Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19.0 Kalimat Sebelum Pergi





Setelah salat subuh, Ian mulai bersiap-siap. Dia mengepak semua barang yang akan dibawa mudik. Oleh-oleh yang kemarin dibeli juga sudah ia kemasi satu per satu.

Pemuda itu memegang dadanya. Di dalam sana, jantungnya berdebar kencang. Ian begitu senang. Sebentar lagi, dia akan bertemu dengan ibu, bapak, dan adik kesayangannya, Tee. Rasa lelah dan kerja kerasnya selama ini akan terbayar sesegera mungkin.

"Alhamdulillah, ya Allah," gumam Ian sambil mengusap wajah. Netranya mulai berkaca-kaca. Perasaan senang, excited, bersyukur dan haru terbesit dalam hatinya.

Ian yang masih larut dalam suasana itu langsung tersentak saat pintu kosnya diketuk seseorang. Suara ketukannya sangat keras. Ian berdecak dan bangkit berdiri, meninggalkan sementara barang dan kopernya yang masih berantakan.

"Yan. Buka pintunya, dong!" Suara Rud terdengar. Ian sontak mendengkus dan membuka pintu dengan cepat.

Begitu pintu terbuka, sosok Rud yang mengenakan kaos putih dengan sarung kotak-kotak terlihat. Ian menatapnya datar, tak menghiraukan senyum manis Rud yang dibuat-buat.

"Kenapa? Mau minta air panas? Udah imsak dari sejam yang lalu. Apa lo mau batal puasa lagi?"

"Masih subuh, Yan. Jangan ngajak judo."

Ian menaikkan salah satu alisnya. "Oh. Bukan, ya. Mau ngapain, sih?"

"Gue mau minta tali. Kemarin gue lupa banget beli."

Ian melengos. "Tali aja lo minta, astaga."

Rud tidak mengindahkan ocehan Ian dan langsung menyeruak masuk. Dia memperhatikan barang-barang Ian yang berserakan di lantai.

"Wih. Bentar lagi kelar, nih."

"Udah ambil aja talinya." Ian menyusul Rud dan kembali duduk di antara barang-barangnya.

Rud menggeleng. "Gue ngepak di sini aja, deh. Biar tambah semangat. Boleh, 'kan?"

Ian melotot. "Kotor ntar kosan gue!"

"Oke. Makasih, Yan! Tambah sayang, deh." Rud berlari keluar untuk mengambil barang-barangnya. Ian langsung memijat kening. Sakit kepala memang kalau punya sahabat modelan Rud.

Alhasil, mereka mengepak barang bersama. Sesekali Ian membantu Rud yang kesulitan memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Rud bahkan hampir mengamuk karena bajunya tidak muat di dalam koper, padahal sudah ia lipat dalam ukuran kecil.

"Ntar gue mau beli koper baru, ah! Cape banget bongkar-pasang isi koper doang." Rud keluar dengan wajah masam.

Ian terkekeh. "Bukan kopernya yang kurang besar, tapi lo-nya aja yang kurang kreatif. Kudu diakalin kalau kayak gini."

"Assalamualaikum!"

Suara membahana itu membuat Rud dan Ian berjengit kaget. Keduanya kompak menoleh ke arah kanan. Tampak Rigel berdiri di ambang pintu sambil cengar-cengir.

"Cieee ... pada mau mudik."

"Cieee ... yang bakal kangen." Rud mulai menggoda Rigel dengan wajah mengesalkan.

Rigel melepas salah satu alas kakinya. "Gue lempar sendal, ya lo!"

"Lempar duit aja, atuh Neng."

Rigel yang sudah tidak tahan langsung masuk, dan mendaratkan bogeman di bahu Rud. Kini dua orang itu berlarian ke sana kemari. Tepatnya, Rud berusaha menyelematkan diri dari Rigel. Pasalnya, gadis itu belum puas kalau hanya memukul Rud sekali saja.

"Awas aja kalau kalian injak barang-barang gue!" seru Ian sambil mengumpulkan barang-barangnya dengan panik.

"Eh, udah! Udah!" Rud terpojok. Badannya merapat di dinding, sudah tidak ada lagi tempat untuk berlari. Rigel berjalan ke arahnya sambil menggulung lengan baju, lantas tersenyum ala-ala devil.

"Ampun, Gel! Jangan nabok gue, please! Ri—Allahu Akbar!" Rud yang belum selesai bicara langsung takbir begitu Rigel menariknya dan mendaratkan pukulan di punggungnya. Ian yang mendengar suara dari tabokan Rigel turut meringis ngilu.

* * * *

Waktu terus berputar, tanpa sadar jam keberangkatan Ian dan Rud semakin dekat. Rigel berjalan di samping Ian. Dia menemani dua sahabatnya itu untuk berpamitan kepada warga sekitar.

"Pamitan sama Pak RT dan tetangga-tetangga di sini udah. Berangkat ke terminal sekarang, yuk!" ajak Rud.

Ian menahan langkah Rud. "Tunggu. Kita belum pamitan sama satu orang lagi."

Rud menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Hah? Siapa?"

Ian tersenyum tipis, lalu melirik Rigel. "Bibinya Rigel."

"Ah ... iya." Rud  mengangguk-ngangguk.

Rigel tersenyum sembari menggeleng pelan. "Berbakti banget lo, Yan, jangan sampe bibi gue ngangkat lo jadi mantu."

Ian terkekeh. "Sepupu lo masih bocil woi."

Tawa Rigel meledak, lalu mereka memutuskan segera berangkat ke rumah bibi Rigel menaiki angkutan umum.

"Eh, Lady gimana, Yan?" tanya Rud, teringat Ian dan Lady akan melewati perjalanan bersama.

"Ketemuan di terminal aja katanya." Ian menjawab.

Tak lama, mereka telah sampai di kediaman bibi Rigel yang merupakan toko di lantai bawahnya. Aroma dari adonan roti yang terpanggang menyeruak masuk ke indra penciuman Ian begitu ia melangkah masuk bersama kedua sahabat di perantauannya.

"Bibi!" seru Rigel memanggil, ia melangkah masuk ke dapur toko di belakang area etalase roti buaya.

Perempuan itu kemudian keluar kembali bersama seorang wanita berumur akhir kepala tiga. Ian dan Rud tersenyum memyambutnya, beranjak menghampiri.

"Bi, Ian pamit ya, maaf belum bantu banyak di sini." Ian menyalimi bibi Rigel yang kemudian mengusap bahu laki-laki itu.

"Ah, nggak apa-apa, Nak. Makasih udah mau bantu Bibi, hati-hati di jalan ya." Bibi Rigel tersenyum hangat, lalu beralih menyambut Rud yang juga hendak menyaliminya.

"Rud juga minta maaf ya, Bi, kalau kerjanya nggak serajin Ian dan nggak maksimal." Rud berujar, dibalas oleh bibi dengan seulas senyum dan kata-kata yang tak jauh berbeda dengan balasan untuk Ian.

"Makasih banyak, ya, Bi. Mohon maaf lahir dan batin," ujar kedua laki-laki itu.

"Mohon maaf lahir dan batin juga, ya." Bibi balas berujar, lalu raut wajahnya seakan teringat sesuatu. "Oh, iya."

Bibi Rigel berjalan menghampiri meja kasir, membuka lacinya dan mengeluarkan dua amplop. Ia pun menyerahkan masing-masing amplop itu pada Ian dan Rud. "THR."

"Eh, Ya Allah, Bi, repot-repot gitu." Ian menyahut.

"Nggak ada repot-repot, namanya THR, bisa buat bekal perjalanan." Bibi Rigel kembali tersenyum.

Mereka berdua pun menerimanya dengan senang hati, tak lupa mengucapkan kata terima kasih.

"Seneng, 'kan, lo berdua," timpal Rigel.

"Jelas, Bibi baik banget, deh, nggak kayak keponakannya." Rud membalas, membuat Rigel mendelik.

Namun, belum sempat Ian menyiapkan diri untuk mendengar perdebatan di antara mereka kembali, seseorang memasuki toko.

"Eh, Bang Bintang, mau beli roti?" Bibi menyambut pelanggan itu, sementara Ian dan Rud tertegun mendengar namanya. Mereka menoleh menatap sosok yang tersenyum tipis mendekati bibi Rigel.

Sontak, Ian dan Rud beralih menoleh ke arah Rigel yang menatap pelanggan sekaligus tetangga bibinya itu.

"Iya, Bi, mau buat oleh-oleh, mau ke kampung Nenek," ujar Bintang seraya menghampiri etalase toko.

"Wah, mau mudik oge, Bang? Ieu lagi musim mudik ya, eta budak-budak teh mau mudik oge." Bibi berucap dengan bahasa Sunda, menunjuk Ian dan Rud. Sepertinya, Bintang memang sudah akrab dengan bibi Rigel.

Bintang menoleh, tersenyum menatap Ian dan Rud, kemudian pandangannya jatuh pada Rigel.

"Temen-temenmu, Gel?" tanya Bintang.

Rigel yang tak menyangka akan dinotis tertegun, kemudian tersenyum canggung. "Iya, anak rantauan mereka."

"Oalah, kamu nggak mudik? Betah sama Bibi, ya?" Bintang tersenyum, membawa dua kotak roti buaya ke kasir, yang mana dekat dengan tempat Rigel berdiri.

Rud bergerak lebih mendekat ke Rigel, menyenggol-nyenggol lengannya dengan siku dan berbisik, "Bintang soft banget ya, Gel, aku-kamu-an"

Rigel menepis siku Rud, lalu mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Iya, lagi nggak aja, sih."

Terlihat sekali aura kikuk dari Rigel. Ian tersenyum kecil melihatnya, sudah lama sejak terakhir kali Rigel bercerita tentang Bintang. Ia ingat, Rigel bilang Bintang tiba-tiba memutus kontak mereka.

Bintang menyerahkan selembar uang berwarna biru pada bibi Rigel, lalu mengambil kotak kue yang dipilihnya tadi dan menerima uang kembalian.

"Mohon maaf lahir dan batin, ya, Bang. Salam buat ibu di rumah." Bibi berujar ramah.

Bintang tersenyum lebih lebar, terlihat manis di mata Rigel. "Siap, Bi, mohon maaf lahir dan batin juga, semoga bisnisnya lancar terus."

Gema suara 'aamiin' memenuhi toko, lalu Rud kembali menyenggol-nyenggol lengan Rigel.

"Gel, lo nggak mau minta maaf juga?"

"Apa, sih?" desis Rigel pelan, kembali menepis siku Rud.

"Gel, itu maap-maapan juga, dong." Ian ikut mengompori. Rigel memelototi Ian.

"Iya, ih, temen lo, loh, Gel." Rud belum berhenti menggoda.

Tak tahan, Rigel menabok bahu Rud. Akan tetapi, Bintang yang belum beranjak justru tertawa kecil.

"Malu-malu gitu, Gel." Bintang berujar, lalu menyodorkan telapak tangannya. "Mohon maaf lahir dan batin, maafin waktu itu ganti nomor nggak ngabarin."

Ian dan Rud menahan tawa geli, melihat ke arah Rigel yang terpaku menatap Bintang.

"Sambut, atuh, Gel, kasian amat itu tangan dianggurin," ujar Bibi.

"Eh." Rigel mengerjap-ngerjap, berdeham sebelum menyambut uluran itu. "Iya, gue juga minta maaf, mohon maaf lahir dan batin ya."

Jabatan tangan mereka terlepas, Bintang pun segera berlalu pergi, meninggalkan Rigel yang tersenyum kecil.

"Cie, cie, cie." Rud mulai beraksi lagi. "Cinta lama bersemi kembali."

"Sudah klarifikasi." Ian menambahkan, mereka berdua tertawa.

Rigel berdecak. "Udah, udah. Ayo, ini udah mau waktunya, loh."

Ian dan Rud tersentak, baru teringat kembali. Mereka berdua pun pamit pada bibi Rigel, sedangkan Rigel masih mengikuti mereka, ingin bertemu Lady katanya.

"Lady, kami datang ...."


- Astaroth Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro