Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Bubar Lagi

***

Tany memperhatikan Banyu yang belum mengatakan sepatah kata lagi sejak dirinya berkata dingin dan ketus terhadap lelaki itu tepat di depan gedung kantor polisi. Kini hanya tinggal mereka berdua karena Tany memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya sendiri ke Baluran tanpa Naya.

Setelah insiden yang dialaminya selama hampir empat puluh delapan jam terakhir, Tany menyadari bahwa tidak ada yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri. Jika Tany tetap memaksa Naya untuk mengantarnya ke Baluran maka sudah jelas ia adalah sahabat yang egois. Lagipula, bagaimana Tany tega membuat Naya memilih antara kekasih dan sahabat apalagi saat Obie sudah menyatakan keseriusannya.

Tany menghabiskan sisa susu coklat hangat lalu membayar pesanannya. Ia mencuri pandang pada Banyu yang memberanikan diri untuk mendekati tempatnya duduk.

"Tany, kita perlu bicara." Banyu berkata pelan.

"Mau kamu apa sih sebetulnya? Balikan sama aku?" Tany menembak tanpa basa-basi.

Banyu terdiam. Peluru dari mulut Tany lebih mematikan dari tembakan yang diletuskan senjata Rengga semalam.

"Aku mau kesempatan kedua, Tany."

"Untuk apa, Banyu?" Tany menantang manik mantan kekasihnya, "Untuk mengulang enam tahun yang pernah kita lalui bersama? Lalu apa?"

Pertanyaan Tany benar-benar membuat Banyu mati kutu. Tany tahu mantan kekasihnya juga belum berpikir sejauh itu.

"Mungkin kita masih bisa menuju kesana, Tany." Banyu berkata setelah keduanya terdiam beberapa saat. Kondisi warung kopi kini hanya menyisakan mereka. Penjaga warung sudah menghilang entah kemana. Langit masih gelap dan cuaca subuh yang menusuk tulang jika tidak mengenakan jaket yang agak tebal.

Tany berdecak kagum, "Masih mungkin? Kamu jauh-jauh mengikuti aku, sampai harus mengelabui sahabat aku untuk menyelundupkan kamu dalam liburan ini. Belum lagi kamu harus mempertaruhkan nyawa dan berduel dengan pria norak macam Rengga, hanya untuk kata mungkin? Sini aku kasih tepuk tangan dan standing ovation dulu."

Banyu menggeleng jengkel setelah memandang Tany yang mendadak berdiri di hadapannya dan menghadiahi Banyu lima detik tepuk tangan yang meriah. Tany masih menantang wajah mantan kekasihnya untuk membalas setiap perkataan yang disampaikan olehnya tadi.

"Kamu nggak perlu repot kasih aku tepuk tangan, Tany. Bohong kalau kamu nggak mengharapkan sebuah kesempatan untuk kita? Buat apa kamu rajin stalking media sosial aku? Buat apa juga kamu nggak pernah absen menyetor pulsa pada salah satu adik kembar aku kalau bukan untuk bertanya kegiatan aku terakhir. Kamu masih mau bilang kamu udah lupa sama kita?"

Sederet meriam yang dilempar Banyu pada Tany kini berbalik menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Tany mengakui semua yang dikatakan Banyu, rajin stalking media sosial milik lelaki itu, rajin pula memberi pulsa hanya untuk bertanya bagaimana kondisi kesehatan Mama Banyu, situasi di sekolah adik kembar Banyu dan kegiatan Banyu terakhir.

Tany harusnya tahu pulsa tidak serta merta membuat salah satu adik kembar Banyu menjadi loyal terhadapnya. Si Kembar tentu saja akan mengadukan tindakan Tany yang ingin tahu kondisi Banyu pada kakaknya sendiri.

"Kalau aku rajin bertanya pada si kembar tentang kabar terakhir kamu dan keluarga kamu, bukan berarti aku mau ngajak balikan juga 'kan?" Tany membela dirinya sendiri.

Banyu merasa menang satu poin dibanding Tany, "Kalau begitu penasaran dengan kondisi aku, kenapa kamu tutup semua saluran komunikasi kita, Tany. Kenapa kamu nggak pernah angkat telepon aku? Mengapa seluruh anggota keluarga dan sahabat kamu sendiri kompak menutup mulut tentang kondisi kamu? Kemana kamu selama ini, Tany Kemala?"

"Sekarang kamu mau main playing victims sama aku, Banyu? Mau bilang kalau aku yang buat hubungan ini kacau? Mau nyalahin aku yang masih kurang berusaha untuk mempertahankan masa depan kita?" Tany menyembur Banyu dengan kesal. "Gilak ya kamu, Banyu."

"Apa susahnya sih membuka diri dan memberi kita kesempatan kedua, Tany?" Banyu merespon kekesalan Tany dengan tetap menuntut sebuah lembaran baru untuk mereka.

Tany mendecih, "Kamu? Minta kesempatan lagi sama aku? Masa depan untuk kita sudah buyar, Bregas Banyu."

Banyu melotot. Saking jengkelnya ia menarik tangan Tany, "Kamu kok gitu sih? Kamu nggak kasih aku kesempatan untuk menjelaskan malam setelah kita putus. Terus bisa-bisanya kamu bilang, kita nggak punya kesempatan?"

Tany berusaha melepas cengkraman tangan Banyu. "Sakit, Banyu. Lepas nggak?"

"Nggak, kehebatan kamu itu kabur. Aku nggak mau ngelepasin kamu sebelum hubungan kita jelas," geram Banyu yang menyiratkan kekhawatiran bahwa Tany bisa lari lagi darinya dan menutup kesempatan untuk mereka berdua.

"Lepasin aku, Banyu." Tany menarik tangan Banyu yang masih mencengkram lengannya, "Aku mau kabur saja dari kamu. Buat apa ada masa depan kalau kamu masih belum bisa bersikap terbuka sama aku, heh?"

Banyu tersentil dengan pernyataan Tany yang terakhir.

"Apa maksud kamu dengan sikap terbuka? Aku nggak pernah bohong sama kamu, Tany? Aku nggak pernah selingkuh atau melakukan tindakan kejahatan lain yang membahayakan hubungan kita selama ini?"

Tany mengulas senyum lemah, "Kamu nggak pernah bilang kalau kamu sakit selama ini. Kamu menahan perasaan kamu sendiri padahal aku ada tepat di sebelah kamu. Tiap aku tanya keseriusan hubungan ini, kamu selalu berkelit. Terus mau kamu apa? Kalau kamu cuma butuh teman tidur siang atau perempuan yang sigap mengantar ibu kamu berobat dan mengurus tetek bengek urusan sekolah adik-adik kamu, sebaiknya kamu sewa robot saja."

Banyu makin tertampar dengan isi curahan hati Tany.

"Selama ini kamu pikir hubungan kita baik-baik saja? Kamu salah besar, Banyu. Sejak ayah kamu meninggal, kamu berubah. Semakin tertutup dan menghindar dari pembahasan tentang isu pernikahan. Tapi kamu selalu bisa membuat aku kembali pada kamu dan percaya ada secuil masa depan untuk kita."

Banyu mematung dan mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Mengapa sekarang diam, Banyu? Tidak bisa mengelak lagi karena semua yang aku katakan itu benar adanya? Kamu butuh aku tapi kamu sendiri yang kabur dari aku. Masih bilang kalau aku lebih jago kabur dari kamu? Gilak ya kamu, Bregas Banyu!" Tany menutup kekesalannya dengan sinis, kini skor bernilai dua nol untuk Tany.

Cengkeraman Banyu merenggang. Kini lengan Tany sudah terbebas dari belenggu tangan Banyu. Keduanya saling berpandang dengan sengit.

"Kamu nggak perlu sok-sokan manis dengan menemani aku lagi, Banyu. Kita selesai sampai disini aja. Lagipula aku yakin kamu akan mudah melupakan aku kok. Buktinya saja kamu harus segera berangkat ke pelabuhan 'kan?"

Sepasang manik Banyu tercengang. "Kamu tahu darimana aku harus ke pelabuhan, Tany?"

"Jangan sok polos ah, Banyu. Aku tidak sengaja mendengar percakapan kamu di telepon. Kamu membela hak diri sendiri saja masih mampet, sekarang bisa-bisanya menuntut hak sama aku?" Tany merespon pertanyaan Banyu dengan balik bertanya.

Banyu hanya memandang kekasihnya.

"Sekarang makin nggak bisa jawab 'kan? Kamu tuh gimana mau memperjuangkan hubungan kita kalau masih bingung memilih antara memperjuangkan hak kamu dan pekerjaan dadakan yang dilempar begitu saja. Kamu itu bisa-bisanya masih harus direpotkan di tengah cuti seperti ini?"

"Bukan begitu, Tany. Pekerjaan itu 'kan penting juga," bela Banyu terhadap keputusannya.

"Tapi masalahnya sumber segala depresi kamu itu adalah karena tekanan dan target dari kantor yang nggak ada putusnya," keluh Tany. "Nggak bisa tidur sepanjang malam tapi harus terjaga dan lanjut kerja keesokan hari. Kamu nggak perlu stay di belakang meja tapi justru itu, Banyu. Pernah kebayang nggak kalau kamu tumbang terus adik sama Mama kamu gimana nasibnya?"

Banyu mengerutkan kening, dirinya sedang tidak ingin membahas soal pekerjaan atau kesehatan fisiknya dengan Tany. "Aku bukan minta saran soal pekerjaan atau kesehatan aku sendiri, Tan. Aku hanya ingin kamu memberi aku kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan kita."

"Nah, dari sini saja kita sudah nggak bisa ketemu. Kamu pikir nggak ada hubungan antara kesehatan dan cara kamu bekerja dengan hubungan kita? Kalau kamu masih pikir nggak ada yang salah atau korelasi antara keduanya, kita memang nggak bisa kemana-mana lagi."

Banyu makin tidak paham dengan pertanyaan Tany. Keinginannya jelas, Tany mau menerimanya kembali atau tidak? Sesederhana itu.

"Dah lah, kamu berangkat saja ke pelabuhan. Aku harus mengejar kereta ke Sidoarjo. Aku akan lanjut ke Baluran. Sendirian." Tany berkata tegas pada Banyu. Ketegasan yang tidak pernah dimilikinya semasa mereka masih bersama.***

Add this book to your library! Love and Vote!

[Wah, ternyata Tany baru menyadari bahwa selama ini dirinya kurang tegas terhadap Banyu selama mereka bersama. Banyu juga nggak sadar kalau selama mereka berhubungan dirinya terlalu sibuk sama pekerjaan tapi juga tidak memberi kepastian tentang masa depan mereka. Ini beneran nih bakal tuntas saja di warung kopi? Penasaran? Semoga masih kuat sampai ke garis akhir ya, Lovely readers!]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro