Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25.0 Manis Pahit Hari Kemenangan

(Makanan yang selalu ada ketika lebaran tiba)

Hari kemenangan telah tiba, saat di mana yang paling dinanti dan ditunggu ada di depan mata. Sebuah hari yang sanggup memberikan banyak senyuman dan tawa serta rindu yang akhirnya tersampaikan. Sejak subuh menjelang, suara takbir yang bersahutan berkumandang. Menjadi harmoni indah yang sanggup menggetarkan jiwa.

Hari itu begitu membahagiakan, di mana para umat muslim berlomba dengan sang mentari untuk bangun lebih awal. Sunyi senyap yang biasanya mewarnai subuh, seketika berganti keramaian dan kesibukan di  masing-masing rumah. Warna putih pakaian seketika menjadi tren dalam waktu sehari saja.

"Mas Ian!" teriakan menggelegar seketika memenuhi rumah keluarga itu.

"Mas Ian, tolong bawa stoples kue ke ruang tamu!" Lagi. Teriakan yang berasal dari Tee kembali terdengar.

"Apa, sih, Tee! Masih pagi dah teriak-teriak aja, Mas masih denger ini." Dengan handuk yang tersampir di leher, Ian datang dengan bersungut-sungut.

"Hehehe, maaf, Mas. Habisnya Tee kira Mas masih tidur," balas Tee sembari memberikan cengiran khasnya.

Ian lalu mendekati Tee, membawa dua stoples besar yang berisikan kue-kue yang menggugah selera. Netra hitamnya melirik kue lapis lengit khas Surabaya yang dibuat ibunya. Ia kembali meletakkan stoples, hendak mengambil kue itu. Namun, pergerakan Ian ternyata terlihat oleh Tee, membuat gadis remaja itu secepat kilat mengambil kue incaran Ian.

"Tee, kok diambil? Mas mau nyicip doang, sedikit aja kok," ucap Ian masih dengan menatap kue yang berada di tangan adiknya itu.

"No, no, no. Mas kalau udah lihat kue buatan Ibu, biasanya bukan cuma nyicip, tapi udah habis kurang dari sepuluh menit. Ini buat tamu, Mas, nanti kalau Kak Lady dateng ke rumah dikasih apa kalau udah dihabisin duluan?"

"Mulai deh hiperbola." Masih dengan wajah ditekuk kesal, Ian lantas membawa kue-kue itu, meletakkannya sejajar di meja kayu yang sudah di lapisi kain merah bermotif yang indah. Suasana begitu nyaman saat itu, hampir setiap sudut rumah mengkilap bercahaya.

Senyum manis terlukis di bibirnya, wajah yang ditekuk seketika kembali berseri. Belum habis ia meresapi kenyamanan itu, teriakan Tee kembali mmebuatnya menarik napas dalam.

"Mas Ian ini kuenya kok masih belum diambil!"

"Bentar, Tee!" teriak Ian, ia kemudian berbalik, tetapi tanpa sadar laki-laki itu menyenggol guci merah berukuran sedang yang terletak di dekat meja ruang tamu.

Praaank!

"Mas Ian itu suara apa!"

Wajah Ian seketika pucat, bukan karena teriakan Tee, tetapi ketika mengetahui guci itu adalah kesayangan ibunya. Ian medongak ketika suara langkah kaki terdengar dan berhenti di dekatnya. Ibu, bapak, dan Tee menatap Ian dengan wajah horror.

"IAAAN!"

"Maaf, Bu!"

😈😈😈


"Ini semua gara-gara, Mas! Kalau aja tadi nggak pake acara mecahin guci ibu, pasti nggak telat gini ...."

"Diem! Lebaran masih aja ngomel-ngomel, ini salah kamu juga. Dari pagi udah teriak-teriak. Mas kan nggak konsen jadinya." Ian membalas ucapan adiknya itu masih dengan melangkah cepat menuju masjid. Pada akhirnya keluarga Pak Maman telat untuk ke masjid hari itu.

Akibat guci pecah alhasil ibu mengomel di pagi buta. Sembari membereskan pecahan guci, telinga Ian, Tee, dan bapak mendadak berdengung keras. Pagi lebaran yang nyaman seketika berubah.

"Udah nda usah berantem, kalian berdua salah semua. Ayo cepat sedikit jalannya, jangan sampai lebih telat lagi." Hanin menengahi kedua anaknya itu. Jalanan menuju masjid telah sepi, membuat keluarga itu berjalan lebih cepat.

Tak berapa lama mereka pun tiba di masjid, solat idul fitri sedang di laksanakan saat itu. Tanpa menunggu aba-aba, Ian lantas mengikuti bapaknya dan Tee mengikuti ibunya. Mereka berpisah saat itu juga.

Doa telah dilaksanakan sebagai rangkaian terakhir dalam salat idulfitri pagi itu. Setelah bersalam-salaman dengan tetangga, Tee dan keluarga lalu kembali ke rumah. Memulai tradisi sungkeman yang biasa mereka lakukan.

"Bu, Pak, Ian minta maaf ya. Maaf atas semua kesalahan Ian yang disengaja ataupun tidak disengaja." Ian mengambil tangan Hanin dan Maman, menyalami keduanya dengan penuh kasih.

Ian lalu bergeser, bergantian dengan Tee yang lalu berlutut di hadapan orang tuanya.

"Pak, Bu, Tee minta maaf, ya. Maafin Tee yang suka bikin naik darah, suka ndak jelas juga. Terkadang juga suka bikin Ibu sama Bapak malu. Pak, Bu, Tee juga mau bilang teh kotak—AW!"

Tee menatap Ian kesal, ia mengusap lengannya yang dicubit. "Kenapa, sih, Mas?"

"Minta maaf yang bener, ndak usah bawa teh kotak," ucap Ian pada adiknya. Tee pun menyengir lebar, ia menganggukkan kepala dan kembali berbicara pada Hanin dan Maman.

"Pak, Bu, intinya Tee minta maaf, ya. Maafin untuk semua kesalahan."

Maman dan Hanin tersenyum manis. Keduanya mengusap rambut Tee dan berkata, "Bapak dan Ibu sudah maafkan, Nak. Maafkan juga bila kami ada sedikit kekeliruan dan kesalahan."

Suara ketukan pintu menarik atensi keempat pasang mata itu. Dengan cepat Tee berjalan dan membukanya. Tampak wajah cantik Lady dengan balutan baju putih yang ia kenakan. Seketika Tee memekik kencang.

"Kak Lady!" Tee memeluk Lady, rasanya gadis itu begitu merindukan bule cantik yang akhir-akhir ini sering bertamu ke rumah mereka.

"Silakan masuk, Nak Lady," ucap Hanin mempersilakan. Lady lalu menganggukkan kepalanya, bersama Tee ia memasuki rumah sederhana itu.

Kedua orang tua Tee dan Ian lalu kembali ke belakang, memberi ruang untuk ketiganya mengobrol riang. Tee mulai membuka stoples-stoples yang berisikan kue-kue lebaran. Gadis itu bahkan tak sungkan untuk menyodorkannya langsung.

Ian yang melihat kelakuan adiknya hanya dapat menggeleng pasrah. "Tee, Lady juga bisa ambil sendiri. Nggak perlu sampai segitunya."

"Ih, Mas. Nggak bisa gitu dong, sebagai calon kakak ipar, Kak Lady harus dilayani dengan baik biar nyaman di rumah ini." Ucapan Tee sontak membuat wajah Ian memerah, sedangkan Lady sendiri tersenyum kecil.

"Mulutmu itu—Triiing!" Suara sering ponsel menjeda ucapan Ian, ia menatap layar dan melihat Rigel dan Rud yang memanggil untuk melakukan video call.

"Tee pergi ke belakang ...."

Belum usai ucapan Ian, suara riuh dari luar menarik perhatiannya. "Tee itu suara Fani sama Arini, deh. Mungkin mau ngajak keliling, pergi sana samperin." Tanpa menunggu lama, Tee menganggukkan kepala dan pergi meninggalkan Ian dan Lady.

"Rigel sama Rud ngajak video call-an," ucap Ian pada Lady.

Tak berapa lama, suara cempreng yang beradu terdengar dari ponsel Ian.

"Hallo, Bro! Apa kabar! Minal ...."

"Ian gue kangen banget sama lo!"

"Woi, Rigel. Gue belum selesai ngomong, jangan main nyela aja!"

"Lama, sih, pake tanya apa kabar. Jadul amat lo, Rud!"

Perilaku keduanya membuat Ian dan Lady tertawa, sadar tak hanya ada Ian, Rud dan Rigel lantas menyapa Lady.

"Wah ada bule cantik kesayangan Rigel, nih! Apa kabar ...."

"Jadul, huuu. Masih aja nanya kabar!"

"Eh, apa lo bilang Rud ...."

"Hi, Rigel, Rud. I'm fine, bagaimana dengan kalian berdua?"

"Baik!"

Jawaban serentak dari keduanya membuat Ian dan Lady kembali tertawa. Pagi itu mereka habiskan bersama Rigel dan Rud, walau tak dapat bersua, kemajuan teknologi mampu membuat empat rangkai sahabat itu bertukar kabar.

Hingga di penghujung hari, Lady bersiap untuk pamit. Tee masih pergi bersama teman-temannya, sedangkan Hanin dan Maman telah lebih dahulu izin untuk pergi ke rumah tetangga. Ucapan Lady ketika ingin pamit membuat Ian terdiam.

"I will be back really soon to Aussie."

"Kembali ke Australia? Kenapa? Bukannya kamu bekerja?"

"You're right, but I will get married there. Thank you for everything, Ian. Kamu memberikan banyak kenangan untukku di sini. Terima kasih untuk kebaikan hatinya."

Ian terdiam, ia tahu ini akan berakhir amat menyedihkan. Ketika ia berpikir untuk mengutarakan perasaannya, tetapi takdir membuatnya bahkan tak mampu untuk sekadar berkata 'Lady, I love you.'

Ian memaksakan bibirnya untuk tersenyum, walau hati laki-laki itu remuk redam. Ia tetap memberikan senyuman termanisnya untuk Lady. Bule cantik yang mampu membuat pemuda Surabaya itu jatuh cinta.

"Ya, aku juga berterima kasih padamu. Karena sudah mau berteman dengan laki-laki kampung ini. I hope you are always happy, Lady."

Lady pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum amat cantik. Ia lantas berdiri dan berpamitan pada Ian. Tak berapa lama gadis bule itu pun pergi. Meninggalkan Ian dengan senyum pahit yang masih tak lekas pergi dari wajahnya.

Pemuda rantau yang berkeinginan mudik lalu diberikan Tuhan anugerah seorang bule, yang mau membantu melancarkan niatnya. Tuhan yang begitu baik hingga mengirimkan rasa kasih dan sayang pada Ian untuk wanita cantik bernama Lady Candramaya. Akan tetapi, pada akhirnya Tuhan memberikan kepahitan untuk Ian. Keinginannya berkumpul bersama keluarga sudah Tuhan kabulkan, tetapi harapan untuk bersama wanita yang ia sukai nyatanya pupus bahkan sebelum ia mengutarakan perasaan.

Hidup tak pernah semulus itu. Tak juga selurus jalan tol yang tanpa hambatan. Ketika banyak kenikmatan yang diberikan, maka akan selalu ada pahit sebagai cobaan.

🧚‍♀️Tamat 🧚‍♀️

- Astarith Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro