Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.0 Pengingat Rindu

❣ Dianjurkan membaca saat puasa ❣

Sore yang indah di hari pertama ramadhan. Jalanan kota yang dipenuhi hiruk-pikuk dan antrean panjang kemacetan mewarnai petang itu. Di salah satu jalanan trotoar, terlihat seorang laki-laki yang tengah membawa tas kerjanya. Berjalan mengikuti langkah kaki di tengah keramaian tanpa berniat menaiki salah satu transportasi umum. Hemat, begitu pikirnya.

Ia mengusap peluh di dahi, sudah sekitar tiga puluh menit ia berjalan. Tak banyak yang berubah dari Bandung ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di sana. Dua tahun menetap dan berbaur di kota itu membuatnya sedikit banyak telah menganggap Bandung sama seperti kota kelahirannya, Surabaya.

Tepat ketika jam tangan hitamnya menunjukan angka 16.30 laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit kecokelatan itu lalu tiba di kontrakannya. Ia membuka pintu, baru saja hendak melangkah sebuah panggilan mengurungkan niat laki-laki itu.

"Dah pulang, Yan?" Suara berat milik seorang laki-laki yang sedang memontir sepeda motor bututnya terdengar.

"Iya, Rud. Kenapa?"

Rud yang masih asyik dengan motornya lantas berkata, "Nggak pa-pa, gue nyapa doang. Lo tadi dateng-dateng kayak melamun, jadi gue takut lo kerasukan."

Ian menyandarkan punggungnya di pintu, sedikit tergelak atas ucapan temannya itu. "Kagaklah, mana ada gue kerasukan, yang ada setannya yang kerasukan sama gue," balas Ian seraya menggulung lengan bajunya dan berjalan mendekati Rud.

"Kenapa lagi si Junior? Perasaan baru tiga hari lalu dibawa ke dokter," tandas Ian sembari memperhatikan satu-satunya kendaraan yang sering keduanya gunakan.

Rud terlihat menghela napas, ia menggelap sebutir keringat di dahinya. Menyebabkan oli motor terlukis indah di wajah laki-laki itu.

"Biasalah, Yan. Namanya motor tua, berapa kali pun di bawa ke bengkel kagak pernah bertahan lama, pasti beberapa hari kemudian mogok lagi di jalan," keluh Rud.

"Tinggal beli baru-Ahk!"

"Semprul! Saran lo unpaedah tahu. Kalau ada duit, dari awal gue ngerantau ke Bandung tuh motor dah gue jual terus beli yang baru," semprot Rud setelah sebelumnya memukul Ian dengan obeng.

"Ya maaf, Rud. Gue kan ngasih saran doang, bermanfaat enggaknya ya di tangan lo. Lo malah dah mukul tempurung lutut gue, untung kagak kenapa-kenapa," ungkap Ian sembari mengelus pelan tempurung lututnya.

Percakapan keduanya terhenti kala sebuah sepeda motor Honda biru berhenti di depan pagar kontrakan mereka. Seorang gadis berperawakan tinggi dengan rambut panjang yang dikucir satu itu turun dari motornya. Seberkas cahaya seolah menyinari gadis itu kala ia tersenyum melihat kedua temannya yang sedang mengobrol riang.

"Rud, Ian! Rigel datang!" Teriakan Rigel membuat kedua laki-laki itu menutup telinga mereka.

Gadis itu lantas berjalan mendekati keduanya, sesampainya di dekat Rud dan Ian, Rigel memukul bahu mereka sedikit keras membuat si empunya meringis kecil. Tanpa ada yang mempersilakan, Rigel telah lebih dahulu duduk di motor Rud yang masih di perbaiki.

"Gel, satu setengah tahun gue berteman sama lo. Kebiasaan lo kagak pernah berubah, ini bahu gue sama Rud bisa-bisa lebam gara-gara pukulan yang katanya simbol pertemanan dari lo." Ian mengusap bahunya, ia merasa begitu sial. Setelah tempurung lutut sekarang malah bahunya juga kena.

"Tapi buktinya kagak, 'kan? Ya udah, masih aman kalau begitu. Tapi kalau emang lebam nanti calling-calling gue aja, biar gue kasih betadine ...."

"Semprul! Betadine buat luka akibat goresan atau jatoh, Gel. Kalau lebam obatnya lain, nggak belajar apa pas SD?" Lagi. Umpatan khas Rud terdengar lagi, laki-laki itu menatap Rigel sembari menggelengkan kepalanya.

"Emang di SD ada pelajarannya? Perasaan cuma tambah, kurang, bagi, sama kali. Kalian SD di mana? Kok seingat gue kagak ada tuh Bu Yani ngajarin itu ke gue." Kening Rigel mengerut bingung, ia berusaha mengingat-ingat masa sekolah dasarnya.

Ian yang mendengar jawaban dari Rigel mengusap wajahnya pelan. Tak akan ada habisnya jika berbicara dengan Rigel yang suka melantur ke mana-mana.

"Di jam 17.15 ini ngapain lo ke sini?"

Senyum Rigel kembali terlukis di bibir gadis itu, ketika Ian mengingatkan niat awalnya yang tadi sempat terlupa. "Gue mau ngajakin kalian berdua ke pasar ramadhan yang nggak jauh dari sini. Bentar lagi buka loh, ayo sekarang aja perginya."

Rud melirik Ian yang juga meliriknya, keduanya seolah berbicara dengan batin dan memutuskan untuk menyetujui permintaan Rigel. Rud dan Ian lalu mengangguk seraya meminta izin untuk berganti baju sebentar.

"Gue ganti baju dulu, ini baru pulang kerja. Sama gue mau ngambil jemuran, takut hujan," ucap Ian yang langsung dibalas anggukan kepala Rigel.

"Gue juga mau ganti baju, tapi alat-alat montir gue masih pada berhamburan ...."

"Lo cepetan ganti baju, gue yang beresin. Kalau dah bilang begitu, paham gue Rud, lo mau minta tolong gue." Rudi terkekeh, ia lantas bergegas membersihkan diri dan mencari baju ganti.

Tak berapa lama Rudi dan Ian telah siap. Setelah mengunci pintu kontrakan, kini satu masalah tengah dihadapi ketiganya. Apakah Junior akan dapat diajak berkerja sama? Akan tetapi, untunglah si Junior-sepeda motor Rudi-dapat berkerjasama. Ian lantas naik di motor Rudi, sedangkan Rigel telah lebih dahulu melajukan motornya.

Ketiganya melajukan motor secara beriringan dengan kecepatan sedang. Menikmati sore indah di Kota Bandung dengan warna langit yang mulai memerah. Sang raja siang sudah hampir menyelesaikan tugasnya, bersiap berganti peran dengan bulan.

Keadaan pasar begitu ramai ketika mereka tiba, dengan segera ketiganya memarkirkan motor dan mencari makanan berbuka. Jarum jam telah menunjukkan pukul 17.45, sebentar lagi azan Magrib berkumandang.

Ian menatap stan-stan yang dibuat penjual, melihat kue-kue yang di dagangkan. Rigel yang begitu antusias kala melihat es cendol lantas segera membelinya. Satu-satu dari ketiganya telah memegang es cendol, sekarang waktunya mencari makanan berbuka.

Kolak, surabi, awung, gehu, dan beberapa makanan lainnya seolah memanggil tiga sekawan itu untuk mendekat dan membeli. Beberapa stan juga terlihat kebanjiran pesanan, tentu sebuah ide buruk untuk ikut mengantre ketika sebentar lagi waktu berbuka.

Rigel lantas membeli gorengan, kolak, dan surabi setelah sebelumnya mendapat anggukan setuju dari Rudi dan Ian. Sembari menunggu Rigel yang masih memesan makanan, Ian mengedarkan matanya. Netra hitam laki-laki itu terpaku pada sebuah makanan di salah satu stan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Klanting? Makanan itu ...." Sebuah kurva terbentuk di bibirnya, ingatan masa kecil membuat laki-laki itu seolah kembali pada masa lalu. Sebersit keinginan tiba-tiba datang menghampiri Ian. Ya, sudah waktunya ia pulang.

- 😈😈😈-

Welcome to the demon room!
Aku harap, puasa kalian nggak batal, ya.
Kalau batal, nebus lagi setelah puasa hihi Selamat menikmati. 😉

(Awug, kolak, gorengan, gehu,
cendol, surabi.)

(Klantink)

Makanan di atas recommended banget dan kalian harus coba. Seenak itu sampai mau meninggal❣

- Astaroth Team -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro