AOL | 5
"Assalamualaikum!"
Seorang perempuan setengah baya dengan tubuh berisi yang tengah bersantai di ruang keluarga seketika bangkit.
"Waalaikumsalam! Eh, Rian, anak Ibu." Wanita itu segera memeluk pria yang berdiri di muka pintu. Mengabaikan bawaan berat yang dia tenteng dan berada di tas punggung.
"Apa kabar kamu, Nak?" Tiwi, yang merupakan nenek Ayu itu melepaskan pelukannya dan berganti memeluk menantunya.
"Alhamdulillah. Cuma capek, Bu." Rian menjawab sembari masuk membawa barang dari kota yang dia bawa.
"Eh, keluarga Mas Bayu udah sampai ternyata." Rian duduk di ruang tamu melirik segerombolan keluarga besarnya yang tengah bersantai.
"Iya. Tadi siang sampai," jawab Tiwi sembari mempersilakan menantunya masuk.
Sapaan yang Rian layangkan cukup membuat keluarga besar di dalam memusatkan perhatian kepadanya. Mereka segera bangkit, yang didahului Ayu.
"Om Rian!" Ayu, keponakan kesayangan Rian terlihat semringah. Gadis itu kemudian berlari dan memeluk Rian.
"Ayu kangen banget sama Om." Gadis itu sudah berada di pangkuan Rian. Rian dengan senang hati memeluk Ayu untuk menyalurkan kerinduan.
"Apa kabar, Yan?" Bayu bertanya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan adik dan adik iparnya.
Rian menerima uluran tangan kakaknya dengan semringah. Masih dengan Ayu yang memeluknya di pangkuan, dia menjawab, "Alhamdulillah, Mas. Cuma capek perjalanan aja. Mabok aku tadi."
"Kamu, sih, enggak mau sarapan dulu." Kini istri Rian yang angkat bicara. Tiwi menatap Rian horor yang dia tanggapi dengan senyum masam.
"Caper banget," celetuk Erza yang baru datang dan menyalami Rian.
Ayu yang merasa seketika bangkit. "Iri, ya? Bener, sih, kan nggak mampu." Gadis itu mengejek dengan menjulurkan lidah yang membuat Erza terpancing amarah.
Dan perdebatan pun dimulai. Adu mulut dua saudara yang seperti anjing dan kucing itu membuat para orang tua jengah sendiri. Entah kenapa mereka tidak pernah akur barang sejam pun. Nurand hanya bisa menghela napas panjang, bersiap berteriak.
"Nih, buat kalian dari pada bertengkar!" Rian mengeluarkan dua bungkusan roti buaya mini yang terlihat sangat menggiurkan. Memotong perdebatan panjang yang sudah menyulut emosi Nurand.
"Kesukaan Ayu!" Ayu meninggalkan Erza yang masih mengejeknya.
"Emang apa yang nggak kamu suka?" Erza mengambil kasar sodoran Rian kemudian berganti duduk di dekat Tiwi, menjauh dari Ayu yang duduk di dekat Rian dan istrinya, disusul orang tuanya.
Ayu tidak menanggapi. Dia memilih memerhatikan roti-roti imut dalam keranjang yang dihias dengan saksama. Rasanya pasti lezat, pikirnya.
"Simpan di lemari, sana, Yu!" perintah Nurand yang dipatuhi Ayu. Dengan langkah sembarang, Ayu berjalan melewati ruang keluarga dengan barang yang berserakan ke mana-mana. Dia terlalu fokus pada roti di tangannya.
Beberapa langkah kemudian, Ayu tersandung bonekanya yang membuat dirinya terjatuh dan melemparkan kue buaya di tangannya. Erza yang masih bisa melihatnya menertawakannya. Namun, bukan itu yang menarik perhatiannya. Gadis itu dibuat bingung sebab mendengar suara ringisan.
"Halusinasi mungkin, ya. Terlalu ngiler sama kue ini." Ayu berdiri dan memungut roti yang dia jatuhkan tadi tanpa memedulikan Erza yang pasti sebentar lagi dimarahi Nurand.
"Baik-baik di sini, ya, Roti Buaya." Ayu meletakkan kue itu di samping setoples nastar kesukaannya. Setelahnya dia menutup lemari dan meninggalkan kue-kue yang mulai terbangun.
"Dia siapa?" Raja bertanya dengan tidak santai. Dirinya merasa terancam karena sebuah roti besar itu. Meski dirinya tetap yakin dia yang terbaik, tetapi dia merasa cemas jika dia diragukan.
"Mari kita lihat, Raja." Penasihat mengangkat tangannya dan memutar tutup stoples bening yang menutupinya.
Kedua Nastar itu kini berada di depan kue-kue buaya yang meringis kesakitan. Tak berselang lama, Semprit pun mendatangi mereka. "Ada apa ini? Kamu ... tidak apa-apa?"
Raja Nastar tidak suka melihat Semprit yang sok cari muka. "Mana mungkin terjatuh tidak apa-apa," celetuk Raja samar yang membuat Semprit menoleh.
"Kenapa, Nastar?"
"Aku tidak berkata apa-apa."
Semprit mengangguk kemudian berjalan beberapa langkah mendekati Buaya. "Kamu ... tidak apa-apa?" tanyanya lagi melihat beberapa roti Buaya yang mulai sadar.
"Iya. Kau?" Buaya itu tampak bibgung. "Aku pusing sekali. Sudah capek perjalanan, pakai jatuh pula."
"Istirahat saja, nanti pasti segera membaik." Setelahnya Semprit meninggalkan Buaya yang memejamkan mata.
"Hei, Semprit! Jangan sok, ya!" Raja Nastar sudah kehilangan kesabaran. Penasihat hanya bisa diam di samping Raja dan membisikkan singkat kata-kata penenang.
"Maksudnya?" tanya Semprit yang juga mewakili pertanyaan Buaya.
Raja mengangkat tongkat dan menunjuk-nunjuk ke arah Semprit. "Tidak usah sok perhatian dengan penghuni baru itu."
"Aku? Kami dari bangsa Buaya." Roti buaya yang merasa menjadi sumber masalah itu membuka suara sekalian memperkenalkan diri.
"Iya! Lihatlah, dia sok caper."
"Aku sama sekali nggak berniat seperti itu, Nastar."
"Bilang saja kau ingin menyaingiku menjadi roti terfavorit yang tak terkalahkan!"
Bukannya merasa bagaimana, Semprit justru tertawa kencang. "Apa? Terfavorit tak terkalahkan? Jangan mimpi! Aku yang menjadi primadona di sini!"
Penasihat kerajaan menatap tak terima. Nastar itu maju mendahului Raja kemudian berujar, "Tidak usah sombong, kau!"
Raja mengangkat tongkat dan menyentuh Penasihat. "Biar aku yang tangani. Yang menjadi raja aku, bukan kau!" Setelahnya Raja maju. Sekarang posisi Raja Nastar dan Semprit hanya terpisah dua langkah. Mereka saling melemparkan tatapan tak suka.
"Mungkin hal itu benar. Tapj sebelum aku sampai di sini. Di seluruh penjuru negeri pun mengakui jika aku rajanya kue lebaran! Jadi, kalian harus patuh kepadaku!"
Saat Semprit ingin membuka suara, Roti Buaya sudah merangkak sampai di antara mereka. Moncongnya sudah menempel mereka berdua—Semprit dan Nastar. "Sudah! Jangan bertengkar."
"Maaf jika kedatanganku membuat keributan. Sebaiknya kalian tidak bertengkar. Lebih baik berbaikan saja." Buaya menasihati dua kue di hadapannya dengan merasa tidak enak.
"Mana bisa seperti itu?!" Penasihat berteriak sebab tidak terima dengan apa yang Buaya katakan.
"Kamu ...?"
Penasihat berjalan mendekat kemudian bersidekap dada. "Aku Penasihat kerajaan. Jangan mengatakan hal yang tidak disukai Raja!"
Buaya berusaha menutupi kekehannya, meski Nastar—Raja dan Penasihat—menyadarinya. "Mau menjadi Raja dan Penasihat di kerajaan yang belum terbangun?"
"Raja, kembali! Ada manusia yang mendekat ke arah sini." Semua kue yang tadi berpindah dari tempatnya segera berlari untuk berbaris lagi. Mereka tidak sadar jika beberapa dari mereka yang bertabrakan menimbulkan remukan yang mendatangkan semut.
Beberapa menit berkutat di dekat lemari penyimpanan kue, Ayu melihat semut yang berbaris di lantai. Seketika dia terbelalak karena melihat muara semut itu di lemari penyimpanan kue. Semut merah yang sangat banyak itu mengerubungi setoples kue-kue yang dia suka. Terutama Nastar!
"Nastarku! Bagaimana mungkin banyak remukan nastar di sini? Apa mungkin ... Bang Erza!" Ayu berteriak di akhir gumamannya menuduh seseorang yang memang pantasnya dicurigai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro