3.0 Teh Kotak Pengobat Rindu
❣ Dianjurkan membaca saat puasa ❣
(Es campur, es teler, ayam bakar,
sate, teh kotak)
Ketika ramadhan tiba tak banyak orang yang mau tetap melakukan pekerjaan sehari-harinya seperti biasa. Kebanyakan akan mengurangi intensitas pekerjaan dan beristirahat sedikit lebih lama, tetapi ini tidak berlaku pada Hanin dan Maman. Sepasang suami istri itu tengah merawat tanaman mereka yang berada di belakang rumah.
Saat jarum jam telah menunjuk pukul delapan pagi, waktu yang cocok untuk berjemur dengan matahari yang tak begitu terik. Keduanya kini telah selesai dengan kegiatan mereka, Hanin pun mengajak sang suami untuk duduk di kursi kayu yang sengaja di letakkan di bawah pohon jambu.
"Pak, semalam Tee nangis," ucap Hanin memulai percakapan.
Kening Pak Maman mengerut bingung, ia lantas bertanya pada istrinya. "Kenapa nangis? Tumben, biasanya dia selalu aktif dan ceria."
Hanin mengembuskan napasnya pelan. "Katanya rindu sama Ian, Pak. Anak itu kan dekat sekali sama Masnya, tidak bertemu dua tahun tentu saja hal yang berat."
"Iya, sih, sudah dua tahun anak itu merantau dan belum pernah mudik, tapi masih suka menelepon kan, Bu?" tanya Maman lagi.
Hanin mengangguk. "Masih, Pak. Terakhir menelepon saat sebelum satu ramadhan kemarin."
Mendengar jawaban istrinya Maman mengangguk-anggukan kepala, ia menyadarkan punggungnya di sandaran kursi. Menatap hamparan awan yang menghiasi langit di pagi itu.
"Jadi, Ibu mau apa? Biasanya saat bercerita begini, ada udang di balik batu." Maman menatap mata istrinya yang juga membalas tatapannya itu.
Dengan cepat Hanin pun menjawab. "Ibu pikir Tee rindu Ian mungkin karena kesepian, jadi Ibu mau ngadain buka bersama."
"Bukannya selama ini kita udah buka bersama ya, Bu?" tanya Maman cepat, kerutan di kening pria yang memasuki umur lima puluh awal itu semakin bertambah.
"Iya, Pak. Maksud Ibu buka bersamanya ngajakin temen-temennya juga, temen-temen Tee kan juga dekat dengan keluarga kita," jelas Hanin lagi.
Sebuah senyum diberikan Maman pada istrinya. "Boleh kalau begitu, tinggal Ibu bilang sama Tee biar dia nanti bisa ngehubungin temen-temennya."
"Iya, Pak. Ibu ke dalam dulu, mau ngomongin ini sama Tee." Hanin beranjak dari duduknya meninggalkan sang suami yang masih duduk di bawah pohon jambu yang dahulunya di tanam Ian.
Langkah kaki ibu rumah tangga itu memenuhi ruang di rumah sederhana keluarga mereka. Di salah satu bagian rumah terdengar suara televisi yang menyala, sebuah senyum terlukis di bibir Hanin. Ibu dua anak itu dapat menduga bahwa putrinya ada di sana.
"Tee!" panggil Hanin, seraya mendekati sang putri yang masih asyik menonton serial upin dan ipin.
"Tee, nanti sore ajakin temen-temen kamu ke rumah, ya." Ucapan Hanin sontak membuat remaja itu menatap ibunya.
"Memangnya kenapa, Bu? Ngapain ngajakin temen-temen Tee? Ada acara ya, Bu?" Hanin tersenyum kecil, putrinya tak pernah berubah, selalu memberikan pertanyaan beruntun tanpa mau menjeda sedikit saja.
"Iya, Ibu mau ngajakin temen-temen Tee buka bersama nanti. Tee mau kan buka bersama mereka di sini?"
Sinar mentari seolah menyinari Teeyani Putri, pancaran mata gadis itu begitu bersinar. Sekali lihat Hanin sudah menyadari, putrinya bahagia.
"Mau, Bu! Mau banget malah," seru Tee girang. Di kepalanya sudah terbayang berapa banyak teh kotak yang akan di bawa Arini dan Fani ketika datang. Tentu saja, tak lengkap rasanya bila tidak memalak kedua teman dekatnya itu. Apalagi ia teringat bahwa ibunya mengurangi jatah minuman favoritnya.
Salah satu Alis Hanin naik, ia menatap bingung reaksi putrinya yang sekarang senyum-senyum sendiri. Tak berapa lama ibu dari Ian dan Tee itu hanya menghela napas dalam. Entah apalagi yang ada dipikiran Tee, semoga bukan hal yang aneh lagi. Mengingat beberapa hari lalu gadis itu baru saja melakukan sesuatu yang begitu absurd.
"Tee, kamu jangan ngelakuin yang aneh-aneh lagi, ya. Beberapa hari lalu kamu baru aja ngurung bebek tetangga di kandang ayam kita cuma buat ngawinin, loh. Nanti kena omel Pak Yani lagi kamu." Hanin memperingatkan putrinya dengan tegas, mewanti-wanti kejadian lalu agar tidak terulang lagi.
Tee sendiri hanya membalas dengan cengiran khasnya. "Tenang, Bu. Tee kapok kok, lagian si Merah kayaknya nggak naksir sama bebek Pak Yani. Bebeknya bau, sih, nggak pernah mandi. Bu, ini Tee mau nemuin Arini sama Fani, kebetulan kami memang udah janjian buat ketemuan. Tee bawa sepeda ya, Bu."
Hanin menganggukkan kepalanya, Tee pun menyalami tangan ibunya. Akan tetapi, ketika Tee berada tepat di daun pintu, Hanin melihat sebuah kejanggalan kala menatap baju tidur yang masih dipakai anaknya.
"Tee, kamu belum mandi, ya?"
Lagi. Tee berbalik dan mengaruk kepalanya yang tak gatal. Ia lantas berlari ke kamarnya, tak berapa lama Tee keluar dengan membawa handuk yang di letakkan di bahu, bergegas masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dekat dapur.
👿👿👿
"Pokoknya kalian harus dateng!"
Teriakan membahana milik anak Pak Maman itu sontak membuat Arini dan Fani menutup telinga masing-masing. Beberapa saat lalu, tiga sekawan itu bertemu di basecamp mereka. Sebuah post ronda yang berada di perbatasan antara kampung tempat tinggalnya dan kedua temannya itu.
"Berisik, Tee. Ini masih pagi, kau teriak-teriak begitu ndak takut haus apa," semprot Arini kesal. Andai Tee bukan temannya sejak kecil, sudah dari lama ia sumpal mulut cerewet itu dengan kertas.
"Iya, ya. Nanti Tee haus, bisa-bisa ngambil teh kotak yang ada di lemari es ibu," ucap Tee, menyetujui perkataan Arini sembari mengingat segarnya teh kotak dingin itu. Sontak gadis remaja itu meneguk ludahnya pelan.
Arini yang paham betul apa yang dipikirkan temannya lantas mencubit lengan Tee, membuat Tee meringis kesakitan.
"Dasar tidak berperipertemanan, ini kekerasan dalam pertemanan! Arini bisa masuk penjara tahu!"
"Bodo amat! Pasti tadi lagi mikirin minuman favorit kamu itu, 'kan!"
Tee menyengir lebar dan mengangguk membenarkan.
"Tee jam berapa?" tanya gadis berbaju biru laut yang duduk di sebelah Arini.
"Fani dateng? Wah, Fani memang teman Tee yang paling baik. Nggak kayak si inisial Arini—Ahk!"
Tee mengusap lengannya, menatap si pelaku yang seolah tak merasa bersalah.
"Apa? Kalau emang mau pake inisial sebut aja A bukannya di sebut nama dengan jelas," semprot Arini.
"Bodo amat!"
Fani yang menatap pertengkaran kedua temannya itu lantas memijat keningnya pelan. Ini memang hal biasa, tetapi tetap saja membuatnya selalu kewalahan.
"Jadi, jam berapa Tee? Nanti Fani sama Arini dateng kok, Arini memang bilang nggak dateng, tapi nanti Fani paksa biar dia dateng."
Tee tersenyum lebar. "Jam setengah enam. Harus dateng, ya. Eh, ini Tee mau pulang dulu, mau bantu-bantu ibu." Tanpa aba-aba gadis itu sudah berbalik dengan membawa sepedanya, belum jauh ia melaju Tee menghentikan kecepatan sepedanya itu lalu menoleh dan berteriak, "bawa teh kotak jangan lupa!"
👿👿👿
Jam 18.00 Tee menatap jarum jam yang terus bergerak itu. Mood-nya seketika hilang, semangatnya beberapa saat lalu ketika membantu ibunya memasak untuk berbuka lenyap tak berbekas. Teman-temannya tak datang.
Hanin dan Maman yang melihat putrinya bersedih lantas mencoba menghubungi Arini dan Fani. Sayangnya telepon keduanya tidak aktif. Hingga suara azan Magrib berkumandang tak ada tanda-tanda kedatangan kedua temannya, hal itu membuat Tee semakin sedih.
"Sayang, udah azan. Ayo kita berbuka, jangan sedih gitu dong. Masih ada Ibu sama Bapak, ya kan Pak?"
Maman tersenyum dan menghampiri putrinya itu. "Iya, masih ada Bapak sama Ibu, Tee. Udah, jangan ditunggu. Ayo kita buka." Maman memegang tangan anaknya, keluarga kecil itu lantas bergegas ke ruang makan. Akan tetapi, sebuah ketukan dan ucapan salam yang saling bersahutan membuat langkah mereka berhenti.
"Asalamualaikum, Tee! Pak, Bu!"
Pancaran sinar kembali hadir di mata Tee, dengan cepat gadis itu berlari ke pintu rumah dan membukanya. Ia melihat Arini dan Fani dengan sebuah plastik hitam di tangan masing-masing.
"Maaf telat, tadi nyari teh kotak ...." Ucapan Arini terhenti kala Tee memeluk ia dan Fani erat.
"Nggak pa-pa, yang penting dateng."
Maman dan Hanin yang sedari tadi hanya melihat lalu datang mendekat. "Sudah-sudah, ayo masuk. Kita berbuka bersama."
Ketika tudung nasi dibuka, aroma harum dari sate klopo yang lengkap dengan lontong serta klanting dan es campur tidar menyambut mereka. Sontak sepasang mata milik Arini dan Fani menatap lapar hidangan yang disajikan.
"Sate kloponya Ibu bikin sendiri, jadi mungkin nggak seenak ...."
"Arini yakin enak, Bu. Iya kan, Fani?"
Fani mengangguk cepat. "Iya, pasti enak."
Reaksi keduanya lantas mengundang gelak tawa keluarga Pak Maman. Baru saja Arini hendak mengambil sate, suara Tee sudah lebih dahulu menghentikannya.
"Tunggu, kita foto dulu. Mau Tee kirim sama Mas Ian."
Arini dan Fani mengangguk setuju, Tee lalu mengambil gambar yang berlatarkan makanan serta ibu dan bapaknya.
"Sudah? Kalau begitu ayo makan," ucap Hanin.
Semuanya lalu membatalkan puasa, kecuali Tee yang asyik mengirimkan gambar pada kakak laki-lakinya itu.
Mas Ian
Mas, selamat berbuka.
- Astaroth Team -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro