14.0 Kolak Dan Doa
(Kolak pisang, pisang, teh kotak)
Hari itu sangat terik, matahari benar-benar berkuasa di atas sana. Peluh keringat membasahi setiap insan. Payung berbagai warna tampak mengembang lebar. Suasana pasar begitu ramai. Berbagai dagangan berjejer rapi. Orang-orang terus berdatangan.
Dengan jilbab hijau, Hanin masih mengelilingi pasar, mencari bahan terakhir untuk membuat kolak, yaitu pisang. Tangan kiri dan kanan wanita paruh baya itu menenteng belanjaan yang sebelumnya sudah ia beli. Bau anyir dari ikan yang Hanin lewati menusuk indra penciuman, si perempuan langsung menutup hidung dengan lengan bagian atas.
Tidak perlu waktu lama, netra Hanin sudah menemukan stan berbagai buah segar. Buah berwarna kuning yang ia cari juga sudah terlihat dari jarak yang cukup jauh. Sebuah senyuman merekah di wajah. Langkah kaki perempuan itu semakin cepat, ia tidak mau kecolongan lagi, setelah di stan lain Hanin kalah cepat oleh pembeli yang juga mengincar buah kuning berukuran panjang itu.
"Pisang satu sisir berapa, Bu?" tanya Hanin ramah pada sang penjual.
"Tujuh ribu, Bu," jawab penjual itu. Ia dengan sigap mengambil plastik, mana tahu Hanin benar-benar membeli.
"Nggak kurang lagi, Bu? Lima ribu, deh, saya ambil dua, jadi sepuluh ribu," tawar Hanin. Ia berusaha untuk mendapatkan banyak pisang dengan harga rendah. Netra Hanin menatap milik si penjual dengan penuh harap.
"Nggak dapat, Sayang. Jual modal itu namanya," jawab si penjual, "pisangnya bagus, kok, ini. Mau bikin kolak, ya?" Si ibu bertanya sambil terkekeh.
Hanin mengangguk. "Ya, udah, bungkus dua." Si perempuan meletakan barang belanjaannya sebentar untuk mengambil uang di dalam dompet. Selembar uang sepuluh ribu dan lima ribu ia berikan kepada penjual. "Ambil aja kembaliannya, Bu. Makasih, ya." Hanin pamit, semua bahan yang ia perlukan sudah ada di tangan. Ia berjalan menuju parkiran, di sana sudah ada Maman yang cukup lama menunggu. Hari minggu dihabiskan sang kepala keluarga dengan menemani sang istri berbelanja.
"Lama banget, Bu. Pasti nawar dulu, ya?" tanya Maman sembari menghidupkan motor.
"Nggak kok, Pak. Ibu nyari pisang buat kolak, banyak yang habis, jadi Ibu keliling-keliling," jawab Hanin.
Setelah motor menyala, Hanin naik tanpa diberi aba-aba, helm hitam sudah menyatu dengan kepala. Maman mulai mengendarai kendaraan dengan kecepatan normal.
Angin sepoi-sepoi menerpa, keduanya langsung merasakan sejuk, walau matahari masih terus unjuk gigi. Perlahan-lahan, suasana pasar yang ramai tidak terdengar lagi di telinga pasangan suami istri itu.
"Pak, masjid kita masih sering ngadain buka bersama, 'kan?" tanya Hanin, ia mulai membuka obrolan.
"Masih, Bu. Kenapa? Dari semalem nanya itu terus." Maman penasaran, pasalnya Hanin tidak pernah berhenti menanyakan hal yang sama.
"Siapa saja, Pak, yang datang?" Bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Hanin malah mengajukan pertanyaan lain.
Maman mengembus napas pelan, netranya tetap fokus melihat ke depan. "Setahu Bapak, ya, beberapa pengurus masjid sama anak pesantren," jawab si lelaki.
"Pesantren di dekat rumah Pak RT itu, ya?" tanya Hanin lagi. Sebuah anggukan ia dapat sebagai jawaban.
"Ibu niatnya mau kirim takjil ke masjid, sekalian nanti minta tolong doa untuk kesembuhan Tee." Akhirnya, Hanin membeberkan rencananya, setelah semalam ia membiarkan Maman penasaran setengah mati.
"Tau, nggak, Bu? Entah kenapa Bapak ngerasa lega setelah tau niat, Ibu," jawab Maman, "kirain mau apa nanya itu terus."
Hanin terkekeh. "Pisang di rumah masih ada kan, Pak? Tiga sisir kalau Ibu tidak salah ingat. Ibu beli dua sisir lagi buat tambah-tambah."
"Ada, Bu. Untung Ibu bilangnya sekarang, kalau enggak udah Bapak jadiin makan buat burung." Maman tertawa kecil, pukulan pelan ia dapat dari sang istri.
Tidak ada lagi percakapan. Selama sisa perjalanan menuju rumah, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Awan putih memblokade cahaya dari matahari. Jam terus berjalan, orang-orang mulai keluar mencari takjil untuk berbuka puasa, berbagai makanan terjual di pinggir jalan, itulah yang membuat macet pada sore hari itu.
Arin dan Fani tampak berada di kerumunan pemburu takjil. Namun, keduanya tidak membeli, mereka hanya terjebak, tidak bisa keluar karena orang-orang terus berdatangan.
"Gimana, nih, Fan? Ngga bisa keluar kita," bisik Arin pada teman di sebelahnya.
Fani juga tampak kebingungan. "Ndak tau," jawab perempuan itu dengan nada suara pelan tepat di telinga temannya.
Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala Arin. "Permisi, air panas mau lewat, kasih jalan!" teriak Arin bersemangat. Tidak lama kemudian, orang-orang mulai menghindari sumber suara. Arin dengan cepat menarik tangan Fani untuk keluar dari kerumunan.
"A-akhirnya, cuman beli teh kotak aja sampai terjebak beberapa menit. Gerah tau," ujar Arin, ia mengelap keringat yang mengalir di wajah. "Kerudung aku basah, nih."
"Udah, yuk! Langsung ke rumah Tee, pasti dia nungguin kita jenguk," ucap Fani yang disetujui oleh sahabatnya.
Mereka berdua bergegas menuju rumah Tee. Semenjak insiden malam itu--Tee kena mercon--ia tidak diperbolehkan bermain beberapa hari oleh bapaknya. Alhasil, untuk beberapa hari ini Arin dan Fani selalu berdua.
Lima teh kotak pada plastik berada di tangan Arin, oleh-oleh untuk Tee yang sedang sakit. Mereka berdua sudah sangat hafal tentang kesukaan Tee, pasti temannya itu akan sangat senang dibawakan jajanan kesukaan.
Tidak memerlukan waktu lama, keduanya sudah sampai di depan rumah Tee. Arin dan Fani langsung disambut oleh orang tua Tee. Dua orang paruh baya itu tampak sibuk menyusun kolak ke dalam keranjang.
"Wow! Kita datang di saat yang tepat," ujar Arin. Matanya berbinar-binar. Takjub menatap puluhan kolak.
"Kebetulan banget kalian berdua datang. Om mau minta tolong jagain Tee ya, Om sama Tante mau nganter kolak ke masjid," ujar Maman sembari melangkah menuju Arin dan Fani, "nanti kalian dapat bagian."
"Siap!" ujar Arin dan Fani serentak, lalu bergegas masuk ke rumah Tee.
***
"Aduh, Pak Maman ndak perlu repot-repot," ujar Ketua Masjid sembari menerima sekeranjang penuh kolak pisang buatan Hanin.
"Ndak pa-pa, Pak." Maman terkekeh. "Saya juga sekalian mau minta tolong." Maman menghentikan ucapannya, ia tampak ragu.
"Bilang saja, Pak. Jangan ragu, inshaAllah saya bantu." Ketua Masjid masih menunggu Pak Maman mengutarakan permintaan tolongnya.
"Anak saya lagi sakit, Pak. Jadi minta tolong doakan agar cepat sembuh. Saya lihat di Facebook, katanya kalau diaminkan oleh 40 orang doanya akan dikabulkan." Bukan dari mulut Maman, ucapan tersebut keluar dari milik sang istri, Hanin.
Ketua Masjid tertawa kecil. "Ternyata begitu, nanti saya laksanakan, ya."
"Maaf banget, Pak, jadi ngerepotin," ujar Maman sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Ndak pa-pa, Pak. Terima kasih untuk kolaknya."
- Astaroth Team -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro