Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua belas

Peluh menetes dari pelipis Erza, bergerak turun membasahi kaos rumahan bergambar manga Narto. Ia mengusapnya dengan punggung tangan, sembari terus menunduk memerhatikan alat pel di tangan. Sebelum sahur, Riana tidak sengaja menumpahkan kuah rawon. Sang adik nekat ingin membantu Dewi dalam keadaan setengah sadar setelah dibangunkan. Erza hanya menggelengkan kepala mendapati kebaikan Riana berdampak buruk baginya.

"Untung lo adek gue, Ri," gumam Erza.

"Beli sawi dua ikat, ya, Bu. Iya sama-sama."

Suara itu.

Erza seketika menoleh dan berjalan ke daun pintu yang terbuka. Benar dugaannya, sang kembang desa sedang berbelanja pada ibu-ibu penjual sayur keliling di dekat rumah.

Erza membawa alat pel ke teras, lantas menuangkan cairan pembersih lantai begitu saja tanpa dilarutkan dengan air. Sambil melirik Dhea yang mulai berjalan melewati rumahnya, Erza pun mengepel lantai dengan semangat.

"Wah, pagi-pagi udah sibuk aja ya, Er." Sapaan halus Dhea, membuat Erza menoleh dengan senyuman lebar.

"Eh, Dhea. Iya, nih, biar Ibuku ga terlalu capek, soalnya agak sorean nanti harus masak."

Dhea tak dapat menahan senyum kecilnya melihat kerja keras Erza. "Semangat, ya!"

Erza mengusap tengkuk salah tingkah. "Makasih, Dhe. Ngomong-ngomong, kamu dari mana?"

Dahlah, ngapain gue tanya pertanyaan kek gini. Udah jelas Dhea bawa sayur, masa dia dari gedung DPR.

Dhea mengangkat bungkusan plastik di tangan. Si kembang desa itu memang selalu tampil menawan, bahkan walau hanya dengan pakaian sederhana. Senyuman manisnya menghasilkan damage yang tak main-main.

"Nih, abis belanja di dekat rumahmu. Aku duluan, ya. Hati-hati lantainya licin!"

Erza meletakkan tangan di dada, merasakan pergerakan jantungnya yang seperti angin topan. Teringat sesuatu, Erza pun menyesal saat lantai yang ia tumpahkan cairan pembersih lantai tak kunjung kesat. Tangannya berulang kali membersihkan lantai agar tidak licin, bisa-bisa ia menjadi santapan empuk Dewi jika sampai ada yang terpeleset.

Damage Dhea emang gak ngotak. Perut gue, jangan berulah sampe azan maghrib, ye, lu!

"Eja, kamu ngapain ngepel teras? Emangnya yang di dalam udah selesai?"

Itu suara Dewi, wanita yang berteriak dari ruang tamu.

"Belum, Bu. Biar sekalian bersih aja," balas Erza sedikit berteriak.

"Oh yaudah, nanti ruang tamu sampe dapur jangan lupa diterusin ya, Nak."

Sial! Jadi senjata makan tuan. Padahal ia rajin demi Dhea, anak pak Lurah yang menyegarkan paginya hari ini. Namun, Erza tak sanggup menolak, ia mudah luluh jika Dewi sudah memanggilnya 'Nak'.

****

Haekal menatap air di depan matanya dengan pikiran berkecamuk. Padahal, itu hanyalah kolam kecil berisi beberapa ikan hias, tetapi dahaganya sudah meluap-luap. Efek menguras kolam ikan ternyata bisa sehebat ini.

"Kal, kolamnya udah selesai dikuras?"

Haekal mendongak, menatap Arum yang memasang bros di bahu. Arum tampak shining shimmering splendid dan sukses membuat Haekal mengernyitkan kening. "Udah, Bu."

"Tolong sekalian kamar mandi, ya, Kal? Ibu sama Bapak diundang buka bersama dengan temen SMA, sekalian ngajak Adinda. Gak apa-apa, kan, Kal?"

Haekal menelan saliva berat memikirkan harus berkecimpung dengan air lagi. Berurusan dengan kolam ikan saja sudah membuat imannya tergoda, apalagi bak mandi yang isi airnya lebih banyak. Nada bicara Arum memang lembut, keibuan, tetapi ada hawa ancaman yang seolah melambai dari balik punggung. "Iya, Bu, asal nanti Haekal dibawain sesuatu sebagai upah mandor."

"Hahaha, iya, nanti Ibu kasih makanan kalo kerjaan kamu bersih."

Haekal tertawa sumbang, mengangguk-angguk seraya menggaruk belakang kepala. Ia pun mengantarkan kedua orang tuanya serta Adinda sampai pintu. Lantas, Haekal segera beranjak menguras kamar mandi, demi oleh-oleh tak kasat mata yang ibunya janjikan.

****

"Gila, tepar gue!"

Itu suara Haekal yang kini berbaring telentang di atas lantai dapur. Pekerjaannya selesai, matanya terfokus pada pintu kulkas yang menyimpan beberapa makanan serta minuman. Haekal merasa hidup segan mati tak mau. Napasnya tersengal dan keringatnya banyak bercucuran.

"Kalo gue dehidrasi gimana ya?"

"Gak gak, gue strong. Mendingan jalan-jalan cari udara segar daripada ngebayangin batal puasa."

Haekal beranjak meninggalkan rumah setelah memastikan semua pintu terkuci. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah, aroma kaldu yang nikmat menyeruak menggoda bangirnya.

"Ini mi ayam, nih!" Haekal berjalan mendekat ke arah sumber aroma.

Warung mi ayam Pak Abdul ternyata telah dibuka dan terdapat beberapa motor dan mobil yang terparkir di sana. Memang, mi ayam Pak Abdul telah terkenal dan selalu ramai pengunjung terlebih di bulan ramadhan. Namun, pria berperut buncit yang murah senyum itu membuka warung sebelum waktu berbuka hanya untuk melayani pengendara yang sedang bepergian jauh. Sedangkan, Haekal yang menjadi pelanggan setia tak mungkin dilayani jika membeli sekarang.

"Maghrib masih dua jam lagi," kesal Haekal.

"Woi, ngapain lo liatin mi ayam Pak Abdul?"

Haekal mendengkus menemukan kehadiran Erza. "Lo sendiri ngapain di sini? Mau motel?" sindirnya.

"Gue bukan lo. Iman gue kuat."

Sungguh, wajah Erza tak terkondisikan sekarang. Sebab, ia juga ingin membatalkan puasa setelah kerja rodi, tetapi kemunculan Haekal membuatnya berpikir ulang. Tidak mungkin Erza membiarkan Haekal melihatnya memakan mie ayam.

"Kucel banget lo, kek orgil."

Erza menoleh ke arah Haekal. "Ngaca, lo juga kek orgil."

"Wajar, gue gini karena abis kerja rodi," bela Haekal.

"Gue juga. Abis disuruh ngepel serumah sama nyokap."

Haekal menertawakan wajah lusuh Erza, tampak sekali raut lelah di wajahnya yang mirip rentenir. "Gue nguras kolam ikan sekalian kamar mandi."

Tawa Erza menyembur. "Pantesan bau amis."

Haekal berdecak, memilih mengabaikan ucapan Erza karena dirinya juga merasa bau ikan.

"Gue laper."

"Sama, gue juga," sahut Haekal.

Seorang anak laki-laki berjalan melintasi mereka. Lantas, Haekal dan Erza berpandangan sejenak, lalu mengangguk.

"Dek, sini, deh," panggil Haekal.

"Apa, Bang?" tanya anak lelaki berkepala plontos.

"Beliin mi ayamnya Pak Abdul dua porsi, terus lo juga beli seporsi, Erza yang bayarin. Mau gak?" tanya Haekal seenak jidatnya.

"Serius, Bang?"

Erza beralih meyakinkan anak itu. "Serius. Cepetan, gih. Udah hampir kehabisan."

Setelah kepergian anak berkaos biru, Erza melirik Haekal yang juga melakukan hal yang sama. "Untung gue sultan."

"Sultan kw 1000."

Beberapa menit berlalu, Erza pun tersenyum lebar menatap bungkusan mi ayam yang berhasil didapatkan anak itu, begitu pula Haekal. Bedanya, Haekal kini sibuk mencium aroma mi ayam.

"Makan di sini, Er?"

"Di mana lagi? Lagian di sini sepi."

"Yaodah, sini aja."

Cacing-cacing di perut keduanya tengah melakukan aksi demo besar. Baik Erza mau pun Haekal kini begitu semringah setelah berhasil membuka bungkus mi ayam. Mereka mengambil sendok plastik di dalamnya dan menyuapkan mi sesegera mungkin.

"Mi ayam Pak Abdul emang juara banget, sih."

Haekal mengangguk setuju. "Gak heran warungnya selalu rame."

"Gue sejak kecil langganan. Gak bosen sampe sekarang."

"Ya sama, lo kan kalo beli bareng gue."

Erza terkekeh. "Kita ternyata akrab ye sebelum negara api menyerang."

"Baru nyadar lo."

Erza dan Haekal benar-benar mengisi perut kosong mereka yang keroncongan. Masakan Pak Abdul berhasil merukunkan keduanya. Mereka akan menikmati suapan terakhir sebelum sebuah suara menginterupsi.

"Erza, Haekal?"

Suara lembut itu membuat Erza dan Haekal membeku, tak ada satu pun yang berani menoleh.

Suara ini. Astaga, Dhea bisa-bisanya muncul sekarang, rutuk Haekal menunduk pasrah.

Erza menutup mata panik. Mampus, gue harus bilang gimana, nih, ke Dhea?


Gaesss !!
Masa aku nggak tau harus ngomong apa di sini ... Jadilah aku akhiri bab dua belas dengan kata Happy Reading

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro