15.0 Titik Terang
(Biji salak, pangsit mie Jakarta,
pecel lele)
Hari ini begitu melelahkan, entah hajat apa yang dipunyai orang-orang, hingga banyak sekali pesanan roti buaya yang harus diantar. Beberapa sudah selesai sampai rumah pemesannya, tetapi ada juga yang belum. Rigel masih terlihat sibuk menabur cokelat dan parutan keju. Ia memiringkan kepala, menilai sendiri hiasan di roti buaya yang ada di hadapannya.
"Lumayan ... eh, tapi berasa kurang." Rigel masih memicingkan matanya. Lagi-lagi berpikir dan detik berikutnya ia menyerah. "Eh, Rud! Mana si Ian?"
"Lagi bersihin loyang-loyang, di keran depan. Ada apaan, sih?" Pemuda itu berjalan menghampiri Rigel. Padahal tadi ia masih sibuk menimbang adonan kue.
"Nih, coba liat. Kurang rame nggak, sih? Apa udah cukup gini aja?"
"Hiasan?"
Rigel menghela napas pelan. Pertanyaan retoris! "Iyaaa."
"Udah, cakep. Kalo mau ditambah-tambahin lagi kayaknya ... bakal berlebihan."
"Beneran?"
Rud mengangguk, ia kemudian kembali ke posisinya semula. Di depan timbangan. Rigel kemudian menggeser roti buaya yang tinggal dibungkus. "Oke kalau gitu. Makasih, Rud."
"Yoi, besok-besok traktir mi ayam lagi."
"Gampang."
"Rigel!" Sebuah teriakan dari luar sukses ditangkap oleh telinga Rigel. Ia tahu dari siapa suara itu berasal. Ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan tergesa ke arah pintu.
Gadis itu langsung menemukan Bibinya sudah ada di dalam mobil. Kepalanya keluar dengan tangan yang melambai.
"Apa, Bi?" tanya Rigel ketika gadis itu sudah di depan pintu mobil.
"Ikut, yuk! Anterin pesenan di daerah kota. Nanti Bibi mau sekalian beli bahan-bahan. Jadi, kamu yang anter sama si Rud atau Ian, nanti turunin Bibi di depan toko kue yang kemarin. Kalau kamu udah selesai, jemput Bibi baru kita pulang." Rigel tampak menimbang-nimbang, kemudian menyetujui permintaan bibinya barusan. Lebih baik dia mengantar pesanan sambil jalan-jalan daripada berbelanja bahan-bahan, 'kan?
"Eh, tapi Rigel tanya si Rud sama Ian dulu, ya, Bi. Bibi tunggu bentar. Oh, ya, roti buaya pesanannya udah diangkut ke dalam mobil semua, Bi?"
Si Bibi terkekeh pelan sambil turun dari mobil. Memegangi dahinya. "Astagfirullah, Bibi sampai lupa." Rigel tertawa, bukan sebagai basa-basi. Bisa-bisanya, batin gadis itu.
Setelah bertanya pada Ian dan Rud keduanya bukannya menjawab malah saling pandang.
"Lo aja sana, Rud."
Rud menyengir. "Ah, nggak enak gue sama lo. Lo sendirian di sini masak."
"Nggak apa-apa, besok kita gantian. Lo juga lebih jago nyetir mobil daripada gue. Gih, sana."
"Beneran, Yan?"
"Kalo Ian bilang gitu berarti beneran, elah. Udah, lah, ayok! Cuci tangan dulu sana, Rud!" teriak Rigel mendorong punggung Rud agar segera bergerak untuk membersihkan tangan. "Yan, gue tinggal, ya, kabarin kalau ada apa-apa, okey?"
"Sip."
Selang beberapa menit, Rud, Rigel, dan bibinya pergi, Ian melanjutkan pekerjaannya. Masih berkutat dengan loyang-loyang, dengan cekatan pemuda itu menyiram air ke benda pipih di depannya. "Gila, sih. Pada punya rezeki banyak, nih, yang pesen roti buaya. Hajatan apa coba yang mereka adain? Sampe berpuluh-puluh roti buaya begitu mereka pesen?"
Sesudah membereskan semua loyang hingga meniriskannya ke tempat biasanya, Ian mengecek kondisi dapur tempat produksi roti buaya itu. "Apa perlu gue pel? Mumpung nggak ada dua anak itu. Jadinya, 'kan nggak bakal ada yang nganggu atau ngerusuh pas lantainya belum kering."
Ian melirik jam dinding berwarna putih yang tergantung di dinding. "Baru jam empat sore. Ya, udah. Gue ngepel aja, deh. Terus beresin roti-roti ini. Sambil nunggu mereka pulang."
Belum lama Ian mengepel lantai, suara WA di gawainya terdengar. Terlihat sebuah pesan masuk dari bibinya Rigel.
Bibinya Rigel
Ian, kamu masih di rumah Bibi, 'kan? Kalo iya tolong anterin roti buaya di atas meja yang udah dihias sama dibungkus rapi itu, ya. Lupa angkut tadi, nanti Bibi kasih alamatnya.
"Aduh, belum kelar ngepelnya. Tahu tadi suruh nganter nggak mungkin gue ngepel." Ian mendengkus pelan sambil menyeka keringat yang keluar dari kedua sisi pelipisnya dengan lengan baju. Sekali lagi cowok itu melirik jam di dinding.
"Oke, lima belas menit lagi kelar, baru nganterin roti," ucap Ian dengan gerakan cepat mengepel lantai di dapur itu.
👿👿👿
"Baik, Mas. Terima kasih, ini, ya, uangnya," jawab si pemesan roti buaya ketika Ian menerima uang yang pas dengan harga roti buaya milik bibi Rigel.
"Untung pas, bisa-bisanya tadi gue nggak bawa uang kecil." Ian menyalakan motor yang sering Rud sebut sebagai Junior. Ya, motor kesayangan milik sahabatnya yang sudah bolak-balik bengkel ini terpaksa ia gunakan untuk mengantar roti buaya.
Suasana jalanan Bandung yang sudah begitu ramai membuat sebuah senyuman di wajah cowok itu terpatri jelas. Embusan angin sore, langit menjingga, juga riuh para pedagang yang sahut-sahutan menawarkan jajanannya serasa kolaborasi yang indah di waktu menjelang berbuka seperti ini. Ia akan merindukan Bandung dan segala pesonanya ketika pulang ke kampung halaman. Ah, ya, pemuda itu teringat adiknya.
"Ini bakal magrib di jalan, apa mending batalin di sini aja, ya?" Ian menimbang-nimbang, ia kemudian menurunkan kecepatan Junior dan memarkirkannya ke tepi jalan. "Untung, lo nggak mogok, Jun." Ian menepuk jok Junior dengan kekehan lega.
Memandang beberapa takjil yang tampak melambai-lambai ingin dicicipi. Cowok itu berjalan pelan, masih memikirkan takjil yang pas untuk ia beli, tetapi tiba-tiba pemuda itu diam. Mematung layaknya manequin di swalayan-swalayan untuk beberapa detik. Seperti dejavu, ia menangkap sosok gadis yang dulu pernah ia temui juga di kawasan ini.
"Lad?" Ian berjalan mendekat ke objek yang beberapa detik yang lalu berhasil menyita atensinya.
Gadis itu tersenyum cerah, dengan lambaian tangan kanan terkejut. "Hei, Yan! Lagi-lagi kita ketemu! Waaah, jodoh nggak, sih?"
Ian terkekeh, ia tahu gadis di depannya hanya bergurau, tetapi kalau boleh jujur. Itu sama sekali tidak patut dijadikan gurauan, bagaimana kalau tiba-tiba betulan? Oh, oke berlebihan.
"Nyari takjil lagi kamu, Lad?" Ian tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Hmmm, nggak sengaja sebenernya, tadi abis beli something jadi mampir ke sini, mau lanjut jalan, tapi takut nggak bisa batalin puasa kalau kejebak macet. Lah, kamu? Sendiri?" Lady tampak mencari keberadaan Rud dan Rigel, sahabat Ian yang selalu bersamanya.
"Oh, sama, tapi aku abis nganter sesuatu juga, kebetulan sendiri. Udah beli?"
"Something-nya? Atau ...."
"Bukan, takjilnya."
Lady tertawa. Kemudian menggeleng. "Not yet. Kasih rekomendasi, dong. Kamu pasti lebih tahu yang enak, tapi selain yang kayak kemarin."
"Okey. Gimana kalau ...." Ian melihat sambil memperhitungkan takjil yang sesuai untuk mereka makan kali ini. "Kolak biji salak?"
"Aku nggak pernah denger, tapi okey! Let's try! Oh, ya, kamu mau makan di sini? Atau dibawa pulang, Yan?"
"Makan sini. Kamu?"
"Samaan kamu aja, deh, ya. Daripada di mobil buka sendiri."
Ian mengangguk sambil berjalan ke arah gerobak kolak biji salak itu. Lady mengikutinya di belakang. Cowok itu menoleh sekilas. "Lad, majuan, kenapa malah di belakang aku?"
"Oh ...." Lady lagi-lagi tertawa, dengan sedikit rasa terkejut karena sebuah tangan mengandeng pergelangan tangannya. "Terus harusnya di mana?"
"Samping aku ...." Kemudian jeda sebentar, Ian mulai sadar jemarinya yang mengandeng pergelangan tangan milik gadis yang sudah berjalan di sampingnya. "Ehhh, maaf."
"No, problem. Cuma digandeng, kok. Nggak diambil, terus dibawa pulang, 'kan?" Kedua manusia itu tertawa dengan lelucon yang entah disebelah mana lucunya.
"Dua, ya, Pak." Anggukan dari sang penjual Ian terima. Tak lama ia menyadari niatnya untuk sekalian buka di sini. Kalau dipikir-pikir, kenapa tidak sekalian saja, 'kan?
"Lad ...."
"Iya, Yan?"
"Mau makan sekalian?"
"Kamu mau makan sekalian? Kalo iya, aku juga. Tapi kalau nggak, aku juga nggak, deh. Nggak berani kalau sendirian."
"Oke, kalau gitu, mau makan sama apa?"
"Aku ikut aja, tapi pengen pecel lele. Atau mie gitu."
"Oke!"
"Oh, ya. Ngomong-ngomong, kamu udah mulai beli atau pesen tiket buat pulang kampung, Yan?"
Ian yang kaget tiba-tiba ditanya perihal 'pulang kampung' menoleh dan memandang sekitar sambil mengingat-ingat, sudah berapa rupiah uang tabungan yang ia kumpulkan, ya? "Em, belum. Kamu udah? Oh, atau, beli something itu maksudnya beli tiket pulang kampung?"
"Absolutely, right! Mau coba naik bus malam gitu. Kebetulan, aku beli tiga, kamu ... mau satu? Aku nggak bermaksud gimana-gimana, Yan. Cuman, tadi ada potongan harga kalau aku beli banyak dan ya, aku beli sekalian buat PP."
Ian langsung menerima kolak biji salak dari penjual di depannya. Ia menatap gadis di depannya, memikirkan tawaran Lady barusan. Gue terima nggak, ya?
Lady masih memperhatikan reaksi Ian yang tak segera mengiyakan atau menolak. Sungguh, sedikit banyak ia tahu kenapa cowok itu berlaku demikian, pasti karena merasa tak enak. Apalagi, ia seorang laki-laki yang baru Lady kenal, mungkin begitu yang Ian rasakan. Lady berasumsi sendiri. "Kalau nggak mau cuma-cuma, bisa diganti, kok, tapi terima tiketku dulu. Ini buat berangkat ke Surabaya aja, kok. Gimana?"
- Astaroth Team-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro