Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2.0 Kepulangan Yang Dinanti

❣ Dianjurkan membaca saat puasa ❣

(Klepon, teh hangat, kopi panas, cookies)

Sepiring klepon dan secangkir teh manis tersaji begitu apik di atas meja kayu. Waktu berbuka telah lewat satu jam yang lalu, sebuah keluarga kini tengah berkumpul di ruang keluarga yang di isi ibu dan anak perempuannya.

Sang kepala rumah tangga yang biasanya ikut menemani mereka ternyata masih terjebak kemacetan Kota Surabaya. Hanin, ibu rumah tangga yang sedang melipat pakaian yang sudah kering itu terlihat sibuk mengganti siaran televisi, sedangkan anak gadisnya masih asyik dengan klepon dan teh manis hangat.

"Tee, tolong carikan siaran televisi yang menyiarkan berita, Ibu lupa nomor berapa," ucap Hanin pada anaknya.

Tee yang mendengar perintah ibunya tak serta merta langsung mengerjakan apa yang disuruh. Gadis itu masih menikmati gula merah dari klepon yang begitu menggugah seleranya. Dengan daster ungu kebanggaannya Hanin beranjak dari duduk, menuju meja kayu dan mengangkat sepiring klepon itu.

"Eh, eh, Bu ... mau dibawa ke mana? Tee belum selesai," ujar Tee dengan wajah yang ditekuk masam.

"Habisnya kamu tidak mendengarkan perkataan Ibu, tadi Ibu bilang apa hayo?"

"Tolong carikan siaran berita." Tee mengulangi ucapan ibunya seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal lengkap dengan cengiran khas gadis itu.

Hanin menggelengkan kepalanya pelan, ia kembali meletakkan makanan itu dan kembali ke tempat duduk semula. Masih disibukkan dengan melipat pakaian, Hanin memanggil putrinya sekali lagi.

"Tee, Ibu tadi bilang ...."

"Iya, Bu. Sebentar." Tee beranjak dari posisinya setelah sebelumnya memasukkan sebuah klepon ke dalam mulut. Gadis yang duduk di sekolah menengah atas itu lalu mengambil remote televisi dan mengganti siaran.

Layar yang sebelumnya menampilkan sinetron topeng kaca, seketika berganti menjadi siaran berita di salah satu televisi swasta. Gerakan Tee terhenti kala sebuah kalimat tercetus dari mulut manis ibunya.

"Jatah Teh Kotak kamu Ibu kurangi, besok buat buka cuma ada dua aja," ungkap Hanin ringan tanpa tahu bahwa keadaan putrinya seperti tengah tersambar petir di malam hari.

"Ibu, Ibu jangan gitu dong. Kalau jatah Tee dikurang nanti Tee minum apa? Masa Tee minum air mineral ...."

"Ada kopi," jawab Hanin singkat.

"Ah, Ibu ...."

"Ndak ada bantahan, salah kamu tadi ndak cepat-cepat ngerjain apa yang Ibu suruh. Udah sana, nonton televisi aja. Lagi ada berita mudik tuh."

Dengan wajah ditekuk dan tangan yang dilipat di dada, Tee kembali duduk di kursi dan menatap layar televisi dengan mulut yang masih asyik berkomat-kamit. Sedangkan, Hanin sendiri tak memedulikan anaknya itu. Lipatan baju terakhir telah ia selesaikan, kini wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu fokus pada berita yang akan dibawakan reporter.

"Ya, Rani dan juga pemirsa. Selamat malam, situasi arus lalu lintas di gerbang tol cikampek utama saat ini sangat lancar. Walaupun begitu berdasarkan data yang dicatat jasa marga kemarin tepat pada awal ramadhan telah terjadi peningkatan dibanding hari-hari sebelumnya ...."

Wajah Tee yang awalnya ditekuk masam seketika menunduk lesu, tak ia dengarkan lagi laporan reporter itu. Hanin yang sadar perubahan putrinya lantas menghampiri dan bertanya.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba ndak bersemangat?" tanya Hanin dengan suara keibuannya.

Belum ada jawaban dari Tee, hingga saat Hanin meraih wajah anaknya yang menunduk untuk menatap mata bening itu seketika keningnya mengerut. Netra hitam milik gadis yang beberapa saat lalu merajuk kini tengah berlinang air mata.

Hanin lantas memeluk putrinya itu dan mengusap punggungnya pelan. Berupaya menenangkan.

"Ada apa? Kenapa menangis? Ada yang menganggu, Tee? Cerita sama Ibu, Sayang."

Suara sesegukan gadis itu terdengar bersamaan dengan jawaban singkat yang mengetarkan hati Hanin. Pelukan keduanya pun semakin erat.

"Tee rindu Mas Ian, Bu ...."

Setelah beberapa saat Tee pun kembali tenang dan tidak menangis lagi. Acara siaran televisi pun telah berganti dengan berita yang lain.

"Bu, ini sudah dua tahun. Tapi kenapa Mas Ian nggak pulang juga? Apa Mas Ian nggak kangen sama Tee? Apa Mas Ian udah dapet adik baru di Bandung?" Pertanyaan beruntun keluar dari mulut mungil gadis itu.

Hanin yang mendengarnya lantas mengelus rambut panjang putri cantiknya itu dan berkata, "Mas mungkin masih sibuk di sana, Tee. Ibu yakin Mas kamu juga kangen sama Tee, Tee jangan berpikiran buruk. Adik Mas Ian cuma dan hanya Tee seorang."

"Tapi kenapa Mas Ian nggak pulang, Bu? Lihat berita di televisi tadi, bahkan di awal ramadhan sudah ada yang mudik. Mas Ian kapan mudik?"
Lagi. Tee kembali memberikan pertanyaan beruntun.

"Sayang, Bandung ke Surabaya itu bukannya dekat. Dari Bandung ketika mau ke Surabaya harus melewati daerah Jawa Tengah terlebih dahulu. Tee tahu rutenya, 'kan? Bandung ke Malang saja butuh waktu 18 jam, apalagi Bandung ke Surabaya. Mas Ian bisa juga lewat Subang atau mungkin naik travel ke Surabaya. Tapi sama saja, Tee. Waktu yang diperlukan lama dan tentu butuh biaya yang ndak murah," jelas Hanin pada putrinya.

"Iya, Bu. Tee tahu, tapi ...."

"Sudah, sudah, Tee berdoa saja semoga Mas Ian mudik tahun ini. Kamu belum solat Isya, 'kan? Ayo solat dulu lalu jangan lupa berdoa."

Masih dengan kemurungan yang tak juga meninggalkan wajah Tee, gadis itu lalu beranjak dari duduknya dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Meninggalkan Hanin dengan setetes air mata jatuh dari netra indahnya.

"Ian pulang, Nak. Rumah dan keluarga ini merindukanmu ...."

👿👿👿

Di sisi lain, jauh dari jangkauan Tee serta ibunya, yang dipisahkan bermil-mil jarak dan ruang. Sebuah kontrakan dengan lampu menyala terang memperlihatkan keadaan yang seperti tengah terjadi peperangan.

Seorang laki-laki tengah berkutat dengan selembar kertas berisikan sketsa sebuah bangunan. Pekerjaan Ian yang memang merupakan seorang juru gambar memilih untuk menambah-nambah penghasilan dengan membuka jasa freelance. Kebutuhan finansial yang terus meningkat memaksanya untuk bekerja lebih.

Sebuah ketukan pintu terdengar, bersamaan dengan itu muncul sebuah kepala dari pintu yang baru saja dibuka. Rud, teman satu kontrakan Ian baru saja datang dengan membawa gelas berisikan bubuk kopi dan gula.

"Yan, ada air panas nggak? Gas gue abis, mau beli tapi hujan."

Ian yang melihat kedatangan Rud dengan baju dan rambut yang sedikit basah, sepertinya ia baru selesai mandi. Ian beranjak dari posisinya, mengambil termos air yang tinggal bersisa setengah.

Rud kemudian menutup pintu dan berjalan mendekati termos yang Ian berikan tadi. Ia mulai menuangkan air ke dalam gelas lalu mengaduknya. Matanya menatap liar lembaran kertas yang tercecer di lantai.

Dengan rasa penasaran yang tinggi ia pun bertanya, "Lagi ikut lomba gambar, ya?"

Ian tergelak ia mengulangi ucapan Rud.

"Lomba gambar? Rud, yang bener aja masa gue ikut lomba gambar di umur segini. Ini pekerjaan sampingan gue, lumayanlah buat tambahan keuangan," jelas Ian kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.

Rud mengangguk-anggukan kepalanya, sebenarnya ia tidak mengerti kenapa Ian mengambil pekerjaan sampingan itu. Karena dari penglihatannya, laki-laki itu hidup dengan cukup baik. Di sela pemikirannya, Rud melihat roti kering yang berada di dekat Ian, tanpa meminta izin terlebih dahulu laki-laki itu lalu mengambilnya. Membuat sebuah bayangan ketika ia berdiri dan menghalangi cahaya lampu.

Ian berdecak kesal karena pekerjaannya terganggu. Ia menatap Rud seolah bertanya 'apa lagi?'

Rud tersenyum dengan cengiran khasnya ia menunjuk roti kering itu, Ian yang mengerti lalu memberikannya pada Rud. Di saat Rud tengah menikmati kopi dan roti hasil memalak pada Ian, sebersit pertanyaan muncul di kepala Rud.

"Yan, lo mudik nggak tahun ini?"

Pertanyaan singkat itu sontak membuat goresan tangan yang tadinya sibuk kini berhenti. Ian menatap Rud dan sebuah senyum terlukis di bibirnya.

"Iya, gue mudik."

- Astaroth Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro