Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4.0 Gara-Gara Tee

❣ Dianjurkan membaca saat puasa ❣

(Rujak cireng, es kelapa, es kopyor, siomay, singkong keju, batagor)

Makan malam sederhana di sebuah kontrakan telah usai beberapa menit yang lalu, Ian kembali ke hadapan meja yang terdapat lembaran kertas berisi sketsa. Namun, atensi laki-laki itu bukan pada pekerjaannya.

"Hadeh ... si Tee pap doang apa nggak cukup sampai divideo-in segala?" Ian yang sedang menatap layar plasma pipih di genggamannya berujar. "Gue jadi pengen kelapa, deh."

"Batagor siomay, cireng sama singkong melepuh nggak cukup, Yan?" sahut Rud yang sedang numpang bercermin di kamar Ian.

"Gara-gara Tee jadi kurang."

"Jangan maruk, katanya mau hemat."

"Tapi gue kepengen banget ...." Ian terdengar memelas. "Udah berbulan-bulan gue nggak minum kelapa."

"Gue juga, biasa aja, tuh."

"Lo, sih, nggak nonton video yang dikasih Tee, Rud. Sini, mau liat, nggak?" Ian bertanya, menggerakkan tangan menyuruh Rud mendekat.

Rud merapikan baju kokonya dan berbalik menghampiri Ian. "Mana?"

Ian menyodorkan handphone-nya ke hadapan Rud, lalu memutar video itu.

"Ah, biasa aja, kok." Rud mengibaskan tangan dan pergi keluar kamar. Akan tetapi, setelahnya terdengar ujaran pelan. "Tapi enak juga kayaknya."

Sontak, Ian tertawa penuh kemenangan.
"Makanya, ayo nanti abis tarawih kita cari es kelapa, oke?" Ian menawarkan dengan semangat.

"Ah, udah malam, males gue. Kenapa nggak pas cari takjil tadi aja, sih?"

"Siapa suruh Tee ngirimnya abis buka? Gue jadi baru kepengen sekarang." Ian berujar, kemudian seakan bola lampu muncul di atas kepalanya, ia tersenyum. "Ajak Rigel, ah! Dia 'kan gabutan orangnya. Kalau lo nggak mau, nggak papa, deh."

"Terserahlah! Yang penting sholat dulu." Rud berseru.

"Mantap, dia mau, dong." Ian berujar riang sembari tertawa setelah membaca balasan dari pesan yang ia berikan pada Rigel dan mengabaikan perkataan Rud.

"Semprul!" Rud muncul kembali ke kamar Ian. Ia sudah rapi dengan setelan baju koko dan celana panjang juga peci di kepala. "Lo belum siap-siap sama sekali."

Ian menunduk, menatap baju kaus oblong dan celana pendek selutut yang membalut tubuhnya.

"Udah azan, tuh," ujar Rud, menunjuk ke arah asal suara di barat daya. "Tinggalin dulu kerjaan lo, utamakan ibadah."

Ian menatap lembaran kertas di atas meja dengan peralatan menggambar di sekitarnya. Ia mengangguk dan tersenyum tipis, merapikan pekerjaannya, lalu bergegas mengganti pakaian.

Tak lama, ia siap dengan setelan ala anak pesantren. Baju koko dan sarung hijau Wadimor yang ia bawa dari Surabaya, tidak lupa sebuah peci hitam yang menambah tingkat ketampanannya. Setelah mengunci pintu, Ian dan Rud segera menuju masjid di belakang kontrakan.

😈😈😈

Ian dan Rud bergegas keluar masjid setelah imam selesai membaca niat puasa bersamaan dengan para bocah yang ada.

Mata Ian membelalak, melihat sebaris sandal swallow terjajar rapi, lalu menghampiri yang berwarna hitam. "Untung punya gue beda sendiri."

Ian dan Rud pun segera pulang ke kontrakan. Di sana sudah ada penampakan Rigel yang duduk di teras.

"Lo pakai celana, 'kan?" tanya Rigel pada Ian begitu mereka sampai di hadapannya.

"Kagak, sempakan doang gue." Ian membalas malas, lalu masuk ke dalam kontrakan, sedangkan Rigel tertawa.

"Kok lo cepet banget udah di sini aja, Gel?"

"Masjid deket rumah gue durasi sholatnya cepet, Rud. Oh ya, emang mau nyari es kelapa di mana?"

"Emang masih ada yang jualan ya jam segini?" Rudy justru kembali bertanya sembari berjalan memasuki kontrakan.

Rigel menatap jam digital di pergelangan tangan dan menunjukan pukul 20.10. "Mana tau, Ian yang ngajakin."

Si pemilik nama keluar dengan memakai hoodie, diikuti Rud yang juga berganti memakai jaket.

"Si Junior aman, 'kan?" tanya Ian pada Rud yang mengecek motor bututnya.

"Aman seharusnya." Rud mencoba menyalakan Junior.

Berhasil, deruman mesin terdengar di antara kedua laki-laki yang tersenyum. Selanjutnya, mereka segera meluncur membelah jalanan Bandung. Meskipun sudah malam, Kota Kembang masih sibuk beraktivitas, kendaraan ramai di sana-sini. Entah ke mana tujuan mereka, tapi yang pasti simbol x yang harus mereka cari adalah kelapa.

"Yah ... tutup," keluh Ian ketika melihat satu-satunya gerobak penjual es kelapa yang ia ketahui kosong.

Tak mau berhenti sampai situ, mereka pun melanjutkan perjalanan degan melewati Pasteur yang seperti biasa ... padat lalu lintas.

"Ya Allah ... kalau gini mending rebahan di rumah, lebih nikmat dari kelapa." Rud berucap nestapa. Lampu merah menghentikan mereka.

"Mana bisa, sebelum kita dapet kelapa, kita belum boleh tidur. Nanti bisa kebawa mimpi," ujar Ian di boncengan.

Rud menghela napas, untung saja Ian adalah sahabatnya di perantauan.

Tak lama sepasang sahabat itu mendengar suara klakson menyapa telinga. Reflek, Ian menoleh, sedangkan si pembuat suara membuka helmnya dan bertanya, "Ke mana lagi?"

Ian mengangkat kedua tangan seolah tak. "Coba di warung makan gitu, biasanya ada." Suara Rigel kembali mampu menembus kebisingan kota.

Ian mengacungkan jempol, kemudian menepuk pundak Rud, memberi tahu saran dari Rigel.

Lampu berubah hijau, Rud mulai menjalankan motornya. Mereka bergerak menuju daerah yang biasanya dipenuhi warung makan. Daerah itu bukan jalan raya sehingga cenderung tenang dan tidak padat.

Tak menemukan warung yang menjual kelapa, mereka terus berkeliling hingga Ian merasa sudah seperti mudik ke Surabaya. Keinginan Rud untuk rebahan pun semakin menjadi.

"Eh ... eh ... pliss, jangan, Junior." Rud tiba-tiba bergumam panik. Akan tetapi, motor kesayangannya itu tidak mendengarkan, mesinnya mati seketika.

Ian mendelik kaget dan berseru protes.

Untungnya, mereka sudah tidak berada di tengah-tengah lalu lintas. Rud dan Ian turun, kemudian mendorong motor menepi.

"Banyaknya cobaan mencari harta karun." Ian menghela napas, menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan.

Rigel tak lama ikut menepi, membuka kaca helm dan menampilkan cengiran khasnya. "Apa masih ada tekad buat dapetin kelapa?"

Ian terduduk di trotoar, mengusap wajahnya. Rud bersidekap, menatap motor kesayangannya itu, lalu mencoba menyalakannya.

Raut wajah Rud mengeruh, tetapi ia mencoba tetap tenang. "Mogok."

"Kalau masuk bengkel pun nggak akan bisa cepet keluar, 'kan? Apalagi udah malam." Ian berujar, berusaha menahan tangan kirinya agar tidak bergetar.

Rud mengangguk, ikut duduk di sebelah Ian.

Keduanya membisu sambil menatap kendaraan lalu-lalang.

"Terus kalian mau ngapain di sini?" tanya Rigel, menahan senyum melihat ekspresi keduanya.

"Masa boti sama lo, Gel?" Rud bertanya skeptis.

"Terserah, tapi, itu ...." Rigel menunjuk sesuatu di belakang samping Ian dan Rud dengan dagu.

Kedua laki-laki itu menoleh, menemukan warung pinggir yang dihiasi buah kelapa di samping gerobaknya.

Mata Ian berbinar, secerah bintang-bintang di langit yang menemani usaha pencarian mereka.

Ia pun segera bangkit dan mengajak Rud mendorong motor ke warung tersebut. Biarlah, urusan motor nanti saja dulu.

Sampai di sana, Rud dan Rigel memesan es kelapa menggunakan sirup, sedangkan Ian membeli murni dengan batoknya. Ketika melihat batok kelapa itu, memori tentang ia dan keluarga–terutama Tee–di kampung kembali terputar di kepalanya.

Sebuah kurva terbentuk di bibir Ian, sama dengan usaha kali ini untuk mendapatkan es kelapa, ketika di kampung dulu pun ia harus berusaha keras dalam mendapatkannya. Ian harus memanjat pohon atau setidaknya membantu temannya yang lebih jago terlebih dahulu.

Teringat dengan jelas di benak Ian bagaimana Tee menyoraki dirinya yang berusaha memanjat pohon kelapa, bahkan adik perempuannya itu ingin ikut serta memanjat.

Ian mengeluarkan benda plasma pipih miliknya, dengan senyum iseng memfoto kelapa yang ia beli dan mengirimkannya pada Tee.

"Semoga bentar lagi kita bisa minum bareng, Tee," ucap Ian dalam hati.


- Astaroth Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro