AOL | 24
Setelah melakukan lomba balap ninja, Erza dan Haekal berpisah di halaman masjid, ini karena rumah mereka berbeda arah, jadi tidak mungkin keduanya pulang bersama-sama. Haekal duduk di halaman masjid sambil melambaikan tangan pada Erza. Ketika mantan saingannya itu menghilang di persimpangan gang, Haekal mengambil benda pipih di tangannya, bermaksud untuk menghubungi Mifta.
Ujung matanya menangkap presensi seseorang, Haekal mendongak dan melihat Mifta sudah berdiri di hadapannya. Dimasukkan kembali ponsel tersebut ke saku.
"Eh, Mif, jadi cari takjil? Yuk! Takut kesorean," ajak Haekal dengan senyum yang merekah.
"Aku dengar semuanya, loh," ucap Mifta ketus.
Haekal mengernyit. "Dengar apa?"
"Obrolan kamu sama Erza tadi."
"Oh, iya, Sayang, kita udah baikan. Kamu nggak usah khawatir. Atau ... kamu sebenarnya masih kesal sama Erza dan nggak mau aku baikan sama dia?"
"Masalahnya bukan ada di Erza, tapi kamu!" bentak Mifta. "Kamu bohongin aku selama ini?"
Haekal yang sedikit panik dan bingung, beranjak untuk menenangkan Mifta. "Kenapa sih, Mif? Bohong apa?"
"Kamu pacaran sama aku cuma buat bikin Erza cemburu?" bentak Mifta lagi.
Haekal panik, dirinya hendak membawa Mifta ke dalam dekapan, tetapi ia mengurungkannya. Bisa-bisa berkurang pahala puasanya hari ini. Hanya diamlah yang bisa Haekal lakukan sekarang. Jika diperhatikan kembali, kedua netra Mifta tampak sembab dan bengkak.
"Sayang, tadi kamu nangis?" tanya Haekal lembut. Jadi, Mifta sudah ada di masjid sejak tadi dan mendengar percakapannya dengan Erza? Lalu, gadis itu bersembunyi sambil menangis?
"Cewek mana, sih, yang nggak nangis waktu tahu pacarnya cuma main-main sama dia?" ucap Mifta parau. Air matanya tidak terbendung lagi. Padahal, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi mengeluarkan air matanya untuk Haekal.
"I-iya awalnya aku cuma mau buat Erza cemburu, tapi akhirnya aku beneran suka, kok, sama kamu. Percaya deh sama aku," pinta Haekal, sedikit putus asa. "Udah, ya, jangan nangis lagi. Kalau aku nggak suka sama kamu, ngapain aku macarin kamu sampai sekarang?"
"Mending nggak usah kenal lagi sama aku," ketus Mifta.
"Mif, ini mau lebaran loh, masa kita--"
"Nggak peduli!" Mifta berbalik badan dan pergi menjauh. "Nggak usah ngomong sama aku lagi!"
Melihat punggung sang kekasih yang kian menjauh, Haekal pasrah. Mengejar pun tiada artinya, Mifta sudah kepalang kesal. Pemuda itu mengerang, lalu mengacak acak rambutnya frustrasi.
Karma memang tidak pernah salah alamat, gengs.
🍪🍪🍪
Di dalam rumah, Erza masih sibuk berkutat dengan sapu dan pengki, dirinya berkomat-kamit, mengumpat dan mengucapkan sumpah serapah akibat kesialan yang diterimanya sore ini. Padahal, baru sama suasana hatinya membaik karena berhasil bermaafan dengan Haekal, tetapi tuduhan sadis dari mulut sang bunda berhasil menghapus senyum lebarnya.
"Siapa, sih, yang numpah-numpahin kue? Nggak mungkin Ayu, soalnya tadi dia ngaji bareng aku," gumamnya. Pemuda itu mengentak-entakkan kakinya ke lantai. "Ah, kesel! Kesel!" umpatnya.
"Erza! Kalau bersihin rumah yang ikhlas!" teriak Nurand dari arah dapur.
Di dalam otak kecilnya, Erza memiliki banyak ungkapan protes untuk sang bunda. Namun, karena surga ada di telapak kaki ibu, dan pemuda itu tidak ingin merasakan jilatan api neraka, pemuda itu lebih memilih bungkam. "Iya, Bu!"
Tidak jauh dari sana, Raja Nastar berdiam diri di dalam stoples, menatap kosong pemuda berusia tujuh belas tahun yang sedang membersihkan jasad-jasad prajuritnya. Sejak mengibarkan bendera putih, kue arogan itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sang Penasihat turut merasakan kesedihan yang dirasaka rajanya. Kini, hanya merekalah bangsa nastar yang tersisa.
Semprit melompat-lompat kecil ke arah stoples nastar yang sudah kosong. Menyadari hal itu, Raja Nastar menoleh ke arah kue bertabur choco chip itu.
"Halo, Semprit," sapanya lesu. "Adakah yang bisa kubantu?"
Semprit mendesah pelan. "Aku hanya ingin mengecek kondisimu."
Nastar tersenyum getir. "Jika dibandingkan tadi, suasana hatiku sudah membaik."
"Bolehkah aku menemanimu?"
"Tentu saja."
Semprit melompat-lompat kecil dan duduk di sebelah Nastar. Keduanya diliputi keheningan yang panjang.
"Nastar, apakah kau tahu apa tujuan manusia menciptakan kita?" Semprit memecah keheningan.
"Untuk dimakan?" jawab Nastar polos.
"Ya, jawabanmu tidak salah. Namun, ada hal yang lebih penting dari hanya sekedar 'dimakan'." Semprit menoleh ke arah kawan kuenya. "Kau tahu apa itu?"
Kue isian nanas itu menggeleng.
"Kue-kue seperti kita identik dengan Idulfitri, hari raya besar umat muslim." Semprit memulai ceritanya. "Ketika Idulfitri, manusia-manusia yang di hari biasa sibuk dengan diri masing-masing, akan berkumpul di suatu tempat dan merayakan 'hari kemenangan' setelah satu bulan penuh berpuasa."
"Seperti adik kakak berisik itu dan manusia-manusia lainnya?"
"Ya, kau benar, Nastar. Itulah yang dinamakan keluarga." Semprit mengangguk. "Kue-kue lebaran berperan besar dalam perayaan hari kemenangan itu. Manusia akan saling bermaaf-maafan, mengobrol berbagi suka cita sambil menikmati kudapan manis dan gurih seperti kita. Itulah takdir kita, Nastar, sebagai salah satu media penyambung tali silaturahmi bangsa manusia."
Mendengar cerita Semprit, tanpa sadar kedua netra Nastar memburam, ia tidak kuasa menahan tangis dan perasaan bersalahnya. Jika itulah takdir mereka, maka niatnya untuk menguasai bangsa kue adalah kesalahan besar. Dirinya diciptakan untuk menyambung tali persaudaraan, bukan sebaliknya. Akibat peperangan yang dilakukan bangsa kue, remaja laki-laki yang kini berkutat dengan sapu tersebut malah mendapat amarah dari ibunya. Terkadang, pemuda itu juga berkelahi dengan adiknya akibat ulah Nastar.
"Betapa bodohnya aku ...," ucap Nastar parau.
Melihat saudaranya yang dirundung rasa bersalah, Semprit merasakan sesak di dadanya. Ia mencabut choco chip yang menempel di tubuhnya, kemudian memberikannya pada Nastar.
"Apa ... ini?" tanya Nastar, masih dengan netra yang berkaca-kaca.
"Kau boleh memilikinya. Anggap saja ini sebagai mahkota kerajaan kita yang baru, Kerajaan Kue Lebaran," ucap Semprit tulus.
Semprit melepas mahkota keju yang ada di kepala Nastar, kemudian menggantinya dengan choco chip. Kue bijaksana itu berlutut di depan sang raja. "Panjang umurlah, Rajaku," ucapnya.
Dengan cepat Nastar menarik Semprit untuk bangun. "Jangan lakukan itu, aku bukan lagi rajamu. Di sini, kita semua satu." Kemudian, ia berseru. "Aha! Aku punya ide yang lebih bagus!"
"Apa itu, Nastar?"
Nastar memakaikan mahkota keju di kepala semprit. "Dengan bertukar topping, anggap saja ini simbol terbentuknya aliansi para kue. Kita akan memimpin rakyat masing-masing, tetapi visi kita tetap satu, sebagai media penyambung tali silaturahmi bangsa manusia."
Semprit mengangguk antusias. "Aku setuju dengan idemu, Nastar."
Suara ketukan pintu menginterupsi proses serahterima mahkota itu. Erza yang belum selesai merapikan remah-remah kue, berjalan untuk membukanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari siapa tamu yang mengunjungi rumah Nenek Tiwi.
"Loh, Mifta?" Jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat presensi Mifta.
"Sore, Erza, maaf nih ganggu, takutnya lagi siap-siap buat buka puasa." Gadis itu mengulurkan tangan dan menyerahkan bingkisan plastik pada mantannya itu. "Ini ada kurma dari ibu."
"Oh, makasih." Erza menerima bingkisan tersebut dengan canggung. "Bilang makasih buat ibumu, ya."
"Iya."
Kedua pasang remaja itu diliputi keheningan yang panjang. Erza menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, sedangkan Mifta menunduk sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
"Mif--"
"--Za"
Menyadari bahwa mereka berbicara bersamaan, keduanya berhenti.
"Kamu dulu," ucap Erza.
"Nggak, kamu dulu!" Mifta bersikeras.
Erza bergeming sesaat sebelum berucap. "Maaf ya, Mif. Beberapa hari ini ... aku kayaknya banyak berulah bikin kesel kamu terus."
"Oh, iya, nggak papa," jawab gadis itu. Dirinya menunduk untuk menyembunyikan senyumnya.
"Kamu mau maafin aku, 'kan?"
"Iya aku maafin, Za." Mifta mengangguk tulus. Entah mengapa, tembok pembatas yang ada dalam dirinya runtuh seketika.
"Kita tetap berteman, 'kan?"
"Ya iyalah! Kita, 'kan, udah maaf-maafan!" jawab Mifta, sedikit ketus untuk menyembunyikan kegugupannya.
Mendengarnya, senyuman lebar terulas di wajah Erza, seakan-akan beban berat yang ada di bahunya menghilang seketika.
Obrolan mereka terputus akibat azan magrib yang sudah berkumandang. Dari dalam rumah, terdengar teriakan Nurand. "Erza! Udah waktunya buka, nih!"
"Oh, iya, Bu!" Erza balas berteriak. Pemuda itu menoleh ke arah Mifta. "Mif, sekalian buka di sini aja! Ibu sama Tante baru banget bikin es goyobod."
"Nggak ngerepotin, nih?"
"Nggak, dong. Masa ngerepotin." Erza cengengesan.
"Boleh, deh." Mifta melepas sendalnya, kemudian masuk ke dalam rumah Nenek Tiwi. "Assalamualaikum." Ia mengikuti Erza menuju dapur.
"Waalaikumsalam. Eh, ada Mifta. Sini, sini, Nak. Ada es goyobod! Buka puasa dulu!" seru Nurand antusias.
"Iya, Bu, terima kasih," jawab gadis itu dengan senyum yang merekah.
Semprit dan Nastar memperhatikan kebersamaan bangsa manusia dari jauh. Kehangatan menjalar di hati keduanya. Melihat para manusia berbagi senyuman, kegundahan di hati Nastar sirna seketika.
"Indah banget ya, Semprit?" lirih Nastar.
"Indah banget, sampai kita lupa buat sembunyi," jawab kue bijaksana itu.
"Loh, iya!" Nastar panik. "Sembunyi! Kembali ke stoplesmu, Semprit!"
Pada akhirnya, kedua kue itu berhasil kembali ke rumah masing-masing sebelum para manusia berkumpul di dapur. Setelah semuanya duduk di meja makan, Bayu memimpin doa buka puasa, diikuti oleh 'aamiin' dari seluruh penghuni rumah Nenek Tiwi. Setelah itu, masing-masing dari mereka menikmati es goyobod sebagai takjil, ada pula yang langsung mengambil makanan berat.
Mendengar bangsa manusia yang sedang berbagi canda dan tawa, Nastar memejamkan mata dengan senyum bahagianya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro