6.0 Peraduan Di Sepertiga Malam
❣ Dianjurkan membaca saat puasa ❣
(Gado-gado, es buah alpukat kelapa, gorengan, kolak)
Langit masih konstan menampilkan kanvas hitamnya, rasi bintang yang entah apa namanya masih jelas terlihat. Suara panggilan solat pun belum terdengar, sosok pemuda berumur dua puluh tahun sudah menyelesaikan sahurnya. Kedua kakinya ia langkahkan ke keran yang ada di depan indekosnya untuk mengambil air wudu.
Dengan cekatan ia mengenakan sarung dan kopiah di dekat lampu belajar yang ia beli di Pasar Kebon Sirih dan juga berlembar-lembar draft yang ia kerjakan kemarin. Dengan segera ia membentangkan sajadah dan takbiratulihram. Peraduan di sepertiga malam ia lakukan sejak awal puasa, kesempatan mendekatkan diri kepada Sang Kuasa untuk mengadukan segala gundah-gulananya hati. Perihal semesta yang tak lelah memberi kejutan juga takdir yang selalu menyiapkan permainan luar biasa di luar kepala.
Mulut pemuda itu dengan lirih mengucap istigfar, lantunan kata memohon ampun ia kumandangkan dalam hati, terus meminta kemudahan supaya hajatnya terpenuhi. Detik terus bergulir dan dialog yang pemuda itu amin-aminkan terpaksa ia sudahi sebab sebuah suara yang begitu familier terdengar.
"Ian! Buka pintunya, woe! Gue minta air termos lo! Keburu imsak woe, Ian!"
Dajal si Rud, mah. Ian melipat sajadahnya menjadi dua. Menuju ke dapur dan segera membukakan pintu. "Besok-besok, pulang tarawih langsung siapin air panas buat sahur, Rud. Kebiasaan lo minta mulu," ucap Ian dengan tangan kanan memberikan termosnya.
"Iya-iya, tapi, ya, kagak usah setermos-termosnya juga, Yan. Gue cuma butuh air di dalemnya asli."
"Ambil, terus kembaliin ke dapur." Pemuda itu masuk ke kamarnya lagi, Rud yang sudah selesai lalu mengembalikan termos dan menengok Ian di kamarnya.
"Yan, sumpah makasih. Btw, lo abis ngapain pake baju kek mau tarawih begitu?"
Rud melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. "Mending lo keluar dari kamar gue, Rud. Hawa lo nggak diterima di sini."
"Semprul! Emangnya gue lelembut? Ngarang!" sungut Rud dengan decakan. "Eh, jangan lupa jam lima kita ke bibinya si Rigel. Lagi banyak yang pesen roti buaya katanya."
"Hm."
"Astaga, cuma dijawab hm?"
"Nggak usah teriak-teriak juga kalik, Rud. Tu iler lo kececeran di mana-mana."
Rud dengan cepat mengelap ujung bibir kanannya. "Halah, tinggal dikit. Lagian, yang namanya iler mah nempel, ini udah membeku kalik. Kecuali ...."
"Udah-udah, keburu imsak. Buruan sahur sana, bahas ilernya nanti lanjut sama si Rigel."
Mau tak mau Rud pun meninggalkan indekos Ian. Sedangkan si tuan rumah kembali duduk di pinggir kasurnya. Menunggu waktu subuh sambil membuka gawai, menghidupkan tilawah al-qur'an surah kelima puluh lima. Detik berikutnya, jemarinya mengklik ikon Whatsapp.
Sudah lama ia tak mengabari ibunya, apakah beliau sudah bangun? pikir Ian.
Ian
Bu, assalamu'alaikum. Gimana kabar rumah, Bu, sehat-sehat, 'kan? Maaf, kemarin-kemarin Ian jarang kabarin rumah karena lagi banyak kerjaan, Bu.
👿👿👿
"Lo ambilin margarin. Terus olesin, deh, tu ke loyang di depan gue. Terus pindahin adonan yang udah dibuat buaya. Nanti biar Bibi yang masukin ke oven, sementara kasih loyangnya ke samping roti buaya yang ada di meja." Rigel memberi arahan ke Ian yang baru saja selesai mencuci tangan karena tadi tangannya kotor setelah mengetim cokelat batang dan membuat selai stroberi untuk isian roti buaya.
"Gue ngapain, Gel? Masak cuma ngocok adonan mulu dari subuh sampe mau zuhur begini."
Gadis berambut sebahu yang tengah sibuk menghias salah satu roti buaya yang sudah jadi, melirik malas ke pemuda yang tengah berbicara padanya. Lalu meneruskan pekerjaannya lagi.
"Gel! Malah diem, gue serius nanya. Kasih kerjaan yang lebih menantang gue, dong, yang lebih laki kalo ada. Masak cuma nyampur tepung, ngocok telur, mikser adonan. Bosen, Gel."
"Gel, woe!"
"Masuk oven deh sana! Berisik mulu, kerjain aja udah."
"Yah, mateng dong gue. Masak gue ...."
"Udah, Rud. Kerjaiin aja. Nanti tahu-tahu juga kelar. Bentar lagi zuhur, kita solat dulu. Boleh nggak, Gel?"
Rigel mengangguk sambil mengelap keringatnya di pelipis. "Sans, Bibi gue sipit, cuma dia islam, kok. Nggak usah khawatir. Pasti boleh."
"Lah, Bibi lo sipit, putih, tinggi kok lo begini?"
"Rud .... " Ian menepuk lengan sahabatnya pelan. Sedangkan, Rigel sudah mendelik sambil menelisipkan rambutnya yang menjuntai ke telinga.
"Lo kira gue anaknya dia? Gue anaknya Mama gue kalik! Ovumnya beda, ya, hasilnya bedalah! Belajar biologi makanya."
"Udah, Gel. Rud khilaf, lo mau gue bantu? Ini pesanan buat apa? Kok dihias segala?"
"Iya, tolong ambilin keju yang udah gue parut tadi, lo tabut-taburin aja."
Rud, mendekatkan kepala ke kedua sahabatnya. "Tapi asli, gue nanya. Kok bisa beda? Kan, masih ada garis keturunan yang .... "
"Rud." Ian kembali bersuara, berniat memperingati sahabatnya yang begitu susah dikendalikan rasa ingin tahunya. Pantas, nilai yang dosen berikan padanya selalu tinggi.
"Bentar, gue mau wudu dululah, emosi ngomong sama si Rud lama-lama." Rigel meletakkan nampan berisi roti buaya berukuran besar ke meja tengah di dapur milik bibinya.
"Asli, gue nanya."
"Udah, Rud. Istigfar, deh, lo, sana. Bikin orang puasa sampe marah tu dosa. Jangan sampe lo yang dosa, yang kena azab si Junior, terus ntar pulang alamat bawa ke bengkel uang lo abis."
"Gue penasaran .... "
Ian berdecak, menangkup wajahnya dengan kedua tangan sarkas. "Ya, udah. Iya. Gue mau wudu juga, bye."
"Salah gue di sebelah mana coba?" Rud masih mengerutkan kening, dengan mulutnya yang terus bermonolog ia tersadar kalau ia ada di dapur sendirian. "Eh, eh, tunggu, Yan! Gue ikut, woe!"
👿👿👿
Azan sudah berkumandang, tanda waktu berbuka telah tiba, dengan semangat dua pemuda langsung menyantap kolak pisang, sedangkan Rigel tengah asyik menikmati es buah alpukat kelapa muda. Hirup-pikuk Kota Bandung mengiringi buka puasa mereka. Pedagang asongan yang tadi sibuk berteriak menjajakan jajanan tengah duduk di pinggir-pinggir jalan. Membatalkan puasa mereka, dengan sesekali mengucap hamdalah.
"Asyik, nih, kalau kita rajin-rajin buka di pinggir jalan begini. Murah iya, enak iya, suasananya juga lumayan," ucap Rud dengan mulut yang terus mengunyah pisang ambon yang ada di kolak. Ian mengangguk setuju, begitu juga dengan Rigel.
"Lebih enak kalo kita langsung makan, asli gue laper banget. Buat roti buaya seharian ternyata seribet itu."
Rud menggeleng nampak tak setuju. "Orang gitu doang, sebelah mananya yang ribet, Gel?"
"Rud, jangan mulai. Rigel, udah." Ian merentangkan tangannya, mencoba memadamkan percik-percik kemarahan di antara dua sahabatnya itu.
"Kerjaan lo cuma ngocok telur sama mikser adonan diem ajalah."
Mulai lagi. Ian membatin dalam hati.
"Lah, yang ngasih tugas begitu, 'kan lo, Gel. Gimana, sih!"
"Udah, udah. Yuk, makan. Mau apa kalian? Gue mau gado-gado sama gorengan."
"Samain aja, lah. Nih, uangnya." Rigel berterima kasih setelahnya. Kemudian, Rud tampak menimbang-nimbang. "Gue juga samain aja, Yan. Uangnya pake lo dulu."
Rigel melotot ke arah Rud tiba-tiba. "Dih, hemat di lo, boros di Ian. Dasar nggak punya belas kasih, Ian tu mau hemat buat mudik, malah lo plorotin mulu."
"Gue utang, bukan mlorotin."
"Udah, Gel, Rud. Oke, gue samain semua." Ian berdiri menghampiri gerobak gado-gado yang ada di samping mereka. "Bu, gado-gado tiga, sama gorengan lima ribu, ya."
***
Sedangkan, di sebuah rumah sederhana, sosok wanita paruh baya berusia hampir berkepala lima berjalan mendekati suaminya dengan perasaan gusar yang sedari kemarin mengisi pikirannya.
"Pak, Ibu kok takut, ya."
"Takut kenapa, Bu? Pasti soal Ian. Sudah, ndak perlu khawatir. Ada Allah yang jagain anak kita, yang penting kita selalu do'ain dia. Bapak yakin, Ian itu sudah besar, dia pasti baik-baik saja di sana." Maman meletakkan kacamatanya, tangan sepuhnya menutup kitab suci terjemahan yang sedang dibaca dengan pelan dan tak lupa mencium sampulnya.
"Ibu tadi pagi di-WA Ian, nanyain kabar kita, Pak. Cuma, itu lo, perasaan ibu nggak enak, apa jangan-jangan dia lagi kenapa-napa, ya, Pak? Ibu sudah tanya, lan, kok dijawabnya ndak papa."
"Nah, itu. Jawaban Ian saja sudah ndak papa, berarti dia ndak papa, Bu. Kok khawatir terus."
"Iya, Pak. Ibu ngerti, cuman ... Ibu kasihan kalo dia kenapa-kenapa di tanah orang, Pak. Ibu, juga belum tanya dia mau mudik atau ndak."
"Bismillah, Bu. Kalo memang rezeki, si Ian bakal pulang. Kalo nggak, ya, ndak papa, berarti itu yang terbaik. Si Tee masih suka sedih?"
"Sudah, ndak, Pak. Malah gantian ke Ibu." Hanin masih dengan raut kekhawatirannya menatap sang suami lesu.
"Sudah, mending sekarang, Ibu siap-siap tarawih, nanti berangkat sama-sama, Tee diajak sekalian, Bapak mau ke rumah Pak Tasman sebentar." Maman meninggalkan kediamannya dengan pakaian koko yang sudah rapi ia kenakan. Perihal kenapa ia ingin bertemu Pak Tasman, karena tetangganya itu punya anak yang juga merantau di Bandung. Pria paruh baya itu ingin menanyakan apakah anak Pak Tasman kenal dengan Ian atau tidak.
- Astaroth Team -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro