5.0 Pemutus Asa
❣ Dianjurkan membaca saat Puasa ❣
(Roti Buaya, Sprite)
Siang itu matahari begitu terik. Dalam keadaan puasa seperti ini, biasanya tenggorokan akan terasa sangat kering dan panas layaknya gurun Sahara. Ian yang berada dalam kos sudah duduk di depan kipas. Merasa kurang, ia menekan tombol kipas paling atas agar benda itu berputar dengan kecepatan maksimal.
Ian mengalihkan atensinya ke gawai yang ia pegang, hendak melanjutkan aktivitas menontonnya yang tertunda. Hitung-hitung refreshing sehabis bekerja.
"Nyatanya, Sprite tetap dengan lemon lime yang nyegerin gerah. Kini, botolnya jernih biar gampang didaur ulang. Sprite, nyatanya nyegerin."
Ian melotot saat melihat iklan yang lewat di YouTube itu. "Ini yang pasang iklan orang mana, sih? Gak tau apa orang lagi puasa? Mana cuaca ngedukung banget," kesalnya.
Ian yang hendak melanjutkan aksi mengomelnya mendadak terdiam saat ada telepon masuk. Dia langsung menggeser tombol hijau saat nama Pak Jumadi terpampang di layar. Pak Jumadi adalah direktur dari tempatnya bekerja.
"Selamat siang, Ardian." Suara bariton langsung terdengar dari seberang sana.
"Selamat siang, Pak. Maaf, tapi ada keperluan apa, ya Pak?"
"Begini ...." Ian bisa mendengar Pak Jumadi menghela napas. Tentu saja itu membuatnya tegang. Keningnya sudah mengerut, menebak-nebak apa yang ingin Pak Jumadi sampaikan.
"Saya tau hari ini kamu harusnya tidak datang ke perusahaan, karena sedang masa libur. Tapi, ada sesuatu yang harus saya sampaikan. Jadi, datang ke ruangan saya secepatnya. Saya tunggu di ruangan saya sampai jam satu siang."
Mendengar itu, Ian langsung menurut. "Baik, Pak. Saya akan datang."
"Terima kasih, Ardian. Selamat siang." Sambungan telepon pun terputus.
"Pak Jumadi mau ngomong apa, ya?" gumam Ian. Pemuda itu lantas menatap jam di ponselnya yang menampilkan angka 11.23. Dengan cepat, dia beranjak dari tempat duduknya dan segera bersiap-siap.
👿👿👿
Ian tidak langsung masuk saat tiba di depan pintu bercat cokelat. Dia melirik nama ruangan bertuliskan ruang direksi yang tergantung di atas pintu. Ian memegang dadanya, lalu mengatur napas. Merasa siap, dia lantas mengetuk pintu.
"Masuk!" Suara Pak Jumadi terdengar.
Ian memegang kenop pintu dan mendorongnya. Usai menutup pintu kembali, dia melangkah menuju meja Pak Jumadi.
"Silakan duduk," ujar pria berkulit sawo matang itu sambil tersenyum.
Walau Pak Jumadi ramah, tetap saja Ian merasa tegang. Ruangan yang terasa dingin karena AC seolah menambah kekakuan tubuhnya. Bisa-bisa Ian membeku.
"Begini, Ardian." Pak Jumadi mulai membuka percakapan kala Ian duduk berhadapan dengannya.
"Sudah lima bulan perusahaan mengalami defisit. Saya dan direktur utama sudah berdiskusi secara mendalam, dan akhirnya Dirut membuat sebuah keputusan."
Ian menggigit bibirnya. Jantungnya sudah berdebar tak karuan. Ia mengepalkan tangan kirinya yang mulai gemetaran. Dalam hati, Ian terus merapal doa. Berharap apa yang dia pikirkan tidak akan terjadi.
"Direktur utama memutuskan untuk mengurangi jumlah karyawan. Ini sudah keputusan final beliau. Total seluruhnya, ada delapan karyawan yang terpaksa kami PHK."
Pak Jumadi terdiam sebentar, lalu menghela napas. Setelahnya, pria berusia tiga puluh dua tahun itu melanjutkan kalimatnya, "termasuk kamu, Ardian."
Napas Ian tercekat. Mendadak dadanya terasa begitu sesak, seolah seluruh saluran pernapasannya menyempit. Dia berusaha untuk tidak menangis, walau matanya mulai terasa panas. Padahal tahun ini dia berniat untuk pulang ke kampung halaman. Kalau begini, bagaimana?
"Terima kasih atas usaha dan kerjasamanya selama ini. Itu sangat berarti bagi kami. Ini pesangon untuk kamu." Pak Jumadi menyodorkan amplop cokelat. Dengan berat hati, Ian menerimanya.
"Terima kasih, Pak."
Usai berpamitan, Ian keluar dari ruangan. Dadanya masih terasa sesak. Sesekali ia menunduk untuk menyeka bulir-bulir air matanya yang mulai turun.
"Ma, Pak, Tee, Ian pengen banget pulang, tapi kalau gini, Ian harus gimana?" monolognya seraya sesenggukan.
👿👿👿
Dengan lesu, Ian masuk ke kosnya. Dia duduk bersandar pada dinding dengan tatapan kosong. Uang pesangonnya tidak cukup untuk ongkos mudik. Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Lagi-lagi air mata Ian menetes. Apalagi saat mengingat Tee dan air kelapa. Baru semalam dia berkata dalam hati akan segera minum air kelapa bersama adiknya. Hari ini malah ditampar oleh kenyataan yang sangat pahit.
Rud masuk sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. Tampak keringat bercucuran dari dahinya.
"Panas banget hari ini. Yan, gue nebeng kipas lo." Rud menekan tombol teratas agar benda itu berputar dengan kecepatan maksimal, lalu duduk di depan kipas.
"Ademnya. Berasa surga dunia," ujar Rud senang sambil memejamkan mata.
Merasa tidak direspon apa pun, Rud membuka matanya dan menoleh ke arah Ian. Sontak pemuda itu membulatkan matanya dan langsung mendekati Ian.
"Eh! Lo kenapa? Mata lo keringatan? Atau kelilipan? Kemasukan debu?" panik Rud, "coba sini gue tiup."
Ian hanya diam, membiarkan Rud meniup matanya.
"Masih perih? Kemasukan apa, sih?" tanya Rud lalu kembali meniup mata Ian.
"Ian. Gue numpang kipasan, ya. Kipas gue rusak." Rigel datang sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan potongan kardus. Melihat Ian yang mengeluarkan air mata, Rigel tersentak dan langsung mendekat.
"Rud! Ian kenapa?" tanya Rigel dengan nada panik.
"Gue gak tau. Pas gue datang udah kayak gini anaknya. Makanya gue tiupin, kali aja matanya kelilipan."
Rigel kembali menatap Ian, lalu menoyor kepala Rud. "Semprul! Dia gak kelilipan, tapi nangis! Gak liat apa sampe ingusan gitu?"
"Eh? Iya juga." Rud menyengir dan buru-buru menghindari tangan Rigel yang hendak menaboknya lebih keras.
"Yan, lo kenapa? Ada masalah?" tanya Rigel.
"Iya. Cerita dong, Yan. Gue bingung kalau lo diam aja." Rud kembali mendekati Ian dan duduk di sebelahnya.
"Gue di PHK."
Jawaban singkat Ian membuat Rigel dan Rud terkejut, layaknya mendengar petir di siang bolong. Mereka bertukar pandang sesaat, lalu kembali menatap Ian.
"Di PHK? Tapi kenapa?" Kali ini Rud yang bertanya.
"Perusahaan lagi defisit. Jadi ada pengurangan tenaga kerja," jawab Ian. Kali ini dia bisa mengendalikan diri, walau sedikit sesenggukan.
Rud dan Rigel menepuk pundak Ian, seolah tengah mentransfer semangat dan energi positif yang mereka punya.
"Sabar, Yan. Semoga di balik ini ada hikmahnya."
"Tapi Rud, lo tau, kan gue mau mudik? Gue kangen banget sama keluarga gue. Kalau gini, gimana caranya gue dapat ongkos untuk pulang?"
Rud menunduk. "Iya, sih. Sejujurnya ... gue juga mau mudik. Ya kendalanya sama kayak lo, perihal ongkos."
Ian menyeka jejak air matanya di pipi. "Uang pesangon gue juga gak seberapa."
Rigel menatap sendu kedua temannya itu. Tiba-tiba senyum tercetak di wajahnya kala mengingat sesuatu.
"Bibi gue jualan roti buaya. Gimana kalau kalian kerja aja di sana? Kebetulan Bibi gue jualannya sendirian. Kadang sampai kewalahan."
Perkataan Rigel membuat dua pemuda itu menoleh ke arahnya.
"Serius? Emang boleh?"
Rigel menaikkan kedua alisnya seraya tersenyum. "Seriusan dan tentu aja boleh. Ntar malam abis tarawih, kita ke toko roti Bibi gue. Gimana? Mau? Ya lumayan buat tambahan kalian."
"Mau banget!" sahut Ian semangat.
"Btw gue baru tau kalau ada roti buaya. Gak bohong, kan lo?" tanya Rud dengan tatapan menyelidik.
"Ya enggak, lah!" Rigel mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mencari sesuatu di sana. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Rigel memperlihatkan layar ponselnya ke Rud dan Ian. "Nih! Beneran ada."
Ian dan Rud mengangguk bersamaan seraya memperhatikan foto roti berbentuk buaya.
"Rigel gue udah besar. Udah bisa nyenengin teman-temannya," goda Rud.
"Gue tabok nih, ya!"
"Coba aja."
"Sini, lo! Jangan kabur!"
Ian tertawa melihat kerusuhan dua temannya itu. Dia bersyukur memiliki mereka.
Buk, Pak, Tee ... Masih ada harapan untuk mudik. Tunggu Ian, ya.
- Astaroth Team -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro