AOL | 19
Malam ini begitu sunyi, ditemani semilir angin yang membuat badan pemuda itu kedinginan.
"Argh, kenapa, sih, pake dingin segala. Beda banget kaya di novel-novel yang diem di balkon kamar itu enak, bikin pikiran tentram," gerutu Erza sambil menggosok-gosok lengannya.
"Kasian banget yang jadi tokohnya harus ngerasain dingin. Tega banget author bikin dia sengsara." Belum cukup sampai di sana, Erza kembali melantur semakin liar, ia bahkan berdo'a agar dirinya tidak dijadikan tokoh seperti itu.
Setelah dimarahi habis-habisan oleh ibunya tadi pagi, Erza dan Ayu dihukum. Ayu di perintah untuk membeli bahan-bahan kue ke pasar, sedangkan dirinya membersihkan segala kekacauan.
Membereskan rumah memang tidak membutuhkan waktu lama, hanya saja kejadian naas kembali menimpanya beberapa jam tempat ini bersih. Yaitu kedatangan Haekal dan juga pacar barunya, Mifta.
Siapa yang tidak sakit melihat orang yang disayang bersama orang lain, pergi ke rumah keluarga besarnya sendiri?
Sejak itu Erza pergi ke dalam kamar dengan perasaan sedih. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil melihat langit-langit kamarnya.
Memori tentang dirinya dan Mifta dulu tiba-tiba tergambar begitu jelas di sana—langit-langit kamar.
Dua insan yang sedang dimabuk cinta ini tengah berlarian ke sana ke mari. Erza yang saat itu sedang menghindar dari kejaran Mifta tertawa sangat bahagia.
"Ayo kejar lagi, masa segitu aja lemah!" teriak Erza sambil terus berlari.
Dengan napas yang ngos-ngosan Mifta menjawab, "Kamu ... berhenti! Larinya kekencengan, ih!"
"Segini lambat tau, ayo cepet kejar, kejar, kejar!"
Mifta dengan sisa tenagannya berlari. Kini jarak mereka sudah dekat, hanya terhalang oleh sebuah pohon besar yang menyebabkan gadis itu berhenti.
Tidak mengenal lelah, Erza berlari mengelilingi pohon tersebut guna menghindari kejaran gadisnya. Namun, tanpa di sadari Mifta sudah terdiam dari tadi. Menyisakan dirinya seorang yang berlari.
"Kamu ngapain lari keliling pohon gitu, Za! Berhenti, aku cape liatnya! " teriak Mifta kesal saat Erza dengan bodohnya terus berlari tanpa memerdulikan sekitar.
"Biarin, Yang. Ini latihan buat nanti kalo kita umroh bareng sama anak-anak kita!" jawab Erza semangat. Tak lama kemudian ia memelankan lajunya, kepalanya terasa pening. Setelah itu ia terhuyung sampai terjatuh tidak elegan.
Badannya masih berputar ke depan belakang. Kepalannya masih pusing, tetapi matanya menangkap Mifta yang berdiri di depannya sembari bersedekap dada.
Dalam pikirannya gadis itu akan menolong dan menanyakan keadaannya jika ia berpura-pura pingsan. Ide bagus, mari kita lakukan, batin Erza.
Belum sempat memulainya, Badan Erza sudah terdiam kaku saat perkataan gadis itu menghentikan paksa pergerakannya.
"Aku mau kita putus ajalah!"
Bagai disambar petir di siang hari yang tidak pernah ia rasakan. Erza merasakan patahan dalam dirinya. Ia mendongak dan menatap Mifta yang sedang menatapnya tak terdefinisikan.
"Tapi kenapa?" lirih Erza. Ia masih tak percaya dengan yang di dengarnya.
"Kamu kayanya cacingan, deh. Aku nggak mau sama yang cacingan."
"Tapi aku udah minum obatnya, kok, bulan lalu, Yang ... kalo nggak salah. "
"Berarti kamu lebih dari cacingan, Za. Udah, ah aku mau putus aja." Setelah itu Mifta pergi meninggalkan Erza yang tercengang tak berdaya.
Putus untuk kedua kalinya dengan alasan tak masuk akal. Sangat epic, apa ini karma untuknya karena dulu sempat berselingkuh dengan Dhea?
Hari itu baru saja Erza berkhayal untuk umroh bersama. Tapi hari itu juga hubungan mereka kandas. Hanya gara-gara ia terlihat cacingan. Karena lelah memikirkan yang tidak pasti, ia pun tertidur.
🍪🍪🍪
"Strategi apa yang kini kita akan gunakan, Raja?" tanya salah satu prajurit Nastar.
Nastar menatap menyalang pada prajurit itu. "Kau belum merencanakannya? Prajurit Bodoh!"
Para prajurit saling melirik satu sama lain. Mulutnya berkomat-kamit entah mengatakan apa.
"Bagaimana bisa kalian terdiam saja! Tidak berguna!" Nastar Murka. Hari sudah menunjukan pukul sembilan malam, tetapi strategi belum ditemukan. Siapa yang tidak marah?
"Tenanglah wahai Raja. Mereka mungkin kelelahan karena peperangan tadi pagi." Penasihat berujar dengan pelan, karena ia tidak ingin dibentak dan dipermalukan di depan para Nastar lain.
"Apa katamu! Tenang? Bagaimana aku bisa tenang jika tidak ada strategi matang? Kau bisa bayangkan bagaimana kue rongsok itu datang tiba-tiba lal...."
Ya, ucapannya terkabul. Para kue yang dipanggilnya rongsok itu kini datang dengan gagah berani ke kandang lawan, walau hanya tersisa segelintir kue yang ikut.
Dengan pelan Nastar menoleh ke arah mereka berada. Jantung nanasnya berdetak begitu cepat, ia panik.
Ia terus menyemangati dirinya untuk memenangkan pertempuran ini bagaimana pun caranya. Pasukan Semprit kalah jumlah. Nastar tersenyum kemenangan, dirinya yakin ia bisa.
Nastar tetap berusaha mengangkat dagunya angkuh. Ia tersenyum miring. Walaupun air wajahnya kentara sekali terlihat ketakutan.
Tanpa persiapan, Nastar berteriak untuk memulai peperangan kedua.
"Seraaaang!"
Nastar terdiam kemudian. Ia melirik ke kanan, ke kiri, dan kebelakang tempat para pasukannya terdiam.
"Mengapa kalian semua diam saja!" desis Nastar geram membuat para pasukan Nastar saling pandang.
"SERAAAANG!" teriak Nastar, tetapi lagi-lagi tidak ditanggapi.
Ia berdecih, kemudian bergerak terlebih dahulu sambil menenteng tongkat baru kebanggaannya. Sekarang para pasukan pun mengikutinya dengan seksama.
Para pasukan Semprit tidak maju. Mereka malah mundur perlahan lalu membalikan badan sebelum bergerak secepat mungkin.
Astor yang menggelinding bersama Kacang Bandung dan Kacang Disco, Roti Buaya yang merangkak bersama Semprit di atas tubuhnya.
Dengan geram pasukan Nastar mengejar mereka tak kalah cepat.
Tanpa pasukan Nastar sadari, bahaya sudah di depan mata saat mereka melewati pintu seorang pemuda bernama Erza.
Tidak dapat dihindari, kekacauan kedua pun terjadi. Bahkan sebelum peperangan terjadi dan sebelum kulit para kue bersentuhan.
🍪🍪🍪
Notifikasi ponselnya berirama begitu kencang. Nasib jomblo, agar dikira tidak kesepian, Erza sengaja memperbesar volume notif-nya agar terdengar oleh semua orang. Tetapi ternyata cukup mengganggu di saat-saat enak terlelap seperti ini.
Dengan malas Erza mengambil ponsel di atas nakas. Kemudian membukanya.
Dapat dilihat banyak sekali notif yang megirimnya pesan berupa permintaan maaf menuju lebaran. Notif yang dimaksud adalah notif dari grup. Tidak ada yang menghubunginya selain Ayu.
Ya, Ayu adiknya. Tumben sekali, pikirnya. Lalu Erza membuka pesan tersebut. Terdapat sepuluh chat yang belum terbaca berisi permintaan maaf satu, dan list hadiah THR untuk hari raya. Kurang ajar!
Erza berniat membuat status untuk kekesalannya. Namun, hal lain terjadi, ia melihat postingan Mifta bersama Haekal disampingnya, dengan caption "Mohon maaf lahir batin ya, Honey." di akun pribadi milik Haekal.
Sialan! Hari ini benar-benar membuatnya jengkel!
Jari-jemari Erza bergerak mengetik sesuatu. Mencari nama seorang gadis pujaan hati yang kini menjadi milik sahabatnya.
Mifta. Nama itu terpampang jelas, dengan status online.
Dengan cepat ia mengetikan sesuatu berupa hal yang sama, "Minal aidzin walfaizdin, Cantik."
Baru saja ia mengetik dua kata, hapus.
"Jangan cantik ah panggilnya, nanti ilfeel lagi."
"Minal aidzin walfaidzin, Sayang."
Hapus.
Hapus.
Hapus.
Hingga akhirnya status online itu berubah menjadi last seen 21.00.
Erza menghela napas panjang. Mengapa sulit sekali pikirnya, tidak seperti dulu, saat mereka berdekatan. Melakukan hal apa pun begitu menyenangkan dan mudah.
"Hai, Za!" sapa Mifta. Ia terlihat sangat cantik dengan balutan dress berwarna kuning mencolok. Walau sedikit aneh, pikirnya.
"Hai, Cantik ... eh? Maksudnya, Hai, Mifta."
Rona merah di wajah gadis itu sangat terlihat. Mifta menundukan kepalannya malu, lalu memukul lengan Erza.
"Apaan, sih, Za. Malu tau." Mifta menutup kedua wajahnya yang memerah, tanpa tau Erza meringgis kesakitan akibat pukulan itu.
"Mau apa, Mif?" Sejujurnya ia pun bingung harus apa, berhadapan dengan gebetannya selama tiga tahun bukan hal yang mudah untuk di-notice.
"Ma-mau ...."
"Minal aidzin walfaidzin, ya, Cantik." Erza memberanikan diri memotong perkataan Mifta. Dan dari sanalah kisah mereka dimulai.
"Begitu mudah dulu untuk mengatakan hal itu, Mif." Erza membuang nafas kasar. Dengan kesal ia melempar asal ponselnya.
Dipikirannya hanya ada satu, minum.
Ya, sepertinya ia butuh itu sebelum mengatakan sesuatu pada Mifta.
Ketika hendak beranjak, atensinya beralih pada depan pintu yang terdengar suara aneh. Suara decitan.
Hari sudah menunjukan pukul sembilan, di sini orang-orang terbiasa tidur lebih awal. Itu artinya tidak ada yang masih terbangun kecuali dirinya.
Yang awalnya merasa galau dan sedih. Sekarang perasaannya berganti menjadi sedikit takut, ya sedikit. Karena baginya ketakutan terbesar itu mendengar Mifta berhasil dinikahi Haekal seperti yang mereka katakan saat bersilaturahmi kemari tadi siang.
Dengan sisa keberanian, Erza membuka pintu itu dengan menutup mata lalu melangkah.
Suara kehancuran terdengar.
Kakinya merasa menginjak sesuatu.
Perlahan Erza membuka mata dan menengok ke bawah.
Matanya melotot. Tidak percaya dengan apa yang sudah ia lakukan.
Seluruh nastar hancur karenanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro