AOL | 21
"Gak mau tahu, ini pasti ulah Bang Erza! Mama jangan merusak TKP! Nanti kita interogasi Bang Erza sama-sama!" Ribut sekali, Ayu mendorong-dorong punggung Nurand yang sudah bersiap menggenggam sapu sebagai akomodasi tambahan untuk menggebuk siapa pun yang divonis sebagai pelaku. "Aaaaa, nastarku!"
Pada akhirnya, Nurand membanting sapu ke sudut ruangan. Apa boleh buat. Ayu terlanjur nangis meraung-raung. Bisa repot kalau Ayu sampai harus dirukiah Ustadz Saepudin di gang sebelah yang dzikirnya muncrat-muncrat itu.
Sementara itu, di penjuru kampung, Erza masih membatin dengan hati remuk seperti nastar yang diinjaknya di depan bingkai pintu. Apa jangan-jangan, ini azab dari Ayu? Dengan tatapan kosong, Erza mulai melangkah keluar dari masjid yang sempat beralihfungsi sebagai ring pertempuran untuk saling sabet sarung. Inderanya seolah mati rasa. Sorakan penuh penistaan dari penonton pun tak dapat dideteksi telinganya sama sekali.
Mifta yang kucinta, kenapa kau hancurkan apa yang kupinta? Cinta ... perlukah kau kudoakan 'tuk segera bertemu dengan Pencipta?
Sempoyongan, Erza menyusuri pematang sawah. Tangannya direntangkan begitu angin sore terasa menampar-nampar wajah. Tampaklah seorang petani yang sedang menunggui kerbaunya di sana. Matanya mengerjap berulang kali, bingung atas kehadiran makhluk mengenaskan ini. "Mau ke mana, Jang?"
"Ke pangkuan Ilahi," sahut Erza, lirih. Tangan kirinya mengepal di atas dada, seakan tengah meremas hatinya yang transparan. "Ambil aku, Tuhan."
Mendapati kalimat anu dan air muka Erza yang sudah tak punya harapan, Ubed—nama petani berumur itu—sontak saja menghambur ke arah Erza. "Astagfirullah, Jang! Sing éling atuh Ujang téh! Hirup di dunya mah ngan sakali, moal aya deui-deui, ahérat nu abadi, matak tong gagabah kiwari. Énggal, ikutin kata-kata Abah. Laa ilaaha illallaah." (Harus sadar atuh, Ujang! Hidup di dunia hanya sekali, enggak akan ada lagi-lagi, akhirat yang abadi, makanya jangan gegabah sekarang)
"Ujang udah nggak kuat, Bah! Hirup téh kieu-kieu waé, can pernah mihak ka Ujang!" (Hidup gini-gini mulu, belum pernah memihak Ujang!) Erza memberontak. Ditatapnya bentangan sawah yang sedang dibajak agar tanahnya kembali gembur. "Kerbau, I'm coming!"
Masih dengan Sarung Cap Aligator yang melingkar di badannya, Erza melompat terjun ke kubangan lumpur. Kerbau sampai menghentikan kegiatannya untuk sesaat. Untunglah tidak jantungan.
"Kerbau, nikmat sekali hidupmu! Ah, biar kukenalkan kau pada seseorang yang sangat membagongkan."
Hewan itu membelasut sembari menggeliat malas. Bagong? Tapi aku kerbau, Kakak. Rasanya, kerbau sekalipun bisa memastikan bahwa kemiringan otak manusia di sebelahnya ini sangatlah curam. Sudah buta, tidak waras pula!
Tak peduli dengan teriakan Ubed, Erza malah seenaknya menyeret kerbau ke tengah sawah. Kepala kerbau didekapnya erat-erat, sambil tangan lainnya menunjuk orang-orangan sawah yang terdiam membisu. "Lihat! Dia Mifta, yang sudah menolak cinta suciku. Bukankah itu sangat disayangkan, Boo?"
Korban kengenesan Erza kembali membelasut, kini lebih kencang. Tampaknya kerbau sudah tertekan. Mulai terpancing, akhirnya Ubed terjun dan menerjang Erza. "Mantog, manéh! Berik ku aing, siah!" (Balik, lo! Gue buron, nih! — secara kasar, monmaap atas ke-sompral-an ini)
"Awas, ada orang gila!" Sebelum sempat mengajak kerbau kabur, akhirnya Erza lari terbirit-birit macam terkena cepirit. Jangan lupakan lumpur yang sudah menghiasi lebih dari tiga perempat tubuhnya. Makin glowing saja, Erza. Tampaknya, lumpur sawah memang habitat terbaik untuk Erza.
Tanpa tujuan, Erza memacu langkah ke arah kerumunan di pinggir sungai.
"Minggir, minggir! Suami sah Mifta mau lewat!"
Sekawanan bocah menjerit. Lupa bahwa beberapa detik lalu, mereka sudah berniat untuk berenang di sungai sambil telanjang—sengaja menggoda anak cewek yang heboh memekik 'ih jijik, ih jijik!' tapi diam-diam mengintip, penasaran.
Pada akhirnya, Erza yang terjun ke sungai lebih dulu, melompat dengan dramatis. "Selamat tinggal, Cinta."
Hari itu, seisi Kampung Cibangun dihebohkan oleh penampakan orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa nan meresahkan umat.
🍪🍪🍪
"Selanjutnya laporan, Rengginang."
Rengginang maju ke depan, lalu berdeham singkat. "Lapor. Strategi kita sebelumnya sudah cukup efektif. Mereka kekurangan persiapan. Bahkan Pemimpin Nastar bertindak impulsif, bergerak maju untuk menyerang begitu saja. Seharusnya, Pemimpin Nastar sudah dihancurkan oleh kaki-kaki bau terasi itu."
"Hm, informasi yang cukup melegakan." Roti Buaya mengusap permukaan moncongnya. "Bagaimana dengan kemungkinan terburuk mengenai pergerakan Kekaisaran Nastar berikutnya?"
"Belum terdeteksi bahaya. Jika memperhitungkan kekacauan yang terjadi, Nastar tidak akan sempat menganalisis taktik terbaik untuk menyerang balik. Dalam momentum sempurna inilah, kita perlu bergegas menumpas tuntas Kekaisaran Nastar! Tidak ada penundaan. Jangan beri waktu bagi mereka memulihkan situasi!"
Suasana di stoples Semprit yang jadi markas besar aliansi revolusi itu, kini berubah ricuh. Gumaman setuju terdengar di sana-sini, belum lagi yang berseru antusias sambil mengacungkan tangan terkepal ke udara. Roti Buaya mendesis keras, mengambil alih atensi dan kebisingan yang ada. "Harap tenang, Wahai Penduduk AMER. Kita lanjutkan perbincangan. Rengginang, bagaimana dengan tingkat persentase dari kerusakan yang diterima kedua belah pihak?"
"Aman, Bung. Kita tak memiliki korban jiwa di strategi cerdas tadi. Sementara di kubu Nastar, hampir kisaran 40% dari total pasukannya sudah berakhir remuk. Dan hal fantastisnya adalah—tadi—adanya 72% kemungkinan bahwa Pemimpin Nastar sungguhan ikut gugur di sana."
Para rakyat AMER saling bertatapan dengan mengangguk-anggukan kepala. Aura optimisme terasa memancar di setiap penjuru basecamp mereka. Sorak sorai penuh semangat mulai bermunculan.
Di pojokan, Semprit menghela napas panjang. "Kawan, sesungguhnya ... bukan ini ending yang kuinginkan. Tak bisakah kita hidup berdampingan dengan rukun, sambil menikmati hari-hari sebelum menjelajahi lambung dan labirin usus manusia?"
"Sayangnya, ambisi dan keangkuhan Nastar tak memberikan opsi itu, Semprit." Roti Buaya mengulas senyuman tulus. "Kau sangat baik hati. Namun, ini kenyataannya."
Semprit menunduk dalam, ikut menarik kedua sudut bibir. "Benar. Maaf. Kita perlu menjalankan misi penyerangan ini jika tak mau bangsa AMER dihabisi. Jangan ada lagi penganiayaan di antara kita. Tak ada pilihan lain. Ini satu-satunya cara, ya ...."
Roti Buaya mengangguk takzim. Tatapannya kembali beralih pada massa yang menunggu kesimpulan dari perbincangan kali ini.
"Yosh, kita akan menyerang Kekaisaran Nastar, tengah malam ini! Rengginang dan Kacang Disko akan memimpin garda terdepan. Seluruh Pasukan! Jangan lupa siapkan persenjataan. Kemungkinan, kawanan semut akan bermunculan di sekeliling Istana Nastar. Lawan dengan hantaman sekuat tenaga, sebelum kalian dimakan lebih dahulu. Kita tidak akan mengerahkan seluruh pasukan dalam waktu yang sama. Bersiaplah!"
Tim Revolusi berseru-seru menggebu. Ramai sekali. Akan tetapi, sebiji kastangel di sudut paling belakang stoples hanya mendengkus singkat, berusaha menghilangkan keraguan dalam hati. Perlahan, Kastangel keluar stoples tanpa sepengetahuan siapa pun. Tujuannya hanya satu: menemui Nastar di istana.
Demi mendengar kabar yang disampaikan Kastangel Sang Double Agent, Nastar mengangguk puas. Sebenarnya, Nastar berlindung di balik punggung salah satu pasukannya ketika Erza meluluhlantakkan para nastar, termakan taktik licik Tim Revolusi. Bodoh sekali. Mereka mengira Nastar tiada dan keamanan istana sedang mengendur. Omong kosong.
"Kerja bagus, Kastangel. Begitu aku berhasil menggenggam kasta tertinggi dan menghabisi mereka, kau akan memiliki kursi terhormat di sampingku." Seisi istana dipenuhi gelak Nastar. "Bagaimana, Penasihat? Sekawanan Makanan Rongsok itu percaya diri sekali. Mereka merasa sudah berada di atas angin. Bukankah dengan begitu, mereka akan jauh lebih lengah, penasihatku?"
Anggukan Penasihat membuat tawa Nastar semakin keras, puas.
"Benar. Saatnya menyerang balik. Kita akan bertingkah layaknya serangga tak berdaya yang terperangkap di jaring laba-laba. Komandan, siapkan pasukan. Kita berpesta tengah malam ini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro