duapuluh empat
Hari raya idul fitri sudah tinggal menghitung hari. Hari kemenangan akan menyambut. Erza duduk di teras rumahnya, tampak merenungkan nasib anggota keluarganya yang sampai saat ini belum juga ia belikan baju baru. Lelaki itu bingung harus berbuat apa, kalau dihitung-hitung uangnya pun tidak cukup untuk membeli keperluan ibu dan adik perempuannya. Helaan napas kasar terdengar berkali-kali, entahlah, Erza merasa suntuk. Pikirannya mulai kalut. Ini benar-benar di luar ekspetasinya.
Jika dari awal Erza tidak berbohong, mungkin keadaannya tidak akan menjadi seburuk ini. Rasanya kepalanya akan pecah sekarang, dari mana Erza mendapatkan uang? Memang penyesalan akan selalu datang di akhir. Lagi, lelaki itu menghela napas, entah untuk yang ke berapa kalinya. Erza mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar ingin menenggelamkan diri saja sekarang.
"Mas Erza!" sentak Riana kepada Erza.
Erza pun menoleh dengan cepat. Lantas menjawab, "Apa, sih?"
Riana tersenyum semanis mungkin, ia menyodorkan ponselnya ke arah Erza. "Mas, kapan mau beliin Aku sama Ibu baju baru? Aku udah pilih banyak banget, loh. Hari raya juga udah deket waktunya, cepetan, dong, Mas! Aku udah nggak sabar, nih," omel Riana.
"Iya nanti dibeliin, sabar, dong!" Erza pun ikut menyentak sekarang. Kepalanya benar-benar terasa pusing.
Riana memajukan bibirnya. "Ngegas banget, sih, Mas." Terjeda beberapa detik, ekspresi Riana kembali riang seperti sebelumnya, "Mas, nanti malem ada festival kembang api di lapangan desa kayak tahun lalu. Mas Erza ke sana, nggak?" tanyanya.
Mata Erza tentu saja berbinar, kalau ia datang lumayan, kan, bisa menghibur dirinya yang sekarang dilanda perasaan gunda. "IYA, MAS KE SANA NANTI!"
Lelaki itu pun beranjak dan segera berlari menuju ke kamarnya untuk mempersiapkan diri. Erza tampak memilih pakaian yang cocok untuk dikenakan saat festival kembang api. Siapa tau ia bertemu dengan Dhea, bisa saja anak Pak Lurah itu terpesona dengannya. Deringan ponsel membuat Erza yang sedari tadi fokus untuk mencari pakaian yang pas pun menoleh ke sumber suara.
Haekal : Nanti lo ikut ke lapangan desa, g?
Pesan tersebut dikirim oleh Haekal. Dengan cepat, Erza pun membalasnya.
Erza Jutawan : Y
Pesan tersebut hanya dibaca oleh Haekal. Biarlah, Erza juga tidak peduli akan hal itu. Yang terpenting adalah ia harus berpenampilan semenarik mungkin nanti malam.
Sementara itu, Haekal juga tak mau kalah dengan Erza, bak seorang cenayang, lelaki itu menebak Erza akan mencoba untuk berpenampilan semenarik mungkin untuk menarik perhatian Dhea. Haekal tidak boleh lengah. Ia harus bisa mendapatkan hati anak Pak Lurah di Kampung Panuran agar drama yang ia ciptakan sendiri segera tamat.
Haekal sibuk menata rambutnya agar terlihat seperti model Brand Ambassador. Menyisir rambutnya ke kanan dan ke kiri, sampai-sampai ia pun salah menjambak rambutnya sendiri. Ia meringis, tetapi semangatnya tidak patah begitu saja, Haekal terus menata rambutnya hingga penampilannya berubah menjadi lebih baik dan pada akhirnya banyak wanita yang mengejarnya. Ya, Haekal pasti bisa!
"Adinda, bantuin Mas sebentar, dong," teriak Haekal.
Adinda yang sedang menontom televisi pun menjawab dengan lantang. "Bantuin apa, Mas?"
"Kamu ke kamar Mas aja dulu, cepetan!"
Mau tak mau, Adinda pun menurut. Ia mematikan televisinya dan mulai berjalan ke arah kamar Haekal. "Ada apa, sih, Mas?" tanya Adinda malas.
"Bantuin Mas nyari baju, dong." Haekal mengambil dua stel baju yang telah ia pilih kemudian melanjutkan kalimatnya, "bagusan yang mana, Din?"
Adinda dengan cepat menunjuk salah satu baju yang Haekal pegang di tangan kanannya. "Yang itu bagus, Mas. Kayaknya cocok, deh."
"Masa, sih, Din? Bukannya bagus yang satunya, ya?"
"Terserah Mas, deh!" ketus Adinda, setelah itu keluar dari kamar Haekal. Kalau kakaknya itu bisa memilih baju sendiri, kenapa harus meminta bantuan kepadanya?
"Loh, Din! Jadi bagus yang mana? Bantuin Mas dulu, dong!" teriak Haekal.
Adinda berdecak, lantas menjawab, "nggak mau! Pilih aja sendiri. Aku juga mau siap-siap!"
****
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, entah karena kebetulan atau memang takdir yang meminta, Haekal dan Erza tiba di lapangan desa secara bersamaan.
"Lu ngintilin gue, ya?" tanya Erza sewot.
"Lu kali yang ngintilin gue!" sahut Haekal dengan nada yang mulai meninggi.
"Mas Erza mau berantem apa mau lihat kembang api, sih?" setan Riana kesal. Pasalnya tujuannya datang ke sini adalah untuk melihat indahnya kembang api, bukan malah melihat dua orang yang sedang tersulut emosi.
Erza pun memilih untuk berjalan minggalkan Haekal dan Adinda. Ia akan menenangkan pikirannya di sini sekarang. Ayo, dong, jangan peduliin Haekal yang sok kecakepan itu, batinnya.
Mereka pun akhirnya terpisah, Erza dan Riana memilih untuk berjalan ke tengah lapangan, sedangkan Haekal dan adiknya memilih untuk tetap berada di depan lapangan agar tidak berdesakan dengan warga Kampung Panuran. Suasana lapangan desa sekarang sangat ramai, banyak warga yang datang, juga pedagang yang menjajakan dagangannya.
"Mas, aku minta uang. Buat beli Arum Manis," ucap Adinda.
Haekal pun memberikan uang sepuluh ribu yang ia bawa, "kembaliannya simpen aja, Din. Ditabung jangan lupa."
Adinda berdecak kesal. "Arum Manisnya sepuluh ribuan, Mas. Mana ada kembalian."
Haekal tersenyum miris, jatah uang itu sebenarnya untuk tambahan membelikan Dhea makanan, tetapi harapannya harus pupus sekarang. Karena uangnya pun pasti tidaklah cukup. "Ya udah, beli, gih. Mas tunggu di sini, ya."
Adinda mengangguk, setelah itu berlari kecil meninggalkan Haekal dengan kebangkrutannya. Sekitar sepuluh menit berlalu, tetapi Adinda belum juga menampakkan batang hidungnya. Mungkin karena banyak pembeli, jadi adiknya itu harus antre terlebih dahulu, begitu pikir Haekal.
"Kal, pinjem duit, dong. Sepuluh ribu aja," bisik Erza pelan.
Haekal yang sedang menikmati kesendiriannya pun menoleh, "duit gue abis, barusan Adinda minta buat beli Arum Manis."
Erza tampak menghela napas pasrah. "Gimana, ya? Duit gue juga udah abis, padahal juga belum beliin keluarga baju lebaran. Pusing gue lama-lama." Lelaki itu kini mulai curhat. Bodo amat dengan tanggapan Haekal. Ia sudah benar-benar lelah dengan semua drama ini.
"Gue juga udah capek banget, Za. Gue sendiri, sih, yang salah. Ngapain waktu itu ngaku kalau gue punya pacar, gue jadi didesak sama pertanyaan 'kapan nikah'. Gue bener-bener capek. Gue pengen tamatin drama ini secepatnya, tapi gue takut keluarga gue jadi kecewa." Sekarang giliran Haekal yang mengeluarkan semua unek-uneknya.
Erza kembali mengembuskan napas kasar, ia pusing, ia bingung harus bagaimana. Bagaimana caranya berbicara sejujurnya kepada keluarganya.
"Gue capek banget, asli. Pura-pura kaya itu nggak seenak yang gue bayangin, ternyata."
"Gue juga, pura-pura punya pacar artis juga nggak seenak yang gue kira."
"Jadi selama ini Mas Haekal bohong?" Ucapan seorang perempuan mampu membuat Haekal menoleh dengan cepat. Suara itu sangat familiar baginya. Iya, itu Adinda--adiknya.
Tiba-tiba Riana datang dengan kalimat, "Mas Erza juga tega bohongi Aku sama Ibu?"
MAYGAD!!
JADI SELAMA INI KAMU ANU HAEKAL, ERZA??
ANU APA YA ... BOHONG??
Kalo readers, ada nggak kebohongan yang kalian simpan dari keluarga??
Sharing sama Miwa yuk!! Eitss! Tapi jangan lupa vote sama comment-nya dong!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro