dua aksi, usaha masuk tipi
Selama dalam perjalanan, baik Erza ataupun Haekal sama-sama menolak diam. Ada saja yang diributkan, dikomentari, lantas kembali beradu argumen. Begitu terus, hingga seseorang menyela mereka dengan dehaman sinis.
Namun, entah lelah atau ingin menghemat energi lebih lama—karena sewaktu sahur keduanya hanya makan seadanya, lagi—maka, dua jam dalam bus mereka isi dengan keheningan.
Erza menyembunyikan wajah di balik tirai bus, menghalau sinar matahari yang menyorot tepat ke arahnya.
Ah, sialan, lemasnya dobel-dobel kalau begini ceritanya!
Sedangkan laki-laki yang menyandang predikat sad boy di sampingnya itu hanya menunduk, mengetukkan jari di atas kardus yang dipangku.
Kenapa nggak ditaruh di bawah aja, sih?
Lagi, Erza mengembuskan napas dengan gaya berlebihan. Bosan, ia benar-benar bosan! Sebagai manusia generasi zaman sekarang, tentu handphone menjadi satu-satunya penyelamat di situasi seperti ini. Namun, handphone tanpa kuota apalah artinya. Tidak ada. Ingin main game, tetapi malu karena permainan yang dimiliki Erza hanya Pou.
Ya ... tentu karena dalam satu aplikasi terdapat banyak permainan. Menghemat memori, pikirnya. Juga karena Pou tak perlu jaringan data untuk dapat dimainkan.
Bus yang mereka naiki hampir tidak bergerak sama sekali selama satu jam. Macet, itulah alasannya. Kendaraan memanjang hampir sepuluh kilometer di jalanan tol Cipali.
Erza kembali memusatkan atensi ke arah luar tanpa minat. Alisnya perlahan menukik ke bawah sejurus dengan netranya yang menyipit. Dengan ragu, ia bergumam, "Itu reporter, 'kan?"
Tampaknya Haekal mendengar gumaman tersebut. Ia tegakkan tubuh dengan leher yang sedikit melongok untuk melihat, mencoba ikut mengintip tanpa ketahuan Erza. Namun, gagal. Erza yang lebih dulu menyadari gelagatnya langsung bertanya, "Apa lo deket-deket? Jangan coba-coba tularin virus ditolak cewek ke gue, ya!"
Haekal melotot, tidak terima tentu saja. "Lo 'kan juga pernah ditolak, Dodol!"
Erza mengerjap. "I ... iya, sih. 'Kan kita dulu pernah naksir cewek yang sama. Tapi itu pas SD!"
"Sama aja! Jatuhnya, ya, ditolak! Di-to-lak!" balasnya menekan akhir kata
"Lo lima belas kali, gue cuma sekali."
"Itu, tuh, tanda kalau nanti gue bakal dikejar lima belas cewek sekaligus!" Nadanya terdengar sangat yakin dan bangga, terlalu menjiwai hingga tawa Erza meledak.
"Apa? Apa lo bilang?" Tawanya semakin kencang, tak peduli tatapan sinis yang dilayangkan orang di sekitarnya. "Dikejar? Cewek? Cewek ngejar lo? Sue! Gue nggak bisa berhenti ketawa, anjir! Dikejar utang kali, ah!"
"Itu mah, lo kali," Haekal membalas asal.
Kicep. Erza diam, tawanya lenyap seketika. Buru-buru ia mengalihkan pandangan. Lagi, atensinya jatuh pada reporter yang akan bersiap meliput, buru-buru laki-laki itu melihat jam tangannya. Sudah jam dua belas siang, pantas.
"Boring, nggak?"
"B aja tuh."
"Ya udah, minggir lo, sultan mau lewat." Tangan Erza dikibaskan tepat di depan wajah Haekal. "Woe, ah, elah! Ini kardus lo singkirin dulu kali."
Haekal mendengkus, tetapi tetap bertanya. "Ke mana?"
"Keluar, bentar." Dagunya menunjuk satu titik. "Mau ke sana, siapa tau gue kena kamera dikit, hehe. Ikut, nggak? Siapa tau juga, nih, cita-cita lo buat dikejar lima belas cewek dikabulin waktu mereka lihat lo ada di TV."
"Thanks sarannya. Tapi gue males." Disisirnya rambut ke belakang, mencoba terlihat lebih keren. "Tapi, okelah, lo makin nyebelin kalau maksa. Ayo!"
****
"Ya, Yoga, dan juga para pemirsa, selamat siang. Situasi arus lalu lintas di Tol Cipali terpantau cukup padat. Akibat kemacetan, kendaran mengular hingga sepuluh kilometer. Karena sejak kemarin volume kendaraan di Tol Cipali terus meningkat ...."
Di pinggir ruas jalan Erza dan Haekal tidak berhenti berdebat kecil. Keduanya bahkan beberapa kali dijadikan bahan tontonan pengendara lain.
"Kurang deket, anjir. Mana keliatan kita kalau di sini!" Erza menghardik.
"Malulah! Dikira orang bego. Lo aja sana, gue di sini juga nggak apa. Udah seneng gue liatin mbak reporternya, cantik banget, buset."
"Puasa, inget."
"Astaghfirullah."
Keduanya menghela napas. Salah jika mengira mereka hanya puas menonton dalam jarak cukup jauh. Tidak. Mereka ingin lebih, minimal terlihat di layar televisi.
"Gue ada ide! Gimana caranya kita bisa keliatan di TV tapi nggak keliatan kayak orang gila." Erza tersenyum semringah, terpancar sorot bangga di kedua manik matanya. "Kita pura-pura lewat aja!"
"Itu lucu, sayangnya ketawa gue mahal."
"Gue serius!" balasnya tak kalah sewot. "Itu ada pos buat mereka istirahat. Kita pura-pura minta minum aja, tapi nanti sambil lewat belakang mbaknya. Atau, kalau mau lebih lama, pura-pura aja tali sepatu kita copot. Tapi ... ah, sialan, gue 'kan pake sandal!"
Haekal tergelak. "Nyeker aja udah! Nanti pura-pura kaki lo kena kerikil atau apa gitu, terus lo deh, kejang-kejang di sana."
"Wow, impresif! Sangat mengesankan," Erza kembali menyindir dengan nada sarkas. "Tapi serius, lo nggak pengen gitu, wajah lo bisa ada di TV? Yeah, kesempatan emas, bung! Bayangin reaksi orang tua lo pas liat anak bujangnya debut di TV."
Haekal meringis, tetapi tetap membayangkan reaksi ibu dan bapaknya.
"Gimana? Atau, lebih beruntung lagi, habis kita debut perdana di TV, terus tiba-tiba ditawarin jadi figuran, lanjut ke pemeran pembantu, daaan ... pemeran penting, teruuus pemeran utama! Woah!" Erza dan segala pikiran kelewat positifnya, Haekal biarkan tanpa membantah.
"Woe, Budeg! Malah diem."
Haekal menggaruk pipinya sekilas. Pipinya terasa terbakar. "Ya udah, ayo. Gue dulu yang lewat, ya." Lantas, setelahnya ia melenggang menjauh, berjalan ke arah reporter dengan kepala menunduk, tetapi matanya tetap melirik. Sengaja langkahnya ia pelankan.
Sementara itu, reporter wanita tersebut masih berbicara, sesekali menunjuk arah kemacetan jalan.
"Kemacetan sudah terjadi sejak jam delapan pagi tadi, beberapa pengguna jalan mengaku hendak mudik pulang kampung. Di antara bahkan sudah berangkat pagi untuk menghindari kemacetan ini. Untuk mengatasi kemacetan polisi juga menyisir di bahu jalan ...."
Haekal hampir tersungkur saat dari belakang Erza menepuk keras bahunya, kemudian merangkul kuat dan tertawa tanpa alasan.
"Udah ketawa aja."
Haekal menurut.
Baru saja mereka hendak ke pos yang dimaksud, reporter tersebut menginterupsi.
Akhirnyaaa, ini yang gue tunggu! Masuk TV!
"Selamat siang, siapa namanya, Mas?" Reporter tersebut mengarahkan microphone ke arah Erza, membuat Haekal tersenyum kecut.
"Erza."
"Haekal."
Persetan ditanya atau tidak! Tidak mungkin Haekal akan berdiam diri sedangkan Erza mulai beraksi.
"Ini mau ke mana, Mas?"
"Mudik ke kampung halaman, Mbak."
"Oh, asalnya dari mana?"
"Kami dari Jakarta Barat."
Reporter tersebut mengangguk. "Baik, udah berapa jam nih, macetnya?"
Keduanya serempak terdiam, mencoba mengingat. "Mungkin ... sekitaran jam sembilan sepuluh kali, ya?" jawab Haekal.
"Iya, benar. Ini saya sampai capek duduk," Erza menimpali, lagi-lagi tak ingin ketinggalan.
Si reporter mengangguk. "Baik, terima kasih, Mas. Semoga perjalanannya lancar."
Erza dan Haekal menampilkan wajah kecewa. Sesi tanyanya telah berakhir. Kenapa cepat sekali? Bahkan Erza belum puas berbicara, apalagi Haekal yang belum menebar senyuman. Ya ... siapa tahu ada yang kecantol, 'kan?
Sebelum reporter tersebut berbalik, Erza dengan sigap langsung berbicara, menarik kembali atensi sang reporter dan terpaksa menyerahkan mic.
"Ya, pesan saya, pokoknya hati-hati di jalan. Stay safe buat semuanya. Semoga lebaran kali ini kita bisa berkumpul bersama keluarga ...."
"Oke, baik, terima kasih banyak, Mas Erza, Mas Haekal." Reporter tersebut menyela ucapan dengan baik. Ia berbalik, menghadap kamera seraya berkata, "Saya Adinda, dari Tol Cipali melaporkan. Kembali ke studio."
Erza tersenyum lebar. Cukup puas untuk kali ini. Pun dengan Haekal, setidaknya, ia sudah beramal dengan menebar senyum paling menawan—setidaknya menurut dia sendiri.
Dari bab 'dua aksi, usaha masuk tipi' melaporkan dari tempat kejadian. Saya Nurand kembali ke studio.
Yak!! Terima kasih, buat para widiters yang bersedia mampir ke sini. Jangan lupa tinggalkan uang ( ehh vote dan comment ) supaya kita bisa lebih malas lagi.
See you !!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro