23. Mencari Angin
***
'Oke, ini sudah nggak lucu lagi. Panggilan Papa Beruang atau Mama Beruang mungkin menarik bagi penonton drama gratisan untuk menyaksikan sikap norak keduanya di tengah restoran padang tapi sumpah ya ... Obie bisa-bisanya mau nyulik Naya dari tangannya!' Tany sibuk dengan isi percakapan di kepalanya sendiri.
Mencoba mengalihkan perhatian, Tany memandang ke arah lain dan mendapati Banyu juga sedang menjawab panggilan telepon di dekat bak cuci tangan dengan tampang serius. Tany hafal sikap serius itu. Sikap yang hampir selalu ada di tengah mereka bahkan saat menikmati libur akhir pekan.
Atasan Banyu belum membebaskan anak buahnya dari pekerjaan. Padahal, Banyu saat ini berada dalam cuti libur yang diajukan olehnya sendiri setelah nonstop bekerja dalam enam bulan terakhir.
Tany menghabiskan es teh manis pesanan. Memandang piring menu nasi rendang dobel porsi yang sudah tandas dengan selamat di ujung perutnya sendiri. Cara lain untuk mengalihkan rasa dongkol yang kembali tersemat adalah membuka media sosial dan memeriksa story milik Rengga, pria yang hampir berbuat asusila padanya kemarin subuh.
Manik Tany memperhatikan beberapa story Rengga yang kini menampilkan kota Surabaya. Rengga bahkan sudah bertemu dengan sepupunya Kyra dan mereka sudah membuat foto bersama. Tany merasakan dunianya tambah sesak selebar daun kelor.
Obie berdiri dan menuju kasir sembari membayar menu makan malam mereka.
"Ngapain tuh si Obie, Nay?"
Naya berdiri dari tempatnya duduk dan menarik kursi tepat di sisi Tany. "Makan malam dia yang bayarin katanya, Tan."
Tany menoleh memandang Naya, perempuan yang sudah menjadi sahabatnya selama tujuh tahun terakhir. Kedua bertatapan dengan singkat. Tany menahan diri agar Naya yang berkata lebih dulu soal rencana yang akan dilakukan sahabatnya.
"Lo denger kan rencana Obie, Tan?" Naya berkata pelan dan harapan agar Tany tidak tersinggung atau salah paham dengan apa yang akan diputuskannya nanti.
Tany mengangguk. Bibirnya malas basa-basi. Hati Tany kacau karena perjalanan liburannya mendadak berantakan, "Jadi, lo mau ikut terbang ke Makassar bareng Tobias, Yang Mulia Naya?"
Naya melotot mendengar intonasi Tany yang seolah mencibir dan menyudutkan dirinya. Padahal Naya belum memutuskan sesuatu, antara ia tetap melanjutkan perjalanan liburannya bersama Tany atau ikut berperang bersama Papap Beruang mengunjungi keluarga besar kekasihnya. Keluarga yang belum memberi restu pada hubungan percintaan antara Naya dan Tobias karena perbedaan suku dan agama.
"Tan, bisa nggak usah nyolot 'kan? Gue kan cuma nanya," ujar Naya ikut jengkel karena dalam hatinya juga ia juga mengalami kebingungan yang sama. Pilihannya menjadi kambing congek dan menonton Tany dan mantan kekasihnya Banyu atau ikut terbang bersama Tobias dan menyatakan keseriusan hubungan mereka pada keluarga besar kekasihnya.
"Gue nggak nyolot, Nay. Gue cuma nanya," ucap Tany seraya menahan amarah.
Keduanya saling berpandangan dengan kekesalan yang tidak diutarakan masing-masing.
"Dahlah, gue mau cari angin dulu. Terserah lo mau ngapain sama pacar lo," lanjut Tany seraya meraih ransel dan menggendongnya di punggung.
Obie yang berpapasan dengan Tany bahkan heran dengan kelakuan sahabat kekasihnya meski Tany sempat mengucap terima kasih atas traktiran menu makan malam restoran padang mereka.
Tany menggendong ransel dan pergi ke minimarket terdekat untuk mencari minuman segar dan es krim sebagai penutup mulut setelah menikmati pedasnya potongan daging rendang. Tany memutuskan menekan nomor ponsel yang dihindarinya selama dua puluh empat jam terakhir. Rengga. Tany hendak menghubungi Rengga.
***
Sementara di restoran padang ...
Banyu mendekati tempat Naya duduk, "Tany pergi kemana, Nay?"
Naya mengangkat bahu, "Cari angin. Nggak tahu gue, Bay." Sesaat Naya melambaikan tangan pada Obie yang minta izin untuk merokok sebentar di luar restoran.
"Nay, ada yang mau gue omongin sama lo. Penting banget." Banyu memandang Naya.
"Mau bilang bahwa gue nggak boleh egois dan pergi gitu aja ninggalin Tany sendiri, Bay?"
Banyu menggeleng, "Bukan itu, Naya. Gue yang justru mau pergi sekarang dan gue bingung harus bilang apa sama Tany."
Naya melotot mendengar perkataan mantan kekasih Tany, "Lo gilak ya, Bay? Mau pergi kemana? Eh, atau nyokap lo kambuh jadi lo mau balik ke Jakarta? Gimana sih lo, Bay?"
Banyu menggunakan kedua tangan untuk membuat tanda silang, "Nyokap gue baik-baik saja di Jakarta, Nay."
"Jadi, kenapa lo mau pamit cabut? Sudah patah semangat nggak mau melanjutkan perjuangan lo sama Tany? Baru dibikin keki sebentar masa sudah jiper dan mundur sih, Bay?" Naya makin tidak sabar dan mencerca Banyu dengan sederet pertanyaan lain.
"Bos gue tadi siang telepon terus dia mau gue cek dulu kerjaan yang ada di Pelabuhan Surabaya besok pagi. Subuh sih kayaknya paling cepat. Gue harus gantiin temen gue yang nggak bisa berangkat karena istrinya kritis," jelas Banyu pada Naya. Tangan Banyu mengambil gelas berisi teh pahit hangat miliknya yang sudah diisi ulang pelayan restoran dan menghabiskan setengahnya.
"Lo tanya saran gue apa gimana sih, Bay?" Naya berkata seraya menunjuk ujung hidung dengan telunjuknya.
Banyu mengangguk yakin dan berharap Tany memiliki jalan keluar yang bisa membantunya segera.
"Nah, lo kurang beruntung malam ini, Bay. Tany baru aja cabut dari restoran karena dongkol sama gue. Terus sekarang lo minta saran? Gue nggak tahu," ketus Naya seraya menghempas punggungnya ke sandaran bangku plastik.
Keduanya pun terdiam untuk beberapa saat. Banyu memiliki inisiatif untuk mencari Tany keluar restoran atau pergi ke minimarket terdekat untuk menemukan sosok mantan kekasihnya.
Banyu dengan tergesa kembali ke dalam restoran. Ia melihat Naya yang sedang mengobrol serius dengan kekasihnya, Obie.
"Sorry ganggu, Nay. Gue nggak lihat Tany di luar. Dia udah balik kesini atau belum?" Banyu bahkan menengok ke bawah meja makan untuk mencari ransel daypack berukuran medium milik mantan kekasihnya yang tidak terlihat di sudut manapun.
Naya menggeleng dan nampak panik, "Lah, itu anak nggak ketemu? Dia bilang ke gue cuma mau cari angin, Banyu."
Keduanya saling memandang kembali dan sama-sama menyiratkan kekhawatiran terhadap Tany yang mendadak menghilang dari peredaran mereka.
Tidak menunggu lama, Banyu menekan nomor Tany. Tidak disangka nomor pribadi Banyu masih diblokir oleh Tany. Banyu menekan pengeras suara dan menunjukkan pada Naya bahwa Tany masih menolak keberadaan dirinya.
"Coba lo telepon Tany, Nay. Gue mendadak khawatir ini," ujar Banyu panik karena sudah hampir setengah jam mantan kekasihnya belum kembali masuk ke dalam restoran tempat mereka menghabiskan makan malam.
Naya mengambil ponsel dan segera menghubungi Tany yang berujung pada kotak suara. Sudah jelas Tany menolak menjawab panggilan darinya.
"Kita harus gimana nih, Bay? Tany 'kan nggak bawa dompet atau tanda pengenal. Dia cuma bawa ponsel tok," sesal Naya yang tadi bersikap menyebalkan pada sahabatnya.
"Tenang dulu, Nay. Kita coba hubungi Tany lagi dengan kepala dingin. Dia kalau lagi marah memang agak luar biasa sih. Tunggu saja sebentar lagi. Mudah-mudahan kemarahan Tany sudah agak reda dan dia mau angkat telepon kita," ujar Banyu menenangkan Naya.***
Add this book to your library! Love and Vote!
[Halo, ada yang tipe marahnya seperti Tany? Sok-sokan dipendam tapi ujungnya malah bikin khawatir. Aduh, ini anak perempuan pergi kemana sih? Surabaya 'kan luas meski ada maps tapi tetap khawatir sih kalau nggak bilang dulu. Penasaran? Tunggu besok ya! Ciao.]
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro