Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13.0 OTR With Bule

Selesai salat tarawih berjamaah di masjid, Ian dan Rud memutuskan untuk pulang. Ian dan Rud baru saja melangkah hingga pagar tembok masjid, sampai suara teriakan dari Pak RT membuat kedua pemuda yang memakai peci dengan warna sama tersebut langsung berhenti dan menoleh.

Pak RT pun dengan langkah tergesa, menghampiri keduanya.

"Kenapa, Pak?" tanya Ian langsung.

"Gini, nanti subuh 'kan kalian tetap bangunin orang-orang, tapi ada masalah kita kekurangan orang."

Rud menggaruk kepalanya. "Loh, bukannya waktu itu orangnya udah cukup, Pak? Kok jadi kurang?"

"Iya, soalnya si Ucup izin. Dia lagi sakit. Jadi, kira-kira kalian ada rekomendasi orang? Soalnya saya sudah minta anak-anak muda lainnya di sini, tapi pada enggak bisa!" kata Pak RT mendesah lesu sambil meneruskan langkahnya bersama Ian dan Rud.

"Alah! Alasan aja itu mereka, Pak," celetuk Rud.

Rud sangat tahu betul, para pemuda lain di kampung mereka itu pemalas. Malas kalau soal membangunkan orang sahur, lebih sukanya nongkrong dengan anak seusia mereka.

"Siapa tau kalian punya teman yang mau diajak? Nanti setelah itu kita sahur bareng sama yang lain," jelas Pak RT.

Ian dan Rud pun langsung memikirkan, siapa teman mereka yang bisa diajak tanpa harus mengeluh atau mencari alasan.

Teman yang selalu mengatakan 'Ya' pada mereka. Teman yang selalu ada. Ian dan Rud pun saling pandang satu sama lainnya dan senyum tipis terlihat di wajah mereka.

"Ada, Pak!" teriak Ian dan Rud bersamaan dan bersemangat.

Pak RT sampai mengucap istigfar dan mengelus dadanya karena teriakan keduanya. Sementara, Ian dan Rud hanya tertawa melihat kelakuan Pak RT mereka.

"Ya sudah, kalau gitu subuh nanti kalian ajak dia. Ingat setengah tiga sudah kumpul di depan pos. Jangan sampai terlambat," jelas Pak RT sebelum melangkah pergi dulu meninggalkan Ian dan Rud.

"Siap, Pak!"

Ian dan Rud pun juga kembali melangkah untuk pulang. Rud melepas ikatan sarung yang melilit pinggangnya. Tangannya menaikkan sarung berwarna merah tersebut ke atas bahu.

Rud memakai celana jeans hitam dan mengambil ponselnya dari saku celana. Rud segera mengetikkan satu nama di pencarian kontak.

Ian melirik sedikit ke arah Rud. "Emang siapa yang mau dihubungin?"

"Rigel, 'kan?" kata Rud.

Ian pun menatap Rud dengan takjub. Ian segera meraih tangan Rud agar keduanya dapat bersalaman secara jantan. Itu, tos ala-ala cowok yang salaman tangan terus tubrukan dada. Mereka benar-benar memiliki telepati yang sangat baik.

Rud sudah mengirimkan pesan teks pada Rigel. Akan tetapi, gadis itu tak juga membalasnya hingga Ian dan Rud tiba di indekos.

"Telepon coba."

Rud berdecak, setelah mendudukkan diri di depan teras bersama Ian. "Kalau ada pulsa dari tadi gue telepon ini si Curut. Tapi, pulsa lagi boke, mana paketan habis!"

"Ngomong dari tadi kalau enggak ada pulsa! Ini telepon si Rigel sekarang!"

Rud meraih ponsel Ian sambil menyipitkan kedua matanya. "Ngomong doang, tapi enggak dibeliin pulsa! Percuma!"

Namun, Ian memilih untuk tidak menanggapi perkataan Rud. Lelaki itu justru masuk ke dalam untuk membuka sarung dan mengambil segelas sirup sisa buka puasa tadi.

Sirup hijau dalam teko itu rasanya mulai sedikit hambar karena es batu sebagian besar telah mencair. Ian menuangkan sirup tersebut ke dalam gelas berukuran besar dan membawanya keluar.

"Udah?" tanya Ian setelah kembali duduk.

"Enggak diangkat, nih! Sok sibuk banget tuh anak!" gerutu Rud sambil mengembalikan ponsel Ian.

Setelah menyeruput es sirup, kali ini Ian yang mencoba menghubungi sahabat perempuannya itu. Rud sedari tadi mengamati es milik Ian yang entah, mengapa membuatnya menjadi haus.

Namun, belum sempat gelas itu tersentuh oleh Rud, dengan cepat Ian menjauhkannya. Rud pun merengut.

"Bagi dikit napa, Yan! Pelit banget, astagfirullah! Bulan Ramadhan ini, Yan! Harus saling berbagi biar berkah."

"Kaki lo sehat?" tanya Ian masih terus menghubungi Rigel.

Rud meraba kedua kakinya terlebih dahulu, sebelum mengangguk. "Alhamdulillah sehat walafiat."

"Bagus! Kalau gitu bisa ambil es sendiri, dong?"

Rud pun kembali mengangguk.

"Itu tandanya, enggak boleh mi ...."

"Mi ...." Rud mengikuti perkataan Ian. Pemuda itu masih tak mengerti.

Ian berdecak dan memukul Rud dengan peci. "Enggak boleh minta! Kalau haus, ambil sendiri!"

Semakin merengutlah itu wajah Rud. Lantas, ia bangkit dan masuk ke dalam untuk mengambil es sirup Ian. Ini sudah yang keempat kalinya panggilan telepon dari Ian yang tak dijawab oleh Rigel.

Namun, Ian tidak mengenal kata 'menyerah' dalam kamus hidupnya. Jadi, ia masih mencoba menelepon Rigel. Sampai suara serak dari Rigel terdengar di telinga Ian.

"Halo? Kenapa?" tanya Rigel dengan suara serak khas bangun tidur.

"Gini, nanti subuh lo ke rumah, ya. Ikut gue sama Rud bangunin orang-orang sahur."

"Dih! Enggak mau!"

"Ck! Bakal dikasih bayaran kok, Gel. Kita bakal ditraktir sahur sama Pak RT. Mau, ya! Nama lo udah keburu Rud daftarin."

Rud yang baru kembali dan mendengar namanya disebut, hampir melayangkan protes kepada Ian. Enak saja, dirinya jadi kambing hitam lagi. Padahal mereka memikirkan orang yang sama tadi.

Tetapi, Ian dengan cepat menempelkan jari telunjuknya di bibir.

"Ok! Boleh, deh. Lumayan makanan gratis!" seru Rigel senang.

"Makanan aja cepat lo, Kebo!" celetuk Rud yang otomatis memancing Rigel dari seberang telepon.

"Eh! Kurang aj--"

Ian memutuskan sambungan telepon itu. Capek dia dengar pertengkaran Rigel dan Rud yang enggak habis dan ujungnya itu.

Sementara, Rud tentu saja tertawa puas.

👿👿👿

Setengah tiga pagi, mereka yang bertugas membangunkan para warga berkumpul. Seperti biasa Pak RT memberikan sedikit arahan pada mereka semua.

Semuanya pun dibagi hanya tersisa Ian dan Rud yang belum berangkat.

"Mana teman kalian?" tanya Pak RT sambil melirik jam tangannya.

"Bentar lagi juga nyampe, Pak," sahut Rud.

"Dari tadi kamu juga bilang begitu, tapi enggak--"

"Nah! Itu dia, Pak!" seru Ian.

Rigel yang datang bersama Lady tengah berlari ke arah mereka. Pak RT menyipitkan matanya.

"Maaf telat, Pak!" kata Rigel dengan cepat.

"Owalah! Si Rigel, kirain teman kalian itu cowok," celetuk Pak RT.

"Pak, Rigel juga cowok kok. Nanti di setting sama Ian--AAAKHH!" Rigel baru saja menendang tulang kering Rud dengan keras.

"Sudah-sudah! Buruan kalian keliling terus bangunin orang sahur!"

"Siap, Pak!"

Keempatnya pun mulai berkeliling meneriakkan kata sahur sambil membawa memukul pentungan, sementara Ian membawa galon bekas yang dia pukul-pukul.

"SAHUR! SAHUR!"

Irama pukulan bersahutan dengan teriakan keempatnya. "SAHUR! SAHUR!"

"SAHUR! SAHUR! BANGUN SAHUR! SAHUR, SAHUR!"

"SAHURNYA BAPAK, IBU, ADEK, KAKAK! SAHUR! SAHUR!"

Pada pukul empat pagi, keempatnya berjalan ke warung depan di mana Pak RT sudah menunggu bersama yang lainnya.

Mereka sahur di warung yang berada di pinggir jalan. Kendaraan banyak yang berlalu lalang untuk sahur. Jika seperti ini, sudah pasti sahur yang Ian dan ketiga temannya lewati tidak pernah terlupakan.

Mereka sudah duduk di tempat masing-masing yang berada di atas trotoar dan sudah dilapisi oleh karpet dari anyaman bambu bersama pemuda lainnya.

"Ini pacar siapa?" tanya Pak RT sambil menunjuk Lady yang baru saja minum air putih.

"Dia teman kami, Pak. Lagian bule kayak Lady mah enggak pantas untuk aku dan Ian, Pak," celetuk Rud yang disambut gelak tawa dari lainnya.

"Buruan kalian sahur, nanti keburu imsak. Habis ini langsung pada salat subuh!" pesan Pak RT.

- Astaroth Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro