7.0 Pertemuan Baru
Ian tidak pernah membayangkan dirinya akan bergelut dengan tepung dan adonan-adonan roti seperti ini. Dulu yang ada dibenaknya adalah jika ia bukan bekerja sebagai juru gambar, maka ia akan menjadi seorang pengawas saja di lapangan. Namun, siapa yang tahu jika semesta ternyata lebih merestui Ian untuk bekerja di sebuah toko roti milik bibinya Rigel.
Sebenarnya, nalar dan nuraninya masih belum bisa menerima. Akan tetapi, ia harus bersyukur ketika kabar buruk itu datang dan tersenyum kepadanya, tak butuh waktu lama Ian langsung mendapatkan pekerjaan baru. Ia tidak tahu apa jadinya jika ia tidak bertemu dengan Rigel dan Rud saat pertama kali ia sampai di Bandung. Bisa saja kehidupannya jauh lebih susah dari sekarang.
“Ian, apa yang membuatmu mau bekerja di toko roti Bibi?” tanya Bi Arum sambil membuat adonan roti.
Ian mengembuskan napas panjang, lalu tersenyum. “Ian tahun ini mau mudik, Bi. Jadi, Ian harus lebih rajin bekerja.”
“Ah, begitu. Sebenarnya Bibi agak kaget ketika ditanya sama Rigel punya lowongan pekerjaan atau tidak. Tapi memang kebetulan Bibi memang punya. Awalnya Bibi kira Rigel bakalan bawa teman perempuannya. Tahunya yang datang laki-laki ganteng kayak kamu.”
“Ah, Bibi bisa saja.”
“Kamu yang semangat, ya, kerjanya. Apa pun pekerjaan kamu saat ini, terima saja dengan lapang, Yan. Rezeki kita tidak tahu datangnya dari siapa. Yang penting sama-sama halal dan pekerjaan itu benar. Walaupun di toko roti seperti ini.”
“Ian sangat berterima kasih sama Bibi sama Rigel. Walaupun Ian tidak tahu bagaimana caranya membuat roti, tapi kalian sudah mau menerima Ian kerja di sini.”
“Santai saja. Masalah membuat roti mah itu skill yang bisa dipelajari seiring berjalannya waktu.”
Kemudian, Ian tesenyum. “Terima kasih.”
Meskipun semesta masih berjalan di pertengahan hari, toko roti milik Bi Arum tidak pernah sepi pembeli walau tidak terlalu ramai. Beliau benar, rezeki manusia bisa datang dari siapa aja. Ia tidak boleh berpikiran jika ia diberhentikan dari suatu pekerjaan sebelumnya, maka semuanya sudah benar-benar berakhir.
Dengan hati yang lapang, Ian bekerja sepanjang hari penuh semangat. Laki-laki itu melayani pengunjung dengan senyum, mendata roti-roti dengan hati-hati yang berhasil terjual hari ini. Bi Arum pun yang melihat ia bekerja begitu tekun sangat senang.
“Sebenarnya Bibi sudah tahu semuanya dari Rigel, Ian,” ujarnya pelan.
👿👿👿
Pada perjalanan pulangnya sore ini, Ian terpaksa harus menaiki angkutan umum sebab jarak dari toko roti Bi Arum ke indekosnya lebih jauh daripada tempatnya bekerja sebelumnya. Ia sudah tidak bisa lagi melakukan perjalanan dengan berjalan kaki seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tak apalah. Ia bisa lebih mengenal Bandung daripada sebelumnya.
Selama di perjalanan, yang ian lakukan hanyalah diam sambil sesekali menggulir laman sosial media yang menyugguhkan banyak thread dari orang-orang yang menurutnya sangat keren bisa berbicara banyak sesuai apa yang mereka rasakan di dunia maya. Di dalam angkutan umum tidak terlalu sesak. Hanya ada seorang ibu-ibu dan satu mbak-mbak yang menurutnya memiliki wajah yang sedikit rumit untuk dijelaskan. Sepertinya mbak-mbak itu adalah bule blasteran.
Tiba-tiba, di ponselnya terdengar bunyi notifikasi. Dengan segera, Ian mengecek dari siapa pesan itu di kirim. Lalu, ia tersenyum sambil mengembuskan napas berat. Ternyata itu adalah pesan dari grupnya sewaktu SMA di WhatsApp yang mengajak untuk mengadakan reuni sekaligus buka bersama di Surabaya.
Sial. Entah kenapa banyak sekali hal-hal kecil seperti ini yang membuatnya semakin rindu dengan kampung halaman. Jika dulu ia adalah manusia yang tidak pernah absen saat ada acara buka bersama dengan teman-temannya, berbeda dengan beberapa tahun terakhir di mana ia selalu tidak bisa hadir karena alasan pekerjaan dan keinginannya untuk mencari pengalaman di tanah orang. Kemudian tangannya mengetik sesuatu mengirim pesan balasan.
Maaf, tahun ini pun gue nggak bisa datang ....
Pikirnya, ramadhan kali ini banyak sekali cobaannya. Entah karena ia sudah terlalu lama di bandung pada akhirnya ia rindu sekali dengan rumah, entah karena tahun-tahun sebelumnya ia terlalu semangat menggapai apa yang ia inginkan sampai-sampai lupa pulang.
Saat kepalanya sedang sibuk mengenang tapak tilang tentang kegilaan teman-temannya di Surabaya, sepasang telinganya mendengar sedikit percakapan di antara seorang peremuan dan laki-laki. Ian mengerjap. Setelah sadarnya kembali berdiri di bumi, laki-laki itu menyadari jika angkutan yang ia naiki sudah berhenti dan mbak-mbak yang duduk di depannya pun sudah tidak ditempatnya lagi dan sedang berdebat dengan supir angkutan umumnya.
“Are you sure, Pak? Setahu saya dulu, ongkos naik angkot itu cuma tiga rebu. Kok, sekarang jadi mahal banget, Pak?”
“Emangnya kapan Mbak terakhir naik angkot, Mbak?” tanya sang supir.
“Mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu, Pak.”
“Nah, itu kan sepuluh tahun lalu, Mbak. Sekarang udah beda.”
“Masa sih, Pak?”
“Iya.”
Perempuan itu mendengkus, lalu mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu. Namun, sebelum ia benar-benar memberikannya, tiba-tiba lengan seorang laki-laki menghentikannya dan membayar ongkos yang semestinya memakai uangnya.
“Dia teman saya, Pak. Bapak tidak bisa seenaknya. Jujurlah, Pak. Apalagi ini bulan Ramadhan.”
Ian lihat, supir angkot itu memasang tampang tidak terima. Namun, meskipun begitu ia memilih pergi meninggalkan Ian dan mbak bule itu dipinggir jalan.
“Mbak nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ian.
Hanya saja, ia yang ditanya tidak menjawab apa pun. Sepertinya perempuan itu sedikit terkejut dengan tarikkan tangan Ian yang begitu tiba-tiba.
“Mbak ... Mbak ...,” ujar Ian sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah perempuan itu, “Mbak mengerti apa yang saya ucapkan, ‘kan? Mbak ... did i surprised you?”
“Ah, sorry. Saya cuma terkejut,” ucapnya.
“Tidak apa-apa, Mbak. Tapi lain kali hati-hati, ya. Jangan percaya gitu aja sama orang. Sayang banget tadi kalau Mbak sampai bayar lima puluh ribu.”
“Iya, Mas. Makasih, ya.”
Ian mengangguk. Akan tetapi, laki-laki itu tak lekas pergi. Ia justru berdiri di samping mbak-mbak itu sambil menunggu angkutan umum selanjutnya.
“Omong-omong, Mbak orang mana? Kok bisa sampai ketipu gitu?” tanya Ian.
“Saya orang Australia, Mas. Tapi ibu saya asli Surabaya,” jawabnya.
“Surabaya?” kali ini, nada bicara Ian terdengar sedikit bersemangat, “Saya juga asli Surabaya, Mbak.”
“Oh, ya? Kok bisa kebetulan gini, sih,” ujarnya sambil tersenyum ke arah Ian, “Omong-omong, Mas-nya siapa namanya?”
“Saya Ian, Mbak.”
“Ah, Ian. Perkenalkan. Saya Lady. Makasih, ya, sebelumnya.”
Lalu, yang tanpa mereka sadari semesta sedang tersenyum dengan rencana-rencana mengagumkannya kepada mereka. Obrolan-obrolan kecil itu membawanya kepada sebuah jalur baru yang bahkan belum pernah Ian pijaki sebelumnya. Semesta, berdoalah.
- Astaroth Team -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro