AOL | 22
"Astaghfirullah, Erzaaa! Kamu abis dari mana, hah? Badan kotor gini kena lumpur!"
Dengan kekuatan khas emak-emaknya, Nurand menjewer telinga putranya itu. Erza langsung berteriak kesakitan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu pepatah yang pas untuk mewakili kesialan di harinya ini.
"Nganu Bu, nganu, Erza abis dari sawah, Erza abis mengadu nasib, Bu," rintih Erza sambil memegangi telinganya yang semakin merah di cepitan jari sang Ibunda.
"Halah! Ngadu nasib apa? Ngadu nasib tuh ke Allah, bukannya nyemplung ke sawah, Ya Allah anak siapa sih, kamu?" Bukannya kasihan melihat sang anak, Nurand justru semakin geram.
"Huaaa, ampun Ibunda yang cantik nan baik hati, nanti Erza yang cuci, Erza janji,"
"Heleh! Janjimu gak bisa dipegang, Er. PHP mulu kamu ke Ibu, dan satu lagi, Ibu dapet laporan dari bocah kampung, kamu abis nantang Haekal duel sarung cuma gegara Mifta, nakal banget, sih!" Saat itu juga Nurand menambah damage jewerannya.
"Le-lepasin dulu jewerannya, Erza bisa jelasin, nanti kuping Erza copot, Bu. Nanti anak Ibu makin jomlo, aku gamau jadi berondong tua," pinta Erza memelas, bila ini diteruskan, telinganya bisa copot sebelah!
Akhirnya Nurand melepas jeweran mautnya, Nurand menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan wajah meminta penjelasan dari putra pertamanya itu.
"Jadi gini ... ERZA MAU MANDI DULU." Dengan cepat Erza mengambil langkah seribu menuju kamar mandi, menyisakan cetakan jejak kaki penuh lumpur di lantai putih yang belum lama selesai di pel oleh Nurand.
"ERZAAA!"
🍪🍪🍪
Sidang hidup dan mati Erza akan segera dimulai, suasana ruang tamu berubah bak ruang sidang yang tak kenal ampun. Begitu tegang dan panas, membakar nyali pemuda itu. Nurand—sang hakim sekaligus algojo dalam persidangannya, tengah duduk dengan segala keagungan dengan api emosi di balik punggung tegapnya.
Erza menelan salivanya dengan susah payah, pandangannya ia tundukkan kebawah, ia tautkan telapak tangan yang sudah berkeringat dingin, belum lagi ditambah ancaman terburuk untuk para beban keluarga—selembar kartu keluarga dan pulpen di atasnya!
"Kenapa kamu duel sarung cuma demi Mifta?" tanya Nurand memulai persidangannya, matanya menyorot tajam, menjatuhkan mental sang putra sebelum mulut pemuda itu menjawab pertanyaannya.
"E-erza cuma merjuangin cinta Erza, Bu. Erza mau bawa calon mantu buat Ibu," jawab Erza.
Ctasss!
Sebuah pukulan sapu lidi melayang mulus di lengan telanjang Erza, entah dari mana sapu lidi itu datang, apakah ibunya tiba-tiba menjadi Pak Tarno yang bisa memunculkan barang dari mana saja, apakah ini saatnya menyanyikan tepukan khas Pak Tarno?
"Kamu tuh udah gede, ngapain gegara cewek doang pake berantem, cewek masih banyak, setelah ngeliat kamu begini, pantes aja Mifta lebih pilih sama Haekal daripada kamu."
Erza sontak berdiri. "Kok, Ibu jadi belain Haekal sama Mifta, sih? Aku kan anak Ibu, a-apakah selama ini Erza adalah anak pungut? Anak yang tertukar sama Haekal? Tolong jangan nyesel nuker Erza cuma karena Erza ganteng pas bayi, ini gak adil! Kenapa seisi dunia memihak pada Haekal?"
Nurand menatap tingkah anaknya dengan wajah datar, tanpa menjawab ia mengambil pulpen memberikan ancang-ancang akan mencoret nama Erza di sana.
"Duduk!"
Dengan secepat kilat, Erza kembali duduk. Erza tak ingin nasibnya sebagai beban keluarga akan berubah menjadi beban hidup sendiri. Ia belum siap menanggung status baru!
Di seberangnya, Nurand menghela napas, mencoba menarik kembali kesabaran yang hampir lenyap. "Er, mending kamu minta maaf sama Haekal dan Mifta, udah mau lebaran, jangan suka cari masalah sama orang lain."
Erza kembali berdiri. "Minta maaf? Dih, Erza gamau, ah! Erza masih mau mem ...."
Tekad Erza berhenti ketika Nurand kembali meraih pulpennya sambil melayangkan ancaman lewat tatapan sadis. Erza perlahan kembali duduk.
"I-iya Ibundaku yang cantik, nanti Erza minta maaf ke mereka, Erza janji."
Nurand tersenyum, ia lalu menarik kembali pulpennya dan melemparkan sapu lidi ke arah Erza.
"Tolong bersihin halaman ya, Nak. Biar akhlak kamu bersih juga."
🍪🍪🍪
Saat ini keadaan di rumah sedang sepi. Sebab Erza yang ditemani Ayu sedang berkunjung ke rumah Mifta dan Haekal untuk meminta maaf. Sementara yang lainnya, sedang ke rumah tetangga yang akan mengadakan buka puasa bersama. Di kesempatan inilah Tim Revolusi menjalankan rencana yang telah mereka susun sangat rapi.
"Kalian sudah siap?" tanya Buaya dengan nada teriakan bak pemimpin.
"Siap!" Seluruh rakyat Amer menjawab dengan serentak dan tegas.
"Baiklah, mari kita berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan peperangan ini. Semoga kita semua bisa selamat dan tentunya memenangkan peperangan ini agar si kaum nastar tidak lagi menjadi kue yang sangat arogan. Doa dimulai!" Seluruh Tim Revolusi menundukkan kepala seraya memejamkan mata.
Setelah selesai, Buaya yang sebagai pemimpin perang keluar lebih dulu dari dalam toples yang kemudian diikuti oleh seluruh rakyat AMER. Saat tiba di tengah-tengah medan perang, ternyata kaum Nastar sudah lebih dulu ada di lokasi. Namun, Buaya dapat melihat keterkejutan dari wajah pemimpin Nastar.
"Me--mengapa mereka bisa sebanyak ini? Bukankah Kastangel mengatakan jika hanya sedikit dari mereka yang akan mengikuti peperangan ini? Dan ...." Mata Nastar membulat sempurna saat melihat keberadaan Semprit di tengah-tengah kue lainnya.
"Bukannya Kastangel juga mengatakan jika Semprit tidak akan ikut dalam peperangan ini? Apa-apaan ini? Apa Kastangel sudah membohongiku?" Nastar benar-benar dibuat syok dengan informasi yang Kastangel berikan. Nyatanya kue jelata itu membohonginya.
"Bagaimana ini, Yang Mulia? Jumlah pasukan kita kalah telak dengan jumlah mereka. Jika kita tetap memaksa ikut peperangan ini, maka bisa saja pasukan kita habis, Yang Mulia ...."
"Diam! Kita akan tetap berperang melawan mereka. Aku tidak mau bangsaku dianggap pengecut karena lari dari medan perang!" sergah Nastar dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Tapi, Raja ...."
"Diam!" potong Nastar, lalu menatap tajam ke arah penasihatnya.
Lalu, Nastar beralih menatap seluruh bangsanya. " Wahai saudara-saudaraku sekalian, yakinlah jika kita pasti akan menang melawan para kue jelata itu. Semangat!" Nastar berusaha membuat bangsanya percaya diri.
"SEEERAAANG!" Teriakan dari Tim Revolusi membuat Bangsa Nastar terkejut, tetapi detik berikutnya mereka maju dan mulai berperang dengan kaum AMER.
Dalam kurun waktu tiga menit sudah banyak bangsa Nastar yang jatuh dan tergeletak mengenaskan di lantai, begitupun juga dengan Tim Revolusi.
Namun, peperangan tetap berlanjut. Nastar belum juga ingin menyerah padahal bangsanya hampir habis terpukul dan jatuh mengenaskan di lantai.
"Berhenti! Stooop!" Akhirnya Nastar berteriak saat melihat bangsanya sudah tumbang. Hanya dia dan si panesihatlah yang masih bertahan.
Nastar mendudukkan tubuhnya, sebab ia tidak kuat lagi untuk menopang tubuhnya. Ia benar-benar merasa lemas saat melihat saudara-saudaranya mati mengenaskan di lantai. Seketika rasa penyesalan muncul di dalam benaknya dan berbagai macam andai-andai terpikirkan di otaknya.
"Bagaimana, Nastar? Masih ingin berperang dengan kami?" tanya Buaya menghampiri Nastar.
Sontak Nastar mendongak. Kedua matanya memerah dan berkaca-kaca. Pancaran kesedihan begitu kentara dari raut wajahnya. "Tidak, aku sudah menyerah," ucapnya dengan lirih.
"Aku tidak ingin lagi kehilangan sudaraku satu-satunya," lanjutnya seraya menoleh ke arah penasihat yang sedang terduduk lemah menahan kesakitan.
"Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak boleh menjadi kue yang arogan seperti ini. Karena ambisiku ini, semua saudara-saudaraku mati sia-sia ... Ini semua salahku," lirih Nastar seraya menunduk dalam.
Nastar bisa merasakan jika dirinya tengah dikerumuni oleh kaum AMER. Ia tidak lagi punya muka untuk menunjukkannya ke semua kue yang pernah dia hina habis-habisan. "Ak--aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal. Aku pasrah jika kalian ingin menghukumku. Bahkan membuangku sekalipun aku rela. Karena memang sudah sepantasnya aku mendapatkan ganjaran itu." Nastar mengucapkan kalimat itu dengan berurai air mata juga nada yang benar-benar merasa bersalah.
Semprit maju mendekati Nastar. Ia merangkul Nastar sembari memberi usapan lembut di bahu Nastar. "Tidak, kami tidak akan menghukum ataupun membuangmu. Kesadaranmu saja sudah sangat cukup buat kami, dan kami semua sudah memaafkanmu, Nastar," ucap Semprit dengan lembut. Sungguh, kebaik hatian Semprit membuat Nastar semakin terisak dan merasa sangat berdosa telah menjahati kue sebaik Semprit ini.
"Ya, kami juga sudah memafkanmu," seru semua rakyat AMER.
"Ta--tapi kenapa kalian segampang itu memaafkan aku?" tanya Nastar tidak percaya seraya memandang seluruh rakyat AMER dengan mata yang sembab.
"Karena kita memang sudah seharusnya saling memafkan," jawab Semprit dengan senyum bak malaikatnya. "Jadi, kamu mau berdamai dengan kita semua?" tanya lagi pada Nastar.
Pertanyaan itu langsung saja diangguki semangat oleh Nastar. Mulai detik ini dia sudah membuat janji pada dirinya sendiri, untuk tidak menjadi kue yang jahat dan arogan.
"Kan Ayu juga bilang apa. Minta maaf itu gampang kalau gengsinya diilangin." Suara Ayu yang terdengar menasihati Erza terdengar sampai dalam rumah. Hal itu sontak membuat semua bangsa kue bergerak cepat masuk ke dalam toples.
"Iya, iya. Perasaan dari tadi di jalan pulang kamu bilang itu itu mulu. Nggak bosen apa? Aku aja yang denger bosen," ucap Erza sembari memilutar bola matanya malas.
"Biarin, mulut aku ini. Terus nih, ya, Bang ... AAAAA, NASTARKUUU!" Ucapan Ayu seketika tergantikan dengan pekikan yang sangat melengking saat netranya mendapati hampir sebagian nastarnya tergelatak hancur di lantai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro