalau begitu. Gaya hidup tidak perlu yang mewah-mewah yang penting berkah," ucap Dewi menasihati Erza agar tidak perlu mengutamakan kesohor tapi diri sendiri makin tekor. Sepertinya, Erza sekarang harus mengganti prinsipnya itu.

****

Tidak terasa sebulan puasa sudah terlewati dengan berbagai cerita. Sekarang, Hari Raya Idul Fitri sudah datang dan sorak suka cita merayakan hari kemenangan dan lantunan takbir terus menggema sejak semalam.

"Bu, Erza minta maaf ya, kalau Erza banyak salah sama Ibu, udah bohongin Ibu dan keluarga. Erza janji mulai sekarang, Erza akan memperbaiki diri," ucap Erza pada Dewi, ibunya, yang dibalas dengan suka cita karena sang anak sudah menyesali perbuatannya.

Di sebelah rumah mereka juga sedang memperagakan adegan yang sama. Haekal yang tengah sungkem dengan Arum dan meminta maaf.

"Bu, Haekal udah banyak salah sama Ibu. Maafin Haekal, ya, Bu. Maaf juga Haekal belum bisa bawa menantu buat Ibu," ucap Haekal kepada Arum yang sedari tadi sudah tersenyum tanpa beban.

"Iya, udah Ibu maafin. Tidak usah khawatir soal menantu, nanti Ibu bisa jodohin kamu," ujar Arum seraya terkekeh.

Haekal hanya bisa tersenyum masam dan menghela napas pasrah. Mau bagaimana lagi.

Sehabis acara saling meminta maaf, Haekal dan Erza bersamaan membuka pintu rumah. Keduanya saling bertatapan dan dengan segera mengalihkan pandangan.

"Ini lebaran, Kal. Mending kita tunda dulu gencatan senjatanya. Lagian kemaren juga udah baikan sementara," ujar Erza menghampiri Haekal.

"Hmm. Gue udah jujur sama keluarga. Lu gimana?" tanya Haekal ke Erza.

"Same, gue juga. Alhamdulillah udah lega, lebaran gini gak ada pura-pura lagi, gak nambah dosa," ujar Erza.

Haekal menghela napas seraya memandang kosong ke depan. "Iya, sama. Tapi, gue tahu elu juga lagi galau, kan."

Erza ikutan memandang Kosong ke depan sembari menghela napas. "Kasian banget kita bakal ditinggal nikah Dhea, mana sama Pras lagi," gerutu Erza.

"Hm. Kayanya ini karma kita, deh, Za. Gue minta maaf, ya, kalo ada salah. Biar abis ini jodoh gue gak nyasar lagi gegara banyak dosa," ucap Haekal seraya menyodorkan tangan ke Erza.

Erza menatap Haekal dengan senyum gelinya. Namun, tak urung dirinya juga melakukan hal yang sama.

" Iya, gue juga minta maaf, ya. Semoga aja abis ini gue bisa jadi orang kaya beneran," ujar Erza seraya menyambut uluran tangan Haekal.

Akhirnya, cerita Erza dan Haekal yang membawa sebuah kebohongan ke Kampung Panuran selesai sudah. Lebaran membuat semua menjadi fitrah. Mereka sudah menutup lembaran suram dan membuka lembaran baru yang putih bersih untuk menorehkan cerita yang lebih baik lagi kedepannya.

Selesai

Aku lupa masa kalo ini belum dipublish!!
Akhirnyaaaa selesai juga project ngabubuwrite by WRITING DREAM TOGETHER

Dan kami dari kelompok Belphegor mengucapkan, selamat idulfitri 1442 H

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro