AOL | 9
Rembulan bertengger di atas horizon. Sudah larut malam. Permukaan bumi radius 200 meter sebelah kulon dari rumah Nenek diguyur hujan, menambah kesyahduan Erza dalam menghayati ke- sadboy-annya.
Mifta, oh, Mifta ... kenapa kau semudah itu berpaling dariku? Terlebih lagi, kau memilih Haekal. Kini, apa seleramu sudah berpindah haluan pada lelaki yang hobi menempelkan upil di sudut meja? Yang dulunya sering menjadi nyamuk di antara kita, dengan eksistensi setengah gaibnya?
Demi hasil totalitas, Erza meraih sarung cap aligator dari lemari. Sudah seperti harta karun fleksibel, sarung hitam bergaris kotak-kotak merah di bagian bawahnya itu memang sengaja Erza masukkan ke dalam ransel ketika hendak bermudik. Erza mendekapnya erat sembari memejamkan mata. Hidungnya mengendus panjang, mencari sisa-sisa aroma yang ada.
Layaknya mengangkut angin dari masa lampau, Erza jadi teringat pada kata-kata terakhir Mifta di saat menghadiahinya sarung ini. "Kuharap, sarung ini bisa membuatmu selalu teringat padaku. Dengarkan baik-baik, ya. Kalau kamu menjelma jadi aligator, kusumpahin bibirmu jontor, dicium Dementor!"
Aw, manis sekali. Meski hubungan kita berakhir rata, namamu masih selalu jadi yang kupinta pada Sang Pencipta, Mifta-ku tercinta.
Mata Erza berubah sayu. Ia berbaring di atas sofa ruang tamu. Sepertinya, malam ini akan berakhir dengan kebucinannya yang meronta. Prediksi itu masih bertahan hingga telinga Erza terasa ditarik kencang oleh seseorang. Diiringi jeritan nelangsa, Erza mengaduh minta ampun, lalu membuka mata. Tampaklah Nurand, dengan mata melotot yang hampir keluar dari tempatnya.
"Apa-apaan, santai-santai begitu?"
Erza meringis mengenaskan. "Anu, Ma. Aduh, aku masih capek. Baru pulang, lho."
Tak diundang, Ayu menyembulkan kepala dari gorden kamar. "Idih, mana ada, Ma. Bang Erza lagi sakit hati, tuh. Gara-gara Kak Mifta sudah punya gandengan yang baru. Wuuu, Bang Er payah, sih!"
"Apa, deh? Bocil tahu apa, kamu? Kalau nastarnya Abang bantai sampai tandas, baru tahu rasa!"
Merasa diabaikan, Nurand menarik telinga Erza semakin ganas. "Cepat! Alat bekas makan sudah menumpuk, tuh. Sana, cuci!"
Erza merengkuh sarung semakin kukuh. "Maaaa, ih. Aku capek. Suruh Ayu aja, tuh!" Erza menunjuk bingkai kamar. Namun, anak koplak itu sudah tak lagi nampak. Terdengar dengkuran yang dibesar-besarkan dari dalam sana. Sial. Ayu pasti sengaja pura-pura tidur! Padahal baru beberapa detik lalu Ayu puas-puasan ngatain Erza. Adik laknat!
"Enggak menerima alasan, ya! Cepat selesaikan! Mama mau tidur. Berterima kasihlah pada Mama yang sudah menunggumu sampai terkantuk-kantuk di ruang depan. Mama bisa aja biarin kamu tidur di luar! Lagian, ya, kerjaan cuci piring di rumah jadi nambah, itu gara-gara siapa? Kamu! Makanya, jangan banyak protes. Huh, anak muda macam apa kau ini. Beban keluarga saja."
Dalam keadaan diseret Nurand, Erza berseru keras, "Awas aja, Ayu! Enggak ada bagian nastar untukmu!"
Detik melaju. Nurand sudah kembali dan masuk kamar yang sama dengan Ayu. Sementara itu, terdengar suara aliran air dari dapur. Sunyi, hanya menyisakan nyanyian binatang malam. Nastar membuka mata. Tak ada manusia yang berlalu-lalang lagi.
Nastar bangkit dari posisi tidurnya. Spontan, tentu saja Penasihat Nastar lekas membukakan tutup toples, untuk memberi jalan pada Sang Raja. Nastar mendengkus, lalu berjalan-jalan di atas meja. Penasihat mengikutinya. "Cih, manusia itu sangat berisik, ya. Apa yang mereka ributkan sejak tadi? Beban keluarga?"
"Keadaan di mana seseorang hanya membebani dan tidak ada gunanya untuk umat, Raja," jelas Penasihat, seketika. Sudah seperti Wikipedia berjalannya Nastar saja.
Nastar masih sibuk mengamati dunianya. Sampailah ia di atas sofa. Sarung cap aligator sukses menarik perhatiannya. "Dan, hei. Apa-apaan kain buluk yang gelap dan suram ini? Sangat meresahkan. Kenapa manusia ngenes itu memeluknya terus-terusan? Apa istimewanya?" Nastar menginjak-injak sarung, hingga serpihan keju di atasnya ada yang jatuh mengotori sarung. "Oh, tidak! Mahkota agungku!"
Penasihat menatap Nastar, ada sesuatu yang jauh lebih penting untuk segera dibahas. "Baginda Raja, bagaimana dengan JKT—Jemaah Kesatuan Takjil—yang Raja perdayai itu? Maaf jika lancang, Baginda. Menurut pengamatan saya, Semprit memiliki pengaruh yang cukup besar di tengah-tengah AMER—Aliansi Makanan Enak dan Ramah—ini. Bagaimana jika mereka bersatu memberontak padamu, Raja?"
"Tidak akan!" tegas Nastar, geram. Wajahnya yang sudah kuning keemasan mendadak saja terlihat jauh lebih gosong. "Sampai peradaban kue hancur sekalipun, aku tak akan pernah membiarkannya terjadi. Kambing hitamkan Semprit! Buat dia tampil sebagai pelakunya!"
"Jahat!" seru Kue Salju, yang mendadak muncul dari bantal sofa, lalu naik ke atas lipatan sarung cap aligator untuk menghadap Nastar. "Jadi, semua rumor buruk tentang Semprit yang menghina JKT, hanyalah muslihatmu, Nastar?"
"Panggil aku Baginda Raja yang Mahamulia!" sentak Nastar, sempurna murka.
Salju terlonjak kaget untuk sejenak, membuat sebagian serbuk putih di badannya berhamburan ke atas sarung. "Kalian tidak punya perasaan! Bagaimana mungkin kalian bisa tersenyum memamerkan topeng kepalsuan, di saat melemparkan segala kebusukan pada Semprit!"
"DIAM!" Tak lagi segan, Nastar menodongkan tusuk gigi pusakanya. Salju terduduk jatuh sambil perlahan mencoba bergerak mundur, menghindari ujung tusuk gigi yang runcing. "Seperti yang kukira, kau ini hanyalah kue lemah! Aku, Raja Nastar yang agung ini akan membangun dunia kue yang baru, tanpa ada pemikiran kolot sepertimu. Kau memang tidak berguna. Sebaiknya, kau mati saja. Dasar, Gumpalan Ondel-Ondel Berbedak Tebal!"
Ujung tusuk gigi itu menikam perut Salju habis-habisan. Salju terkesiap, meringkik sakit. Akhirnya, kedua mata Salju terpejam, dengan anggota tubuh yang sudah remuk di sana-sini. Salju dimutilasi. Nastar tertawa arogan.
Sementara itu, Roti Buaya mengintip dari celah bantal. Ia sudah berusaha menahan Salju, sejak tadi. Akan tetapi, Salju terlalu dikuasai kemarahan hingga gegabah menentang Nastar seorang diri. Gigi Roti Buaya bergemeletuk kesal. Apa-apaan Pasukan Kekaisaran Nastar itu? Salju mati dengan cara yang tidak diinginkan. Tenanglah, Salju Sayang. Kangmas akan membalaskan ketidakadilan yang menimpamu!
Roti Buaya menghabiskan waktu semalaman untuk memikirkan strategi terbaik, sekaligus menyebarkan informasi mencengangkan mengenai Nastar yang memfitnah Semprit, sampai pembunuhan Salju. Rengginang menjadi target pertamanya. Rengginang—yang seringkali dihina rapuh, lemah, dan tak lebih dari remahan, oleh Nastar—adalah bahan bakar terbaik untuk mengobarkan api provokasi di antara masyarakat kue. Tak perlu waktu lama, kabar ini menjadi trending dan dibicarakan kawanan kue di sana-sini.
Lebih cepat dari perkiraan Roti Buaya sebelumnya, mereka berhasil mengumpulkan tim yang ingin menggulingkan kekaisaran Nastar, di saat Nastar belum menciptakan pergerakan untuk mengantisipasinya. Seperti hari ini, mereka berkumpul di kolong lemari TV yang remang-remang dan resmi dijadikan sebagai markas sementara.
Di depan kerumunan kue beragam bentuk, Roti Buaya dan Rengginang terlihat memimpin jalannya pertemuan. Rengginang berdeham singkat. Sebagai salah satu sesepuh di rumah Nenek, Rengginang merasa berkewajiban memulai acara. "Wahai Para Pejuang yang tak kenal kata usai .... Tidakkah kita sadari, sebelumnya? Semenjak kedatangan Pasukan Kekaisaran Nastar, hidup para masyarakat AMER jadi pecah belah!"
"Betul, betul!"
Roti Buaya berteriak, "Lantas, apa yang perlu kita lakukan?"
"Menyingkirkan Nastar dari tatanan kehidupan masyarakat AMER!"
"Benar! Inilah bentuk rasa bakti kita demi kedamaian di rumah Nenek. Siapa kita?"
"Pejuang Revolusi!"
"Siapa kita?"
"Pejuang Revolusi!"
"Hidup, Pejuang Revolusi!"
"Hidup! Hidup! Hidup!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro