Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20.0 Kedatangan Sang Terkasih

Diiringi angin yang berembus, senyum indah mewarnai wajah Ian. Sebentar lagi keinginan yang sangat diidamkan akan menjadi kenyataan. Ingatan memori lalu bersama keluarga kembali terputar, rasa excited semakin muncul dalam benaknya.

"Senyum mulu apa nggak kering tuh gigi?" sindir Rud yang berhasil membuyarkan pikiran sahabatnya.

Seseorang yang diajak bicara memutar bola mata malas sebelum akhirnya bibir seolah akan membalas perkataan Rud.

"Udah sampai, nih. Yuk, turun!"

Belum sempat Ian mengeluarkan segala caci maki untuk Rud, Rigel sudah mengeluarkan sepatah kata yang berhasil menghilangkan niatnya. Tanpa mengulur waktu lagi, Ian segera memenuhi perintah Rigel, begitu pula dengan Rud.

"Gue anter sampai sini aja, ya? Lo pada bisa ke dalam sendiri, 'kan?"

"Pertanyaan lo, Gel. Lo kira kita anak kecil apa, ya," balas Rud yang direspon dengan kekehan oleh Rigel.

"Lo baliknya hati-hati, Gel."

Acungan ibu jari diperlihatkan. "Lo berdua juga hati-hati. Jaga Lady dengan baik. Awas aja kalau sampai dia kenapa-kenapa, lo berdua berurusan dengan gue!" Rigel mengepalkan salah satu tangan pun mata yang membulat sempurna seakan benar-benar memberi peringatan.

"Dih, takut."

Mengetahui respon Rud yang mengejek dan merasa akan ada peperangan, Ian pun segera berbicara, "Pasti Lady dijagain, kok. Yaudah, kita masuk dulu. Jamnya udah mepet, Lady nunggu sendirian juga di dalem. Kasian dia."

"Agak sedih, nggak bisa ketemu Lady, tapi yaudahlah. Pokoknya kalian hati-hati," ucap Rigel yang diakhiri senyuman setengah bahagianya. Entah mengapa, dia sedikit sedih akan ditinggal dua orang sahabat dan satu teman baru yang sangat dia sayangi. Namun, Rigel nggak mau egois. Lagi pula mereka hanya bertemu keluarga beberapa saat, lalu akan kembali ke Bandung untuk melanjutkan hidup.

"Lo langsung balik ke rumah bibi, Gel. Jangan mampir buat nemuin Bang Bintang dulu," goda Rud yang membuat Rigel menjerit kesal.

"Udah, udah. Kebiasaan banget dikit-dikit bertengkar, udah mau ...."

Seketika Ian cosplay menjadi penceramah. Dia mengeluarkan seluruh kalimat andalanya kepada dua sahabat, sebelum akhirnya Rigel memutus perkataan dan memilih untuk segera mengembalikan mobil ke rumah bibinya.

Dengan begitu, tak ada lagi alasan mereka berdua tetap bertahan di lobby terminal. Penuh semangat, mereka memasuki area yang lebih dalam dari bangunan tersebut hingga bertemu dengan gadis yang sedari menunggu kehadiran mereka.

"Udah lama, Lad?"

"Nggak juga. Kalian tadi ke sini naik apa?"

"Dianter Rigel naik mobil bibinya."

"Oalah, sedih banget nggak bisa pamitan sama Rigel, tapi emang waktunya udah mepet, takut ketinggalan juga akunya."

"Udah, nggak apa, Lad. Kan bisa pamitan online. Dia pasti ngerti, kok. Dia juga titip salam buat lo tadi."

Lady mengangguk paham. "Masuk sekarang, yuk? Tadi ada pemberitahuan kalau busnya udah boleh dinaikin."

Tanpa menyanggah, mereka segera memenuhi perintah Lady. Langkah demi langkah ketiga anak rantau tersebut semakin mempersingkat jarak untuk mewujudkan niat mereka. Harapan semakin terpancar jelas dengan doa yang dipanjatkan agar mereka selamat sampai tujuan.

👿👿👿

Terhitung sudah 24 jam dari kabar sang kakak yang sudah dalam perjalanan menuju rumah, hati Tee semakin tak sabar menyambut kehadirannya pun pikiran yang terus melayang memikirkan seseorang paling dirindukan.

Meski Tee dan Ian bukan sepasang saudara yang romantis ketika dipersatukan, tetapi rasa cinta mereka sangat terlihat, terlebih saat dipisahkan. Mungkin pada dasarnya bentuk mencintai beraneka macam dan setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk memperlihatkan rasa sayangnya.

"Aelah, kenapa harus ada ceramah, sih?"

Tee mengalihkan atensi ke salah satu teman seusia, lalu ke arah pemberitahuan yang menandakan akan dimulainya ceramah. Jujur saja, Tee merasa malas, bahkan kegiatan baik ini semakin memperlama dirinya untuk pulang.

"Rin, main aja, yuk! Bosen banget nggak, sih?"

Dengan penuh semangat, Arini segera melepas mukenah seolah menyetujui keinginan Tee. Kemudian, mereka bergegas tanpa mengajak Fani yang pasti lebih memilih mendengarkan ceramah.

Dirasa sudah menjauhi masjid, Arini dan Tee terdiam, bingung akan bermain apa sebelum akhirnya segerombolan teman lelaki Tee datang hingga salah satu dari mereka menyabetkan sarung ke lengan Arini.

Jeritan sempat tedengar, walau akhirnya mereka justru memainkan permainan tersebut. Satu per satu orang, Tee jadikan target, meski di lain sisi dia juga diperlakukan sama.

"Tee!"

Sreeet!

"Anjir! Sakit banget, Rin. Lo jahat banget sih, bisa-bisanya ...."

Perkataan adik Ian tersebut terputus tatkala Arini menaruh jari telunjuknya di tengah-tengah bibir Tee sembari berkata, "Tutup mulutmu anak Pak Maman. Dalam permainan semua adalah lawan, tak ada namanya teman."

Seperti memainkan drama, suara Arini tersengar bernada. Tee yang melihat tingkah sahabatnya itu pun bergidik ngeri. Pasalnya dia tak pernah melihat tingkah aneh Airini yang seperti itu sebelumnya.

"Kesambet apa sih tuh anak, drama banget," cibir Tee yang kemudian mengekori Arini untuk membalas perbuatannya tadi.

"Tee! Tee!"

Suara dari lain arah berhasil ditangkap oleh telinga. Namun, kali ini Tee berjanji untuk tidak terkecoh dengan akal-akalan temannya yang lain. Modus ini sudah digunakan Arini dan dia tak akan terperangkap untuk kedua kalinya. Di pikirannya sekarang hanya mencari titik yang tepat agar bisa menjalankan misi balas dendamnya.

"Astaga, Tee! Bener-bener ya ini anak. Telinga buat centelan doang."

Gadis yang diajak bicara masih tak mempedulikan hingga Arini balik badan dan kembali berteriak keras dikarenakan sengatan sarung super dahsyat, sedangkan sang pelaku justru tertawa bangga.

"Ketawa terus, kamu nggak denger aku dari tadi manggil apa, ya?"

Secepat kilat Tee menghentikan tawa dan melupakan kesenangannya, lalu mengarahkan pandangan ke arah seseorang yang berdiri di sampingnya dengan vibe mengerikan.

"Duh, hawamu serem banget," celetuk Tee yang tak dibalas gadis itu, "Emang ada apa kamu manggil aku?"

"Masmu dateng, tuh."

Mendengar kalimat yang sangat dia tunggu, Tee segera meninggalkan teman-temannya tanpa berkata. Dia berlari dengan harapan agar bisa cepat sampai rumah dan memeluk lelaki kedua yang paling dia sayang.

"Mas Ian!"

Tee berteriak heboh ketika baru sampai di depan gang. Namun, sesampainya di depan rumah, harapan Tee seolah pupus. Tak terlihat tanda-tanda kedatang seseorang di sana.

Meski begitu, kemungkinan-kemungkinan masih sangat Tee harapkan. Dengan rasa yang tak dapat didefinisikan, Tee membuka pagar dan melangkah mendekat untuk membuka pintu. Pada detik selanjutnya, harapan Tee benar-benar runtuh.

Pintu rumahnya terkunci. Menandakan tak ada orang di dalam pun orang tuanya yang belum datang dari sholat tarawih. Pasalnya, ibu Tee selalu mengunci rumah ketika semua orang sedang tak berada di dalam rumah.

Tanpa sadar, air mata Tee menetes begitu saja. Badannya merosot tanpa diminta. Tee masih menghadap ke arah pintu, tetapi kepalanya tak lagi tegak, melainkan menunduk di antara lengan kedua tangan.

Gadis cantik itu menangis deras. Semua yang dirasakan tak dapat lagi diungkapkan, selain rasa dipermainkan oleh teman dan harapan.

Beberapa menit terlewati hingga rasa tenang mendera, Tee kembali menegakkan kepala meski dengan rasa yang berbeda. Selanjutnya, dia mengusap air matanya dengan kasar.

"Rin, aku nggak mood main lagi. Tolong lepasin," rengek Tee saat seseorang menutup matanya secara tiba-tiba.

"Udah lama nggak pulang bikin kamu lupa sama telapak tanganku ya, Tee."

Mendengar suara yang sangat dikenal, tapi bukan milik Arini, Tee segera membalikkan badan. Meski apa yang di hadapannya adalah ekspetasi paling diinginkan, tetapi gadis berambut panjang itu tetap saja terkejut.

"Cuma dilihat doang, nih? Nggak mau dipeluk?"

"Mau, dong."

Dengan segera, Tee merealisasikan keinginan Kakaknya. Memeluk erat sampai-sampai rasa hangat singgah di antara mereka.

Pelukan itu ... pelukan yang sangat mereka rindukan. Pelukan yang diinginkan untuk bisa dilakukan kembali setelah Ian memutuskan merantau. Rasa rindu tersalurkan begitu saja hinga membuat kedua orang yang memperhatikan dari jauh merasa haru juga senang.

- Astaroth Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro