10.0 Mercon Kobra
(Macam-macam petasan)
Suara tilawah Al-Qur'an yang merdu bergaung di masjid. Terdapat lima perempuan mengelilingi meja yang dipenuhi Al-Qur'an dan makanan. Tadarus setelah selesai shalat tarawih adalah sebuah rutinitas. Teeyani Putri dan Fani Lathifah telah selesai membaca Al-Qur'an sesuai gilirannya. Pemilik suara merdu kali ini adalah Hanifa Sofie Arini.
Begitu Arini selesai membaca, Tee menyikut sahabatnya itu. "Ayo, kita keluar duluan."
Arini mengangguk pelan, menyempatkan diri mencomot lupis di atas meja sebelum pergi keluar bersama Tee dan Fani.
"Eh, kita duluan, ya," pamit Fani pelan pada dua orang yang tersisa. Mereka tersenyum mengiyakan.
Bulan bersinar terang di atas sana, menemani langkah ketiga sahabat yang masih memakai atasan mukena itu.
"Tee, lupis buatan ibumu enak asli," ujar Arini.
Tee tersenyum bangga, seolah itu adalah pujian untuknya bukan untuk ibunya. Hari ini, Hanin memang menyumbang kue untuk yang bertadarus. Tiba-tiba, terdengar suara ledakan kecil yang beruntun.
"Siapa yang main petasan, tuh?" Tee menghentikan langkahnya di dekat belokan gang rumah Fani, begitu juga dengan dua sahabatnya. Mereka melihat ke sekeliling.
"Katanya, Abay si adeknya Mas Yoga itu jualan mercon sekarang," sahut Fani.
"Serius? Bapaknya ngebolehin?" tanya Tee.
Fani mengangkat kedua bahu. Tak tahu menahu. Ia melanjutkan langkah, beranjak masuk ke gang sembari melambaikan tangan pada Tee dan Arini.
Namun, suara ledakan yang sama terdengar kembali, dan kali ini mereka dapat mendengarnya berasal dari gang. Fani menoleh ke depan, melihat sisa-sisa asap mengepul di depan rumahnya. Tee dan Arini pun ikut masuk ke gang, berdiri di samping kanan kiri Fani, melihat lurus ke depan.
"Dari suaranya, ini petasan telur dino, 'kan, Rin?" tanya Tee. Arini membenarkan.
Mereka tertegun ketika seorang anak laki-laki setinggi Tee keluar dari pagar rumah Fani, melihat bekas bakaran petasan tersebut.
"Adekmu, Fan." Tee berbisik. "Dia beli mercon Abay, ya?"
Fani beranjak mendekati adiknya yang masih SMP tersebut. "Eh, Dek, kamu main petasan?"
Tanpa dosa, adiknya itu mengacungkan jempol, kemudian menunjuk sesuatu di dalam pagar rumah.
Tee dan Arini lantas ikut mendekat, melongokkan kepala ke teras rumah Fani, sementara Fani mengambil kotak kardus persegi yang terletak di sana.
"Astaghfirullah al'adzim, Dek! Kamu beli sebanyak ini?" Fani berseru.
Tee dan Arini kembali mendekat. Saat Tee melihat isi dari kardus tersebut, ia sontak merebutnya dari Fani.
"Wih, jangan-jangan adekmu bukan beli, Fan, tapi juragan petasan juga kayak Abay." Kekehan terdengar dari mulut gadis itu.
Sementara Fani menginterogasi adiknya perihal dapat duit dari mana, Tee dan Arini duduk di teras, mengeduk-ngeduk isi kardus.
Lalu, Tee mengangkat satu jenis petasan sembari tercengir. "Rin, coba lihat, deh, petasan kobra."
Arin terkekeh-kekeh. "Nyalain, Tee. Kita kotorin halaman Fani pakai tai sintetis."
"Eh, ini favorit aku, petasan korek." Tee berganti mengangkat satu plastik segenggaman tangan yang berisi petasan berbentuk seperti korek api.
"Alah, itu kadang-kadang suka melempem." Arin menyahut, ia ikut memerhatikan isi kardus. Matanya berbinar ketika melihat petasan bulat dengan bentuk seperti bom. "Smoke bomb!"
Fani yang telah selesai dengan urusannya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat dua gadis yang antusias melihat petasan.
"Eh, inget nggak, dulu kita pernah ngewarnain casing HP Mas Ian pakai warna dari smoke bomb, hahaha." Tee tertawa renyah mengingat tindakan kurang adabnya.
"Iya iya, aku inget, tapi anehnya, pas kita tawarin buat gantiin casing-nya dia nggak mau." Arini menimpali.
"Petasan bisa buat nostalgia juga, ya?" Fani tersenyum kecil, duduk di sebelah Arini.
"Aku jadi pengen main, deh. Si Abay itu jualan di mana?" Tee bertanya.
Arini menggeleng-geleng, tidak tahu. "Beli aja sama adek Fani bisa nggak?"
"Bisa, bisa." Laki-laki itu menyahut begitu saja.
Fani mencibir melihat kelakuan adiknya.
Beruntung, Tee dan Arini membawa duit dalam kantung celana. Mereka segera memilih petasan yang ada, lantas melipat mukena yang tadi masih terpasang, dan beranjak menuju tempat yang lebih luas. Fani dan adiknya mengekori.
Mereka sampai di lapangan yang biasanya dijadikan tempat bermain di siang hari, tetapi kali ini tak ada seorang pun selain mereka.
"Di sini aman ndak ya?" Arini melihat sekeliling yang cukup gelap.
"Tapi, itu masih ada yang tadarus." Fani berujar, melihat Tee yang tengah berjongkok dengan tiga rupa petasan di hadapannya.
"Memangnya kedengaran sampai masjid?" tanya Tee tak acuh.
Arin berjongkok di hadapan Tee, ia mengeluarkan petasan dari kantung celananya. Gadis itu menatap petasan milik Tee dan miliknya bergantian.
"Sayang nggak ada dandelion atau magic stick." Arini berujar. "Nggak asik."
"Kamu aja beli sana. Lagian mahal tau nggak, Rin!" seru Tee, kemudian menunjuk kotak petasan berukuran kecil di tangan gadis itu. "Beli cuma yang banting aja nuntut banyak!"
"Aku, 'kan, cuma nanya! Lagian aku nggak ada duit!" balas Arini.
"Yaudah sama!"
"Yo wis, santai dong!"
Fani menghembuskan napas perlahan. Ia hanya menonton aksi yang dilakukan sahabatnya.
"Hah ... petasan disko? Kamu becanda ya, Tee? Itu ledakannya gede asli." Arin berujar tak santai ketika melihat dua petasan berbentuk tabung dengan sumbu di atasnya.
"Nggak papa, biar kedengeran sampai Bandung."
Fani mengulum bibir, lalu menunjuk petasan milik Arin. "Yang itu aja dulu, deh. Pengen tau aku."
"Ah!" Arin berdiri, mengangkat petasan yang panjang karena ada pegangan stiknya. "Ini namanya petasan roket!"
"Itu juga sering gagal tau," sahut Tee.
Namun, tak ada yang peduli, mereka mencoba menyalakan petasan itu.
Arin menancapkan petasan roket itu di tanah. Kemudian membakar sumbunya dengan korek.
Mereka bertiga mundur. Tak lama, terdengar suara seperti luncuran roket versi kecil, lalu meledak di udara.
"Weh! Berhasil!" Arin bersorak gembira.
"Ah, keren! Sekarang, giliran aku." Tee menyambar petasan diskonya. Dia menaruh petasan itu di tengah-tengah lapangan.
Tee menelan saliva, lalu menyalakan korek gas dan membakar sumbu petasan itu.
Mereka bertiga berlari menjauh hingga hampir enam meter.
"Mba Tee, awas!"
Tee menoleh mendengarnya, melihat adik Fani menunjuk ke samping kakinya yang memakai sandal.
Bum ...
Ledakan petasan disko itu benar-benar seperti bom, bahkan menerbangkan sedikit tanah di sampingnya. Namun, masalahnya di sini, petasan korek yang tepat berada di samping kaki Tee juga ikut meledak.
Tee berseru histeris ketika merasakan percikan api itu menyentuh kulit kakinya, ia meloncat-loncat ke arah Arin dan Fani.
"Buset, udah dibilang ledakannya ...." Ucapan Arin tergantung ketika menyadari ekspresi Tee. "Tee? Kamu kenapa?"
"Mba Tee kena petasan!" seru adik Fani yang berjalan mendekat.
"Tee, Tee, sakit banget?" Fani bertanya panik, memegangi bahu dan lengan Tee yang meringis hingga hampir menangis.
Arin menunduk. Ia mendapati sisi kanan kaki kanan Tee memerah. "Ya Allah, kena petasan?!"
Rasa melepuh itu semakin menjalar dan perihnya semakin menjadi. Pandangan Tee mulai buram oleh cairan bening. "Perih ... perih."
"Weh! Kalian yang main petasan?" seru seseorang.
"Iya, Mas, maaf, tapi ini ada keadaan darurat! Maaf ya, Mas!" Arin berseru, kemudian membantu Fani menuntun Tee pulang ke rumahnya, yang untungnya terhitung dekat.
Ternyata di depan rumah telah berdiri bapak Tee, Maman. Beliau bertanya panik ketika melihat Tee menangis dan terus mengangkat kaki kanannya.
Fani menjelaskan pada Maman peristiwa yang terjadi. Maman terkejut ketika mendengarnya.
"Jadi, suara ledakan petasan itu kamu ulahnya?" tanya Maman pada Tee yang mengusap air mata.
"Tau sendiri akibatnya." Maman berujar tegas.
"Ma-maaf, Pak." Tee tak berani mengangkat pandangan.
Maman menggeleng-gelengkan kepala, lalu mengangkat putrinya masuk ke dalam rumah dan memanggil Hanin.
Fani ikut menahan tangis, Arini juga merasa bersalah. Mereka tidak hati-hati dalam bermain petasan.
- Astaroth Team-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro