duapuluh
Esoknya, Erza berbaring menghadap langit-langit kamar, mengangkat tangan untuk menghitung jumlah jari-jarinya sembari mengingat permintaan Dewi dan Riana kemarin. Uang tabungannya pasti langsung tak berjejak jika menuruti permintaan kedua perempuan paling berharga dalam hidupnya. Beruntung ia memiliki otak seencer air, saking encernya, terkadang hingga berceceran ke lantai.
"Hai, Dhea. Mau ke rumah Erza?"
Seketika Erza terduduk mendengar suara familier tetangganya, siapa lagi kalau bukan Haekal? Tunggu, Haekal bilang Dhea?
Erza bangkit tergesa mengintip dari jendela kamarnya yang memang terletak di paling depan. Posisi ini memudahkan dirinya untuk mengecek keamanan di luar rumah sebagai anak lelaki, begitu kata Farhan, suami kebanggaan Dewi. Setelah memastikan penampilannya rapi, tidak kusut seperti struk-struk belanja yang sering ia selipkan di dalam dompet, Erza bergegas menemui Dhea.
"Dhea?"
"Eh, Erza. Kebetulan kamunya ke luar rumah," sapa Dhea dengan senyum kecilnya.
"Iya, ada keperluan apa, ya, Dhe? Tumben kamu cari aku ke rumah?"
Haekal memutar mata bosan melihat sikap Erza yang sok sopan di depan Dhea.
"Kal, ayo sekalian kamu ikut juga. Ada yang mau aku bicarain ke kalian berdua," ajak Dhea pada Haekal yang kini menatapnya penuh semangat.
Melihat ekspresi Haekal sudah membuat Erza kesal karena bukan hanya dirinya yang Dhea cari. Dengan senyum lebar unjuk gigi seperti iklan Sinyim Pipsidin, Erza mempersilakan Dhea dan Haekal agar menduduki kursi di teras. Perempuan itu memberikan dua undangan yang membuat Erza dan Haekal membelalakkan mata.
I-itu undangan apa? Jangan bilang gue mau ditinggal nikah lagi?
Haekal nelangsa sendiri.
Wait, ini bukan undangan nikah, kan? Gak mungkin gue kalah dari Pras.
Erza mendongak menatap Dhea penuh tanda tanya, sementara yang ditatap hanya menaikkan satu alis.
"Ini undangan ... apa?" ragu-ragu Erza bertanya dengan harapan besar.
Dhea menarik senyum lembut. "Kalian harus dateng, ya."
"Dhea, kamu ... mau nikah?" Erza tak kuasa menahan diri untuk menanyakan hal yang sudah berkecamuk dalam kepala.
"Selamat, ya, Dhe," sahut Haekal dengan wajah nanar.
Baik Erza mau pun Haekal memang belum membaca isinya, sebab mereka terfokus pada cover undangan yang mirip undangan pernikahan.
"Kok, nikah? Ini bukan undangan pernikahan, kali."
"Terus apa?" tanya kedua lelaki itu berbarengan.
Dhea tergelak mendapati wajah aneh Haekal dan Erza yang tampak kentara penuh kebingungan. "Ini, tuh, aku lagi undang kalian buat ikut acara ngabuburit nanti sore, jam tiga, bedanya ngabuburit kali ini adalah games. Jadi, kalian yang diundang harus main games sambil tungguin waktu berbuka," jelasnya.
"Jadi, bukan, nikah? Yes! Yes! Yes!" Haekal tak kuasa memperlihatkan kelegaan luar biasa karena ia tak perlu galau lagi seperti ketika Della meninggalkannya menikah dengan orang lain.
"Aku kira nikah. Syukur kalo bukan undangan nikah," gumam Erza yang tak dapat didengar Dhea.
"Jadi, gitu. Kalian harus dateng, ya. Soalnya makanan berbukanya dapet ayam gede, rugi kalau kalian gak ikut."
"Iya, tenang aja, Dhe, kita pasti ikut, kok!"
Dhea tersenyum pada Haekal hingga matanya membentuk garis, tak ayal membuat kedua lelaki di hadapannya tak berkedip. Sungguh, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan?
Setelah menyampaikan informasi, Dhea berpamitan untuk melanjutkan membagikan undangan pada nama-nama yang disarankan sang ayah. Erza tersenyum kecil menatap kertas undangan yang menyisakan bekas tak kasat mata tangan Dhea.
"Lo ngapain liatin undangan sambil senyum-senyum? Orang kalo otaknya gak waras gak boleh puasa."
Interupsi yang Haekal lakukan sukses membuat kebahagiaan Erza memuai. "Lo ngapain masih di rumah gue?"
"Ini mau pulang, mau siap-siap buat acara nanti." Setelahnya, tanpa repot-repot berpamitan pada sang tuan rumah, Haekal pun kembali ke rumahnya dengan langkah ringan. Suaranya yang bernyanyi pelan, membuat Erza menggelengkan kepala.
****
Keadaan di lokasi games mulai ramai dipadati anak-anak kecil hingga orang dewasa yang diundang Lurah Desa Panuran. Acara itu berlangsung di rumah Dhea yang memang memiliki halaman depan yang luas. Dalam konsepnya, para orang dewasa seperti Haekal dan Erza akan memainkan sodor bersama anak kecil.
Namun, yang menjadi masalah adalah ketika para orang dewasa yang menjadi penjaga sodor harus melakukan cosplay. Entah apa yang dipikirkan Pak Lurah, yang jelas Haekal harus berusaha menyabarkan diri. Lurah yang satu ini memang aneh, untung saja anaknya cantik.
"Hai, selamat sore, adik-adik dan kakak-kakak! Terima kasih udah hadir di acara fun and games ngabuburit Panuran. Berhubung sudah memasuki waktu acara, jadi permainan akan dimulai. Kalian udah pada siap, belum?"
Haekal tak dapat menahan senyumannya melihat Dhea berdiri di depan rumah memberi aba-aba menggunakan toa masjid. Rambutnya diikat ekor kuda dan perempuan itu memakai pakaian sporty. Erza pun tak berkedip menatap Dhea.
"Oke, sekarang aku undi nama dan cosplay, ya! Untuk yang namanya disebut, harus siap main!"
Sorakan ramai menyambut Dhea. Bukan hanya orang dewasa, putri lurah itu pun menjadi sosok kakak perempuan yang disukai anak-anak dan remaja.
"Oke, jadi untuk kloter pertama akan diisi oleh ... Kak Erza sebagai cosplay Teletubbies dan jadi penjaga sodor paling depan, Kak Pras sebagai penjaga belakang dan cosplay jadi ibu kos pake pecak, dan terakhir ada Kak Haekal yang cosplay jadi pedagang kaki lima di terminal!"
Sontak, suara tawa riuh terdengar. Walau cosplay yang Dhea titahkan sangat tidak masuk akal dan hanya akan membuat orang dewasa ditertawakan anak-anak, tetapi tidak ada satu pun yang protes. Sebab, semua larut dalam kesenangan yang juga disebabkan oleh intonasi Dhea yang menyenangkan.
Haekal menoleh ke sisi kiri, lantas terbahak-bahak melihat rivalnya memakai hoodie teletubbies bernama Poo. Erza meliriknya tajam.
"Ja, lo imut kalo gitu," goda Haekal.
"Mendingan gue, daripada lo, cosplay jadi diri sendiri," sahut Erza jutek.
"Mending gue, lah. Seenggaknya gue gak perlu deket-deket sama si prasmanan."
"Iya, sih. Gila, ogah gue kalo bukan Dhea yang ngomong."
Haekal hanya menertawakan Erza yang bermuram durja. Permainan pun dimulai. Dengan membawa baskom yang di dalamnya menampung gelas plastik berisi air, Haekal harus berusaha mencegah anak-anak remaja itu mengambil gelasnya. Sedangkan, Erza harus bekerja sama dengan Pras sebagai tim agar tidak kecolongan.
Suasana begitu menyenangkan sekaligus menegangkan berkat sorakan penonton. Haekal pun gagal melindungi gelas-gelas airnya dan harus menerima nasib ketika pakaiannya basah terkena air. Begitu pula Pras yang tampak kesulitan ketika menjaga gawang sodor dengan memakai pecak. Tak jauh berbeda dengan Erza, ia juga terganggu dengan penutup kepala milik Poo yang menghalangi pandangannya.
"Erza, Haekal, Pras, ayo semangat!"
Jika bukan karena Dhea, baik Haekal mau pun Erza tidak akan mau disuruh bersusah-payah memainkan permainan konyol ini, bahkan sekali pun itu permintaan pak lurah. Apalagi harus satu tim bersama Pras si tukang pamer. Namun, wajah ceria Dhea berhasil membuat keduanya rela keluar dari zona nyaman.
Bucin sejati memang tak pernah setengah-setengah.
Satu hal yang kami sadari adalah, tokoh kami semakin gila di setiap bab-nya wkwkwk
Semoga kalian tidak tertular virus ini
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro